“Tren Digital Marketing 2025: Personalisasi, AI, dan Interaksi Real-Time”

Dengan pesatnya kemajuan teknologi digital dan perilaku konsumen yang terus berkembang, pemasaran digital terus berkembang menjadi lebih rumit dan kohesif. Pada tahun 2025, tiga faktor utama membentuk lanskap strategi pemasaran digital yang terus berkembang: personalisasi yang intens, kecerdasan buatan (AI), dan keterlibatan langsung.

Artikel ini membahas bagaimana tren ini memengaruhi lingkungan pemasaran saat ini, beserta hambatan dan prospek yang menyertainya.

Personalisasi Berbasis AI: Taktik yang Harus Kita Pertimbangkan

Personalisasi telah berkembang lebih dari sekadar menyapa user dengan nama mereka. Melalui kecerdasan buatan, perusahaan kini dapat memberikan konten yang disesuaikan, saran produk, dan harga yang sesuai untuk setiap orang, berdasarkan tindakan, preferensi, dan informasi masa lalu mereka. Laporan McKinsey menyatakan bahwa strategi personalisasi yang dijalankan secara efektif dapat meningkatkan pendapatan perusahaan sebesar 10–30%. Bisnis seperti Netflix, Amazon, Spotify memimpin dengan algoritme rekomendasi yang canggih, sementara perusahaan seperti Nike dan Starbucks menanamkan personalisasi ke dalam program loyalitas dan aplikasi seluler mereka. Selain itu aplikasi yang biasa kita gunakan sehari – hari seperti Instagram, X, Tiktok pun melakukan personalisasi sebagaimana kebiasaan user.

Privasi & Etika: Batasan yang Tidak Boleh Dilanggar

Meskipun teknologi menyederhanakan personalisasi, masalah privasi dan etika semakin meningkat. Dunia sedang bertransisi ke era pasca-cookie, karena data pihak ketiga dihilangkan dan digantikan dengan data pihak pertama yang dikumpulkan secara transparan dan etis. Publikasi seperti Time dan El País mengkhawatirkan metode “penargetan mendalam” yang memanfaatkan psikologi konsumen. Akibatnya, transparansi dan peraturan seperti GDPR dan undang-undang perlindungan data di berbagai negara menjadi dasar kepercayaan yang langgeng.

AI Generatif: Kreativitas Baru dalam Pemasaran

Kemajuan dalam AI Generatif (GenAI) seperti ChatGPT, Midjourney, dan Adobe Firefly memungkinkan pemasar untuk membuat konten teks, visual, dan video dengan cepat, efektif, dan dengan resonansi emosional.

Salesforce telah mulai membuat AI Agent Marketing — asisten virtual otomatis yang mampu merancang, mempersonalisasi, dan mengimplementasikan kampanye pemasaran secara real-time, memanfaatkan wawasan pelanggan dan tren pasar.

Ariel Kelman (Presiden Salesforce) menyatakan bahwa AI memungkinkan pemasar untuk “menyusun strategi alih-alih membuat konten secara manual.”

Interaksi langsung telah menjadi norma baru dalam pengalaman pelanggan. Chatbot yang didukung oleh AI, asisten suara, dan pengalaman interaktif seperti jajak pendapat atau simulasi augmented reality (AR) meningkatkan keterlibatan pengguna. Juniper Research memperkirakan potensi penghematan hingga US$8 miliar melalui otomatisasi layanan pelanggan menggunakan AI. Jenis keterlibatan ini secara signifikan meningkatkan loyalitas pelanggan karena konsumen merasa mereka dilayani dengan segera dan pada tingkat personal. Meskipun demikian, pelaksanaan personalisasi, AI, dan interaksi real-time secara bersamaan menghadirkan kesulitan tertentu. Banyak bisnis menghadapi keterbatasan terkait infrastruktur teknologi mereka, integrasi data yang tidak memadai di seluruh platform, dan kekurangan spesialis digital. Survei BCG mengungkapkan bahwa hanya sejumlah kecil pelaku bisnis yang memanfaatkan AI secara optimal. Lebih jauh, ada kekhawatiran mengenai penerapan teknologi canggih yang tidak etis, seperti “deep tailoring,” yang dapat memanipulasi faktor psikologis konsumen.

Akibatnya, keseimbangan antara penggunaan teknologi dan perlindungan privasi muncul sebagai perhatian penting pada tahun 2025. Penggunaan data pihak pertama yang dikumpulkan secara terbuka dan sukarela muncul sebagai alternatif utama untuk data pihak ketiga, yang kini semakin dihapuskan. Bisnis harus mematuhi peraturan internasional seperti GDPR, CCPA, dan berbagai undang-undang perlindungan data lainnya. Prinsip kejelasan dan aksesibilitas dalam penggunaan AI sangat penting bagi konsumen untuk menjaga keamanan dan kepercayaan pada merek yang mereka pilih. Oleh karena itu, pemasaran digital pada tahun 2025 tidak hanya berfokus pada kemajuan teknologi, tetapi juga pada penciptaan pengalaman pelanggan yang bermakna, tepat waktu, dan etis. Perusahaan yang dapat mengintegrasikan ketiganya akan memimpin dalam persaingan pasar digital yang terus berkembang dan sensitif.

Contohnya study case Live Tiktok sebagai media promosi dagang dikuasai oleh AI akhir akhir ini bidang pemasaran digital khususnya perdagangan langsung di TikTok tengah mengalami tren yang mengundang rasa kagum sekaligus khawatir: munculnya pembawa acara AI, avatar digital cerdas yang menggantikan manusia dalam acara langsung untuk mengiklankan produk. Mereka tidak mengalami kelelahan, tidak pernah salah, dan dapat menanggapi pertanyaan pengguna secara instan. Kemampuan eksklusif yang dulunya dimiliki manusia kini mulai digantikan oleh simulasi canggih yang dikenal sebagai kecerdasan buatan. Live commerce di TikTok tumbuh besar berkat manusia. Live seller, terutama di Asia Tenggara termasuk Indonesia, menjadikan platform ini sebagai panggung interaksi, bukan hanya jualan. Mereka menghibur, menjelaskan produk dengan gaya khas, bahkan menjalin hubungan emosional dengan audiens.

Namun kini, AI mulai menggantikan itu semua. Brand besar dan penjual bermodal besar menggunakan AI avatar — wajah digital dengan suara realistis — untuk memandu sesi live selama 24 jam non-stop. Mereka menjawab pertanyaan umum, menawarkan diskon, bahkan menyapa penonton layaknya manusia. Sangat efisien. Tapi, di situlah persoalannya: efisien bukan selalu berarti lebih baik.

Saya tidak menyangkal, AI dalam live TikTok menawarkan banyak keuntungan praktis: menghemat biaya SDM, tidak perlu training host, tidak ada risiko salah bicara, dan bisa tayang tanpa henti. Bagi brand besar yang menjual ribuan SKU, ini sangat membantu. Bahkan UMKM pun mungkin akan tergoda menggunakan versi sederhananya demi mengimbangi persaingan.

Namun, di balik efisiensi itu, kita berisiko kehilangan aspek yang paling manusiawi dari penjualan: keaslian dan kepercayaan. Penonton tahu jika yang sedang berbicara bukanlah manusia nyata. Mereka mungkin tetap menonton, tapi apakah hubungan emosional akan terbangun? Apakah mereka akan loyal pada suara yang tidak memiliki perasaan? Konsumen tidak hanya membeli produk, mereka membeli cerita, pengalaman, dan rasa percaya.

Ada aspek etika yang perlu dibahas. Saat ini belum ada regulasi tegas yang mengatur apakah AI host harus diberi label atau tidak. Bagaimana jika AI dibuat seolah-olah memberikan testimoni? Atau membujuk pembelian seakan punya pengalaman langsung dengan produk?

Apakah itu masih termasuk promosi yang jujur? Ketika suara digital dibuat agar terdengar ramah, meyakinkan, bahkan lucu—siapa yang bertanggung jawab atas isi yang ia sampaikan? Tanpa transparansi, kita memasuki wilayah abu-abu pemasaran yang bisa mengaburkan kepercayaan publik.

penggunaan AI dalam promosi live berpotensi menciptakan kesenjangan digital yang semakin lebar. Brand besar punya sumber daya untuk mengakses teknologi ini; UMKM tidak. Mereka tetap harus menyewa host, mengatur lighting, membangun engagement manual.

Lalu, saat algoritma TikTok mulai memprioritaskan live yang performanya stabil dan interaktif — dua hal yang bisa dengan mudah disimulasikan oleh AI — maka siapa yang paling dirugikan? Tentu pelaku kecil yang tak bisa bersaing dengan ‘robot’ yang tak tidur dan tak pernah salah.

Jika platform seperti TikTok tidak membuat regulasi adil, maka kita berpotensi melihat “disrupsi AI” yang tak lagi sehat, melainkan destruktif bagi pelaku usaha mikro.

Opini ini bukan seruan untuk menolak AI. Justru saya percaya AI bisa menjadi mitra luar biasa dalam digital marketing, termasuk dalam sesi live. Namun, penggunaannya harus dikawal dengan nilai etis, transparansi, dan keterlibatan manusia yang tetap dominan.

Mungkin solusi terbaik bukan mengganti live seller dengan AI, tetapi menggabungkan keduanya. Biarkan AI membantu teknis, data, atau menjawab pertanyaan otomatis — tapi tetap tempatkan manusia sebagai wajah utama interaksi. Dengan begitu, kita menjaga efisiensi tanpa mengorbankan kepercayaan.

Akhirnya, pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah teknologi akan menggantikan manusia, atau memperkuat perannya? Di era TikTok Live yang mulai dikuasai AI, jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan arah masa depan digital marketing.

Jika kita hanya mengejar kecepatan dan efisiensi, maka manusia akan tersisih. Tapi jika kita mampu menyeimbangkan teknologi dengan empati, maka AI bisa menjadi alat yang hebat bukan musuh yang halus.

Penggunaan AI dalam live TikTok tidak hanya berdampak pada strategi pemasaran, tetapi juga secara langsung memengaruhi psikologi konsumen. Konsumen semakin terbiasa berinteraksi dengan sistem yang tidak sepenuhnya manusiawi, dan ini dapat mengubah ekspektasi mereka terhadap layanan pelanggan. Sebagian mungkin mengapresiasi efisiensi dan kenyamanan yang diberikan AI, namun sebagian lain bisa merasa skeptis terhadap “keaslian” dari promosi yang mereka tonton. Akibatnya, konsumen bisa menjadi lebih kritis dan defensif saat berhadapan dengan kampanye yang tidak menyebut secara terbuka bahwa host-nya adalah AI.

TikTok sebagai platform memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ekosistem yang adil bagi semua pengguna. Jika AI digunakan secara bebas tanpa regulasi, maka kemungkinan besar akan muncul dominasi dari perusahaan-perusahaan besar yang memiliki sumber daya teknologi tinggi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mematikan kreativitas organik dari kreator individu atau pelaku UMKM yang menjadi daya tarik awal TikTok. Oleh karena itu, perlu dibuat kebijakan seperti label “AI-Generated Content” dalam live commerce atau batasan penggunaan bot dalam interaksi langsung dengan audiens.

Meskipun AI dianggap sebagai ancaman oleh sebagian pelaku industri, potensi kolaborasi antara AI dan manusia justru bisa menjadi jalan tengah yang menguntungkan semua pihak. Misalnya, AI bisa digunakan untuk mengatur sistem rekomendasi produk, membaca tren dari komentar, atau mengatur jadwal siaran secara otomatis. Sementara manusia tetap menjadi wajah utama yang membangun kepercayaan, menjawab pertanyaan kompleks, dan menunjukkan empati dalam interaksi. Model kerja hybrid ini bisa menciptakan ekosistem pemasaran digital yang lebih kuat, adaptif, dan tetap memiliki sentuhan emosional

Masalah penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah kesenjangan literasi digital dan akses teknologi. Banyak pelaku UMKM atau individu di daerah yang belum memiliki pemahaman atau fasilitas untuk menggunakan AI dalam promosi mereka. Sementara itu, perusahaan besar dengan tim IT dan anggaran besar dengan mudah memanfaatkan teknologi ini. Ketimpangan ini berisiko memperparah kesenjangan ekonomi digital, di mana yang “berteknologi tinggi” akan makin unggul, sementara yang tidak paham akan makin tertinggal. Maka diperlukan upaya kolektif, termasuk edukasi teknologi dan pemberdayaan digital di semua level.

Dalam jangka panjang, kepercayaan akan tetap menjadi mata uang utama dalam live commerce, terlepas dari seberapa canggih teknologi yang digunakan. Konsumen akan tetap menilai keaslian dan integritas dari sebuah merek, bukan hanya dari visual atau narasi yang dibangun, tetapi dari interaksi yang jujur dan konsisten. Oleh karena itu, penggunaan AI harus diarahkan untuk memperkuat kepercayaan, bukan mengelabui atau menggantikan relasi manusia. Teknologi, pada akhirnya, hanyalah alat. Bagaimana alat itu digunakan — untuk mendekatkan atau menjauhkan manusia — adalah pilihan kita bersama.

Saatnya kita memutuskan: apakah AI akan kita jadikan pengganti, atau sekadar pelengkap?

Referensi

  1. Business Insider: GenAI and Marketing 2025
  2. Salesforce on AI Marketing Agents
  3. El País: Marketing Trends 2025
  4. Juniper Reseacrh
  5. McKinsey & Company (2023), The Future of Work After COVID-19
  6. Harvard Business Review (2024), How AI Is Changing Marketing Jobs, Not Just Replacing Them
  7. Business Insider (2025), AI Isn’t Replacing Marketers—It’s Rewriting Their Job Descriptions
  8. PwC. (2024). AI Predictions and Impact on Workforce
  9. Deloitte Insights. (2024). Human + Machine: Reimagining Work in the Age of AI
  10. Journal of Retailing and Consumer Services. (2023). AI in Live Commerce: Benefits and Ethical Risks
  11. Statista. (2025). AI Usage in Social Commerce Platforms
  12. European Commission. (2024). Ethics Guidelines for Trustworthy AI
  13. TechCrunch. (2024). AI Avatars Are Taking Over TikTok’s Livestreams
  14. Business Insider. (2025). AI-Driven Influencers and the Future of E-Commerce
  15. Wired. (2024). Synthetic Influencers Are Selling You Products 24/7
  16. CNBC. (2023). Live Shopping Is Booming on TikTok—AI Could Change Everything
  17. The Verge. (2024). TikTok Live Hosts Powered by AI Are Here
  18. TIME Magazine. (2023). AI in Marketing: The Line Between Help and Manipulation
  19. The Guardian. (2023). Digital Twins and the Future of Online Commerce
  20. TikTok for Business. (2024). AI Tools for Creators and Brands