Di zaman sekarang, ngomongin soal kesehatan mental udah nggak bisa dianggap tabu lagi. Tapi masalahnya, nggak semua orang punya keberanian buat terbuka, apalagi kalau tinggal di desa kecil yang lingkungannya masih sering nganggep urusan mental cuma masalah pribadi yang harus dipendam sendiri. Itulah yang dirasain sama banyak remaja di Desa Pasirlangu, Bandung Barat. Di sana, anak-anak mudanya punya beban yang nggak kecil. Mereka harus sekolah dengan fasilitas yang seadanya, banyak yang sepulang sekolah harus bantu orang tua bekerja di ladang atau berdagang keliling kampung, sementara di kepala mereka berseliweran tekanan nilai, pergaulan, sampai cita-cita yang kadang terasa nggak realistis.
Sayangnya, masalah begini sering banget dianggap angin lalu. Padahal kalau terus disimpan, dampaknya bisa serius. Banyak dari mereka yang cerita sering susah tidur, nggak fokus belajar, gampang marah, atau malah tiba-tiba menarik diri dari teman-temannya. Tapi mau cerita pun bingung mau ke siapa. Kalau ke orang tua, takut dibilang manja. Kalau ke guru, takut dimarahin. Kalau ke teman, takut diejek atau malah jadi bahan gosip. Akhirnya, masalah dipendam terus dan muncul stigma: ngomongin mental health bikin malu keluarga. Dari keresahan inilah WAHAJA hadir.
WAHAJA, atau Wahana Jiwa Sehat, lahir bukan cuma sekadar program formal, tapi gerakan gotong-royong anak muda di Pasirlangu. Mereka diajak bareng-bareng mikir: gimana caranya bikin lingkungan yang lebih peduli sama kesehatan mental. Ide besarnya, WAHAJA mau bikin tempat aman buat ngobrol dan saling dukung. Tapi biar nggak berhenti cuma di kumpul-kumpul, tim WAHAJA bikin satu langkah nyata: aplikasi bernama MindfullMe.
MindfullMe: Dari HP Sederhana Jadi Sahabat Sehat
MindfullMe sengaja dikembangin khusus buat remaja Pasirlangu dengan satu alasan sederhana: hampir semua remaja di sana pegang HP Android, meski speknya terbatas. Daripada HP cuma dipakai buat main game atau scroll media sosial sampai tengah malam, kenapa nggak dijadikan sarana jaga kesehatan mental? Itulah kenapa MindfullMe dibuat sederhana, ringan, tapi fungsional.
Isinya pun nggak berat. Dalam MindfullMe, ada artikel singkat tentang cara atur waktu, cara ngobrol sama orang tua pas lagi konflik, tips tidur biar nggak begadang, sampai cara nyari motivasi belajar pas lagi males banget. Selain itu, ada fitur tes stres ringan. Remaja bisa jawab beberapa pertanyaan, lalu dapat saran praktis apa yang perlu mereka lakuin.
MindfullMe juga nggak berdiri sendiri. Supaya isinya aman, tim WAHAJA rutin diskusi sama pendamping puskesmas dan komunitas pemuda di sana, BAPER (Bawa Perubahan). Jadi materi di MindfullMe bukan hasil copas artikel internet, tapi benar-benar dicek sama orang-orang yang ngerti konteks remaja desa. Mereka bahkan rutin bikin survei kecil, datang langsung ke lapangan, buat tahu topik apa yang lagi bikin anak-anak Pasirlangu overthinking.
Semua ide ini nggak lahir dari rapat mewah. Tim WAHAJA yang sebagian besar anak muda, rela bolak-balik naik motor ke pelosok Pasirlangu, lewat jalan licin, kehujanan, kadang sambil bawa kuisioner, poster, atau hanya sekotak roti sama air mineral. Mereka ngobrol di pos ronda, saung pinggir sawah, teras rumah, atau warung kopi di pinggir kebun teh. Dari obrolan sederhana itu, tim WAHAJA tahu kalau banyak remaja nggak butuh kata-kata motivasi ribet. Mereka cuma butuh teman cerita yang mau dengerin tanpa nge-judge.
Seperti kata Jorm (2012) dalam bukunya Mental Health Literacy in Children and Adolescents, “Meningkatkan literasi kesehatan mental remaja adalah kunci supaya mereka bisa mengenali masalah lebih cepat, mengurangi stigma, dan meningkatkan kemungkinan mencari bantuan yang tepat.” Kutipan inilah pegangan WAHAJA.
Dengerin Tanpa Menggurui
Yang bikin MindfullMe beda adalah fitur chat dengan kader sebaya. Kader ini memang bukan psikolog, tapi teman sebaya yang udah dilatih jadi pendengar aktif. Mereka ngerti rasanya disuruh sabar tapi nggak dikasih ruang buat cerita. Lewat kader sebaya ini, MindfullMe pengin remaja punya teman ngobrol kalau tiba-tiba merasa down. Kalau kasusnya berat, kader juga siap bantu hubungkan ke puskesmas atau konselor.
Di Pasirlangu sendiri, banyak remaja yang hidupnya masih kepepet sama aturan tak tertulis: kalau udah lulus SMA, ya langsung kerja di kebun. Bagi sebagian orang tua, kerja di kebun lebih penting daripada kuliah yang butuh biaya mahal. Banyak remaja akhirnya memendam cita-cita, padahal di sisi lain mereka juga punya mimpi belajar lebih tinggi. Nggak sedikit yang ngerasa bingung harus ngomongin mimpi ke siapa, takut dimarahin orang tua atau dicap nggak tahu diri.
Lewat diskusi bareng kader, cerita-cerita kayak begini pelan-pelan mulai muncul ke permukaan. Beberapa anak akhirnya mulai berani bilang kalau mereka sebenarnya pengin kuliah sambil kerja paruh waktu, atau belajar keahlian lain yang bisa bantu ekonomi keluarga tanpa harus ninggalin mimpi. Diskusi-diskusi ini bikin orang tua juga pelan-pelan ngerti: mendampingi anak nggak selalu berarti memaksakan jalan yang sama kayak generasi sebelumnya.
Lewat diskusi bareng kader, cerita-cerita kayak begini pelan-pelan mulai muncul ke permukaan. Beberapa anak akhirnya mulai berani bilang kalau mereka sebenarnya pengin kuliah sambil kerja paruh waktu, atau belajar keahlian lain yang bisa bantu ekonomi keluarga tanpa harus ninggalin mimpi. Diskusi-diskusi ini bikin orang tua juga pelan-pelan ngerti: mendampingi anak nggak selalu berarti memaksakan jalan yang sama kayak generasi sebelumnya.
Semua upaya ini sejalan banget sama tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin ke-3, yaitu Good Health and Well-being. Kami percaya, kesehatan nggak cuma soal fisik, tapi juga mental. Dengan literasi kesehatan mental yang lebih baik, kami ingin bantu remaja desa punya kesempatan tumbuh lebih sehat, bebas stigma, dan nggak takut minta tolong kalau butuh. Kesehatan mental yang terjaga jadi pondasi penting buat masa depan yang lebih cerah.
Selain mendukung target SDGs poin ke-3, WAHAJA juga ingin memperkuat budaya gotong royong yang mulai luntur di kalangan anak muda desa. Dulu, kalau ada masalah, orang-orang biasa ngobrol di pos ronda atau di balai desa. Sekarang, banyak remaja lebih nyaman diam di kamar sambil main HP sendirian. Padahal, nggak semua masalah bisa selesai sendiri. Karena itu, lewat MindfullMe, WAHAJA mau bikin teknologi bukan sekadar layar, tapi pintu buat kembali ngobrol tatap muka.
WAHAJA juga lagi merancang program kolaborasi dengan relawan mahasiswa. Ke depannya, mahasiswa bisa turun ke Pasirlangu buat jadi mentor mini. Mereka bisa sharing pengalaman kuliah, tips nyari beasiswa, sampai diskusi cita-cita bareng remaja desa. Harapannya, anak-anak muda di sana punya role model nyata. Biar nggak cuma dengar cerita sukses orang kota lewat TikTok, tapi beneran ketemu orangnya, diskusi langsung, dan diajak bikin rencana masa depan bareng-bareng.
Selain itu, WAHAJA punya mimpi bisa bikin support group lintas desa. Jadi bukan cuma anak Pasirlangu yang saling dukung, tapi juga remaja dari desa tetangga. Mereka bisa ketemu di forum diskusi, tukar cerita, sampai bikin acara bareng. Siapa tahu, dari forum kecil ini lahir ide-ide kreatif lain: kelas menulis, komunitas podcast, atau kelompok seni. Semua berawal dari satu tujuan: bikin ruang aman untuk ngobrolin mental health.
Bukan cuma remaja, WAHAJA juga sadar kalau banyak orang tua sebenarnya juga butuh teman cerita. Banyak bapak dan ibu di desa yang memikul beban ekonomi, sosial, sampai beban peran ganda, tapi nggak pernah punya ruang curhat. Nantinya, kalau program pelatihan orang tua sudah berjalan, WAHAJA pengin bikin sesi healing bareng bisa lewat pengajian, arisan, atau kelas motivasi sederhana. Supaya orang tua juga belajar mendengar, bukan cuma mendidik.
Kami dari WAHAJA sadar, misi ini nggak bakal selesai dalam semalam. Kami punya mimpi MindfullMe bisa diadopsi di desa-desa lain. Bayangin kalau suatu saat MindfullMe punya video edukasi, podcast motivasi, forum diskusi online, sampai fitur panggilan video dengan konselor profesional. Kami juga pengin MindfullMe bisa kerja sama dengan universitas, puskesmas, atau dinas kesehatan supaya makin kuat.
Rencananya, kami juga mau bikin pelatihan terbuka buat orang tua dan guru. Biar orang tua nggak cuma nyuruh anaknya sabar, tapi paham cara mendampingi. Kalau anak butuh ruang cerita, orang tua juga butuh ilmu baru. Karena dukungan mental nggak bisa satu arah.
Selain itu, WAHAJA juga sedang menyiapkan ide untuk memasukkan unsur budaya lokal ke dalam programnya. Pasalnya, di Pasirlangu banyak tradisi ngobrol santai di saung, ronda malam, atau kumpul di kebun teh sambil ngopi bareng. Kebiasaan ini sebenarnya bisa jadi modal kuat untuk menghidupkan ruang diskusi seputar kesehatan mental. Tim WAHAJA ingin menggandeng tokoh masyarakat, seperti ketua RT, ibu-ibu PKK, atau karang taruna, agar ngobrol soal stres atau kecemasan bisa terasa lebih wajar, nggak bikin sungkan.
WAHAJA juga mempertimbangkan untuk berkolaborasi dengan tenaga kesehatan jiwa dari puskesmas terdekat, agar remaja nggak cuma dapat informasi dari aplikasi, tapi juga punya akses rujukan jelas kalau benar-benar butuh penanganan lebih serius. Hal ini sejalan dengan rekomendasi World Health Organization (WHO), yang menekankan pentingnya Community-Based Mental Health Services — layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas yang dekat dengan kehidupan sehari-hari (WHO, 2021).
Di sisi lain, WAHAJA sadar kalau literasi digital juga jadi tantangan. Banyak remaja di Pasirlangu yang punya HP Android, tapi belum tentu paham cara memanfaatkan internet untuk hal positif. Karena itu, ke depan MindfullMe juga berencana menambahkan modul sederhana soal digital wellness cara sehat memakai media sosial, cara membatasi screen time, sampai cara mencari informasi yang valid tentang kesehatan mental.
Tim WAHAJA berharap MindfullMe bukan sekadar aplikasi sekali pakai yang dihapus setelah beberapa minggu, tapi bisa tumbuh jadi teman virtual yang selalu hadir di genggaman remaja Pasirlangu. Kalau dulu banyak yang takut buka mulut karena takut dipandang lemah, sekarang pelan-pelan mereka punya ruang untuk jujur. Dengan dukungan komunitas, keluarga, dan teknologi, WAHAJA percaya generasi muda desa bisa punya masa depan yang lebih sehat, seimbang, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Selain itu, WAHAJA juga sedang menyiapkan ide untuk memasukkan unsur budaya lokal ke dalam programnya. Pasalnya, di Pasirlangu banyak tradisi ngobrol santai di saung, ronda malam, atau kumpul di kebun teh sambil ngopi bareng. Kebiasaan ini sebenarnya bisa jadi modal kuat untuk menghidupkan ruang diskusi seputar kesehatan mental. Tim WAHAJA ingin menggandeng tokoh masyarakat, seperti ketua RT, ibu-ibu PKK, atau karang taruna, agar ngobrol soal stres atau kecemasan bisa terasa lebih wajar, nggak bikin sungkan.
WAHAJA juga mempertimbangkan untuk berkolaborasi dengan tenaga kesehatan jiwa dari puskesmas terdekat, agar remaja nggak cuma dapat informasi dari aplikasi, tapi juga punya akses rujukan jelas kalau benar-benar butuh penanganan lebih serius. Hal ini sejalan dengan rekomendasi World Health Organization (WHO), yang menekankan pentingnya Community-Based Mental Health Services layanan kesehatan jiwa berbasis komunitas yang dekat dengan kehidupan sehari-hari (WHO, 2021).
Di sisi lain, WAHAJA sadar kalau literasi digital juga jadi tantangan. Banyak remaja di Pasirlangu yang punya HP Android, tapi belum tentu paham cara memanfaatkan internet untuk hal positif. Karena itu, ke depan MindfullMe juga berencana menambahkan modul sederhana soal digital wellness cara sehat memakai media sosial, cara membatasi screen time, sampai cara mencari informasi yang valid tentang kesehatan mental.
Tim WAHAJA berharap MindfullMe bukan sekadar aplikasi sekali pakai yang dihapus setelah beberapa minggu, tapi bisa tumbuh jadi teman virtual yang selalu hadir di genggaman remaja Pasirlangu. Kalau dulu banyak yang takut buka mulut karena takut dipandang lemah, sekarang pelan-pelan mereka punya ruang untuk jujur. Dengan dukungan komunitas, keluarga, dan teknologi, WAHAJA percaya generasi muda desa bisa punya masa depan yang lebih sehat, seimbang, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Lewat WAHAJA, kami ngajak remaja Pasirlangu sadar: punya masalah mental itu bukan aib. Makin cepat sadar, makin cepat pulih. MindfullMe buktiin teknologi nggak melulu bikin candu. Selama ada niat, komunitas, dan ruang aman, remaja nggak perlu takut jalan sendirian. Semoga WAHAJA jadi langkah kecil yang memicu gerakan besar, biar makin banyak anak desa bisa tumbuh sehat, semangat, dan bebas overthinking.
Refrensi
- Jorm, A. F. (2012). Mental Health Literacy: Empowering the Community to Take Action for Better Mental Health. American Psychologist, 67(3), 231–243.
- Rickwood, D., Deane, F. P., Wilson, C. J., & Ciarrochi, J. (2005). Young people’s help-seeking for mental health problems. Australian e-Journal for the Advancement of Mental Health, 4(3), 218–251.
- Naslund, J. A., Aschbrenner, K. A., Marsch, L. A., & Bartels, S. J. (2016). The future of mental health care: Peer-to-peer support and social media. Epidemiology and Psychiatric Sciences, 25(2), 113–122.
- World Health Organization (2021). Guidance on Community Mental Health Services: Promoting Person-Centred and Rights-Based Approaches. WHO Press.