Toxic Positivity Dalam Komunikasi Dengan Mengabaikan Emosi Negatif dan Dampaknya pada Manusia

Dalam dunia yang semakin terhubung dan dipenuhi oleh informasi, sikap positif telah dianggap sebagai kunci kebahagiaan dan keberhasilan. Banyak orang diajarkan untuk selalu melihat sisi terang dari setiap situasi, terlepas dari kesulitan atau tantangan yang dihadapi. Konsep ini sering dijadikan sebagai prinsip dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam interaksi sosial dan komunikasi kita. Namun, ada sisi gelap dari sikap ini yang dikenal dengan istilah toxic positivity—sebuah fenomena yang muncul ketika dorongan untuk tetap berpikir positif berlebihan, sehingga mengabaikan atau menekan perasaan dan emosi negatif yang sebenarnya perlu diproses (Adrianto, 2022).
Definisi Toxic Positivity dalam Komunikasi
Toxic positivity merujuk pada pandangan hidup atau sikap yang mendorong individu untuk selalu berpikir dan bertindak secara positif, bahkan ketika perasaan atau situasi yang mereka hadapi tidak mendukung hal tersebut. Dalam konsep ini, emosi negatif sering dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari atau diatasi dengan cara yang “positif,” tanpa memberi ruang untuk perasaan yang lebih kompleks dan manusiawi. Secara khusus, dalam konteks komunikasi, toxic positivity terjadi ketika seseorang berusaha meredakan perasaan orang lain dengan mendorong mereka untuk “tetap positif,” “lihatlah sisi baiknya,” atau “bersyukur,” alih-alih memberi ruang bagi mereka untuk merasakan dan memproses emosi negatif (Asa & Sudarno, 2022).
Misalnya, ketika seseorang mengungkapkan perasaan sedih, kecewa, atau cemas, reaksi dari orang lain yang terperangkap dalam toxic positivity sering kali berupa kalimat-kalimat seperti “Semua akan baik-baik saja,” “Jangan khawatir, hidup selalu penuh dengan kebahagiaan,” atau “Cobalah untuk bersyukur, ini pasti ada hikmahnya.” Kalimat-kalimat ini, meskipun bisa terdengar seperti nasihat yang positif, sering kali tidak menghargai atau merespons perasaan orang yang sedang berbicara. Sebaliknya, mereka cenderung mengabaikan kenyataan emosional yang sedang dihadapi dan memaksa orang tersebut untuk berpikir positif tanpa memberi ruang bagi mereka untuk merasakan kesedihan atau kekecewaan mereka (Larasati et al., 2024).
Toxic positivity dalam komunikasi sering muncul karena adanya tekanan sosial untuk selalu tampil bahagia dan optimis. Dalam banyak budaya, terutama di dunia modern yang penuh dengan media sosial, kita sering kali melihat gambaran kehidupan yang sempurna—di mana orang-orang terlihat bahagia, sukses, dan selalu dalam keadaan baik. Ini menciptakan norma sosial yang tidak realistis, yang mengharuskan individu untuk menyembunyikan atau menekan perasaan negatif mereka agar tidak dianggap lemah atau tidak bersyukur. Dalam konteks ini, respons terhadap perasaan atau kesulitan emosional sering kali lebih mengarah pada pemberian semangat dan nasihat positif daripada mengakui atau mendengarkan dengan empati.
Toxic positivity juga sering kali muncul dari niat baik. Banyak orang yang merasa cemas atau tidak tahu bagaimana cara merespons ketika seseorang berbicara tentang perasaan negatif mereka. Mereka mungkin merasa bahwa memberikan nasihat atau dorongan positif adalah cara yang tepat untuk mengangkat semangat orang lain. Namun, sering kali mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut justru bisa menghalangi proses penyembuhan atau pemrosesan emosi yang sehat. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang berduka atau merasa cemas, mereka mungkin hanya membutuhkan seseorang untuk mendengarkan dan memberi mereka ruang untuk merasakan, bukan seseorang yang memberitahukan mereka untuk berpikir positif.
Mengabaikan Emosi Negatif: Efek pada Kesehatan Mental
Salah satu dampak terbesar dari toxic positivity adalah pengabaian terhadap emosi negatif yang sah dan penting untuk diproses. Dalam banyak budaya, terutama di dunia Barat yang sangat mengedepankan pencapaian dan kebahagiaan, ada dorongan yang kuat untuk selalu tampak bahagia dan sukses sepanjang waktu, meskipun kenyataan yang dihadapi jauh dari itu. Ketika seseorang sedang merasa tertekan, cemas, atau bahkan depresi, sering kali mereka diberikan nasihat yang mengarah pada penindasan perasaan-perasaan tersebut. Misalnya, kalimat-kalimat seperti “Semua akan baik-baik saja,” “Cobalah untuk melihat sisi positifnya,” atau “Hidup selalu penuh dengan kebahagiaan jika kita berusaha cukup keras,” bukan hanya meremehkan perasaan orang tersebut, tetapi juga memaksa mereka untuk menekan atau menyembunyikan apa yang mereka rasakan di dalam diri mereka (Musfira & Khairas, 2023).
Padahal, emosi negatif seperti kesedihan, kecemasan, kemarahan, atau bahkan rasa putus asa adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Emosi-emosi ini bukan hanya reaksi terhadap situasi tertentu, tetapi sering kali berfungsi sebagai sinyal penting bagi individu untuk melakukan perubahan, introspeksi, atau bahkan mencari bantuan. Misalnya, perasaan cemas bisa menjadi tanda bahwa seseorang merasa terancam atau tidak siap menghadapi suatu tantangan, sementara rasa sedih bisa menandakan adanya kehilangan atau kebutuhan untuk merawat diri. Ketika emosi ini diabaikan atau ditekan—terutama melalui komunikasi yang mengarah pada “perasaan positif” yang berlebihan—individu berisiko untuk tidak memahami atau mengatasi sumber dari perasaan mereka.
Mengabaikan perasaan-perasaan ini bukan hanya tidak sehat, tetapi juga berbahaya dalam jangka panjang. Emosi yang terpendam atau ditekan tidak menghilang begitu saja; mereka berpotensi berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih besar. Penelitian menunjukkan bahwa stres kronis, kecemasan, dan depresi sering kali berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menghadapi atau mengekspresikan emosi negatif secara sehat. Ketika seseorang merasa tertekan untuk terus-menerus berpikir positif atau menunjukkan wajah bahagia, mereka mungkin merasa terasing dari diri mereka sendiri dan mengalami konflik internal. Perasaan terpendam ini bisa memburuk seiring waktu, menyebabkan rasa cemas yang semakin meningkat atau perasaan terputus dari realitas yang mereka alami.
Komunikasi yang berfokus pada toxic positivity, yang sering kali menekan emosi negatif, tidak memberi kesempatan bagi individu untuk menyelesaikan atau memahami apa yang mereka rasakan. Tanpa adanya ruang untuk mengungkapkan perasaan dan mendiskusikan tantangan yang dihadapi, individu mungkin merasa tidak didengar atau tidak dihargai. Proses pemulihan emosional yang sehat memerlukan waktu dan ruang untuk menerima perasaan negatif, bukan untuk melarikan diri darinya. Ketika orang lain—baik itu teman, keluarga, atau rekan kerja—mengabaikan atau menekan perasaan ini dengan nasihat yang bersifat “positif,” mereka menghalangi individu untuk memahami akar dari masalah mereka dan memperburuk kondisi mental mereka.
Dengan kata lain, toxic positivity dalam komunikasi berperan sebagai penghalang bagi penyembuhan dan pertumbuhan pribadi. Ketika emosi negatif tidak diberi ruang untuk diakui dan diproses dengan cara yang sehat, proses pemulihan mental menjadi lebih sulit dan penuh dengan kebingungan. Hal ini bukan hanya merugikan individu yang sedang berjuang dengan perasaan mereka, tetapi juga dapat merusak hubungan sosial mereka, karena komunikasi yang penuh dengan pengabaian dan penindasan perasaan tidak memberikan ruang untuk koneksi yang tulus dan empatik. Sementara itu, komunikasi yang sehat dan empatik justru memungkinkan seseorang untuk merasa diterima, dihargai, dan didengarkan—tanpa perlu merasa tertekan untuk selalu berpikir positif. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengenali dan menghargai perasaan negatif sebagai bagian dari proses penyembuhan, bukan sebagai sesuatu yang harus disembunyikan atau disingkirkan (Ramadhani & Syah, 2024).
Toxic Positivity dan Kerusakan dalam Hubungan Interpersonal
Toxic positivity tidak hanya berdampak pada individu yang mengalaminya, tetapi juga dapat merusak hubungan interpersonal yang seharusnya dibangun atas dasar komunikasi yang terbuka, empati, dan saling pengertian. Salah satu cara toxic positivity merusak hubungan adalah dengan menghalangi komunikasi yang jujur dan mendalam, karena ia menekan ekspresi perasaan yang tidak “positif” atau “terlihat baik.” Ketika seseorang yang sedang mengalami kesulitan atau perasaan negatif merasa ditekan untuk “berpikir positif,” mereka cenderung merasa tidak aman atau tidak dihargai untuk mengungkapkan perasaan mereka secara terbuka. Sebaliknya, mereka mungkin merasa bahwa emosi atau kekhawatiran mereka dianggap remeh atau tidak penting (Syarifah & Hastriana, 2024).
Misalnya, ketika seseorang mengungkapkan kecemasan tentang pekerjaan, hubungan, atau masalah pribadi, respons yang penuh dengan toxic positivity seperti “Jangan terlalu khawatir, semuanya akan baik-baik saja” atau “Kamu cuma overthinking” bisa membuat mereka merasa bahwa perasaan mereka tidak valid. Ini dapat menyebabkan individu tersebut merasa diabaikan, bahkan merasa seperti mereka sedang terlalu dramatis atau tidak mampu mengatasi masalah mereka sendiri. Meskipun mungkin niatnya adalah untuk memberikan semangat, respons semacam ini sering kali menimbulkan rasa frustrasi dan ketidakpahaman, yang mengarah pada peningkatan rasa isolasi.
Dalam hubungan yang sehat, baik itu hubungan persahabatan, keluarga, atau hubungan romantis, komunikasi yang efektif membutuhkan ruang untuk kedua belah pihak untuk saling berbagi perasaan mereka—baik yang positif maupun negatif. Ketika salah satu pihak merasa tidak dapat mengungkapkan kekhawatiran atau kesulitan mereka karena takut dianggap “negatif” atau “pesimis,” hubungan tersebut mulai kehilangan kedalaman emosionalnya. Komunikasi yang sehat tidak hanya melibatkan berbagi kebahagiaan atau pencapaian, tetapi juga menerima, memproses, dan mendukung satu sama lain melalui perasaan kesedihan, kecemasan, atau kebingungan.
Toxic positivity, dengan mengutamakan kebahagiaan atau optimisme di atas segalanya, dapat menciptakan kesenjangan emosional yang signifikan antara dua orang dalam hubungan tersebut. Alih-alih merasakan kedekatan dan pemahaman, masing-masing pihak mungkin mulai merasa terasingkan. Pihak yang berbicara bisa merasa tidak didengar, sementara pihak yang mendengarkan bisa merasa tertekan untuk selalu memberikan respons positif, meskipun itu tidak selalu sesuai dengan situasi atau perasaan yang ada. Dalam jangka panjang, ini dapat merusak kepercayaan yang merupakan dasar dari hubungan yang sehat dan memengaruhi kualitas interaksi sehari-hari.
Selain itu, toxic positivity juga bisa memengaruhi dinamika kekuasaan dalam hubungan, terutama dalam hubungan yang lebih tidak setara, seperti hubungan keluarga atau pekerjaan. Individu yang berada dalam posisi lebih kuat atau lebih dominan bisa saja tanpa disadari mendominasi komunikasi dengan dorongan untuk berpikir positif, sehingga meremehkan pengalaman emosional pihak lain. Misalnya, dalam hubungan keluarga, seorang orangtua yang selalu menekankan untuk “tidak terlalu mengeluh” atau “lihat sisi baiknya” dapat membuat anak merasa tidak nyaman untuk berbicara tentang perasaan mereka, apalagi untuk meminta bantuan ketika mereka menghadapi kesulitan. Ini bukan hanya merusak saling pengertian, tetapi juga bisa memengaruhi perkembangan emosional individu yang terlibat.
Dampak dari Mengabaikan Emosi Negatif dalam Komunikasi
Di balik sikap positif yang tampaknya mendukung ini, ada dampak yang lebih dalam terhadap individu yang sedang berjuang dengan perasaan atau tantangan emosional. Ketika emosi negatif tidak diberi ruang untuk diakui dan diproses, hal ini dapat menyebabkan beberapa masalah serius dalam komunikasi interpersonal dan kesejahteraan emosional. Beberapa dampak yang timbul akibat toxic positivity dalam komunikasi adalah sebagai berikut (Tsabita et al., 2023):

  1. Pengabaian Terhadap Perasaan: Dalam situasi komunikasi yang terkontaminasi toxic positivity, perasaan seperti kesedihan, kecemasan, atau bahkan kemarahan dianggap sebagai perasaan yang “tidak produktif” atau “tidak sehat.” Ketika orang lain mencoba untuk mengabaikan atau menyuruh seseorang untuk segera melupakan perasaan negatif mereka dengan kalimat-kalimat seperti “Jangan terlalu khawatir,” mereka sebenarnya tidak memberi ruang bagi orang tersebut untuk memproses perasaannya. Padahal, perasaan negatif adalah bagian alami dari kehidupan dan dapat berfungsi sebagai sinyal untuk perubahan atau pemulihan. Mengabaikan perasaan ini hanya akan membuat mereka menumpuk dan, pada akhirnya, dapat memperburuk kesehatan mental seseorang.
  2. Meningkatkan Rasa Kesepian: Komunikasi yang penuh dengan toxic positivity juga dapat meningkatkan rasa kesepian dan isolasi emosional. Ketika seseorang merasa bahwa perasaan negatif mereka tidak diterima atau dihargai, mereka mungkin enggan untuk berbagi perasaan mereka dengan orang lain di masa depan. Mereka merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan mereka karena tidak bisa merasa bahagia atau positif sepanjang waktu. Ini bisa menciptakan jarak emosional dalam hubungan interpersonal dan menghalangi komunikasi yang sehat dan mendalam.
  3. Menghambat Proses Penyembuhan: Emosi negatif, meskipun tidak menyenangkan, adalah bagian penting dari proses penyembuhan dan pertumbuhan pribadi. Ketika seseorang menghadapi tantangan atau kesulitan emosional, mereka perlu waktu untuk merasakan perasaan mereka secara penuh sebelum mereka dapat melangkah maju. Toxic positivity sering kali mempercepat proses ini dengan mendorong orang untuk “cepat bangkit” atau “lebih bersyukur,” yang bisa menghalangi individu untuk meresapi dan mempelajari apa yang sebenarnya mereka rasakan. Tanpa pemahaman dan penerimaan diri, penyembuhan yang mendalam sulit tercapai.
  4. Pengurangan Kualitas Komunikasi: Dalam komunikasi yang dipenuhi dengan toxic positivity, kualitas percakapan bisa berkurang. Bukannya berbicara dengan kejujuran dan keterbukaan tentang perasaan, orang cenderung berfokus pada “solusi cepat” yang menyarankan orang lain untuk mengubah cara mereka berpikir. Ini bisa menyebabkan komunikasi yang dangkal dan tidak otentik, karena orang-orang mungkin merasa terpaksa untuk menunjukkan hanya sisi positif mereka tanpa bisa mengungkapkan kerentanannya. Hal ini dapat merusak kedalaman dan keintiman hubungan antar individu, yang seharusnya didasarkan pada saling pengertian dan empati.
    DAFTAR PUSTAKA
    Adrianto, V. C. (2022). PERANCANGAN MEDIA KOMUNIKASI VISUAL UNTUK MENGHINDARI TOXIC PRODUCTIVITY BAGI PEKERJA. Unika Soegijapranata Semarang.
    Asa, P. R. A., & Sudarno, S. (2022). Pelaksanaan Webinar “Hustle Culture and Toxic Productivity” oleh PT Uni Tokopo Teknologi. Seminar Nasional Riset Terapan, 11(01), 72–77.
    Larasati, N., Suprayitno, S., & Susanti, R. (2024). HUBUNGAN TOXIC WORKPLACE ENVIRONMENT, OCCUPATIONAL STRESS DAN QUALITY OF WORK LIFE YANG DIMODERASI OLEH ORGANIZATIONAL SUPPORT. JURNAL ILMIAH EDUNOMIKA, 8(1).
    Musfira, R., & Khairas, E. E. (2023). Translation Quality of Imperative Sentence Containing Values in the Productive Muslim: Where Faith Meets Productivity. ISoBispro, 2(2), 26–36.
    Ramadhani, F., & Syah, F. (2024). THE ROLE OF PUBLIC RELATIONS IN ORGANIZING A WEBINAR: EFFECTIVENESS OF WORKFLOW IN A SEEMORE EVENT ORGANIZER: PERANAN PUBLIC RELATION DALAM PENYELENGGARAAN WEBINAR: EFEKTIVITAS ALUR KERJA PADA SEEMORE EVENT ORGANIZER. Bisnis Event, 5(18), 40–47.
    Syarifah, S., & Hastriana, A. Z. (2024). Dampak Toxic Workplace Invironment Terhadap Produktivitas Karyawan di Apollo Pamekasan. Innobiz: Jurnal Ilmu Manajemen, Bisnis Dan Keuangan, 1(2), 10–19.
    Tsabita, A., Febriyanti, F., Komariah, S., & Wahyuni, S. (2023). Tren Toxic Productivity Sebagai Gejala Terjadinya Burnout Syndrome Terhadap Prestasi Akademik pada Remaja Rentang Usia 18-23 Tahun di Kota Bandung. SOSMANIORA: Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 2(4), 495–501.