Judul: Perjalanan Mandiri Seorang Farid
Oleh: Muhammad Farid Alhamdani
Hidup ini sering kali seperti menonton film. Ada drama, komedi, aksi, bahkan thriller. Tapi siapa yang bisa mengira, aku, Muhammad Farid Alhamdani, yang lahir di Bandung, akan menjadi pemeran utama dalam film perjuangan hidupku sendiri?
Semuanya dimulai dari sebuah pemberontakan kecil.
Aku lahir di keluarga yang kental dengan nilai-nilai agama. Itu indah, aku tidak menyangkalnya. Tapi entah kenapa, dalam hatiku, aku merasa ada hal lain yang memanggilku. Seperti ada suara di kepalaku yang berkata, “Farid, kamu tidak harus selalu mengikuti jalur yang sudah dipetakan.”
Ketika orang tuaku berharap aku masuk ke jurusan yang berbau agama, aku tahu itu berasal dari harapan baik. Tapi aku? Aku ingin sesuatu yang berbeda. Dunia seni selalu membuatku tertarik sejak kecil. Aku suka menggambar, bermain warna, dan mengutak-atik desain. Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) adalah mimpiku. Namun, mencoba mengutarakan mimpi itu pada keluargaku rasanya seperti memulai perang kecil.
“DKV? Mau jadi apa nanti? Hidup itu bukan cuma soal hobi, Nak. Kamu harus realistis,” begitu kata Ayahku.
Tapi aku tidak menyerah. Dalam diam, aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan membuktikan bahwa jalanku bukan jalan buntu.
Babak Awal: Keputusan yang Mengubah Segalanya
Tahun itu, aku memutuskan untuk mendaftar ke jurusan DKV. Aku tahu, ini bukan keputusan yang mudah bagi keluargaku. Mereka kecewa. Aku bisa melihatnya dari raut wajah mereka. Tapi aku tetap maju. Dalam hati, aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah.
Aku tidak hanya melawan ekspektasi keluarga, tapi juga tantangan hidup yang baru. Aku membuat kesepakatan dengan diriku sendiri: jika aku memilih jalanku sendiri, maka aku harus bertanggung jawab atas semua konsekuensinya. Tidak boleh ada keluhan. Tidak boleh ada penyesalan.
Dan begitulah aku memulai hidup sebagai mahasiswa DKV yang mandiri.
Babak Kedua: Jerih Payah di Tengah Tantangan
Hari-hari awal sebagai mahasiswa terasa seperti petualangan seru sekaligus menantang. Masalah pertama datang dalam bentuk uang.
Di jurusan DKV, tugas-tugasnya tidak murah. Ada tugas menggambar yang memerlukan peralatan mahal, tugas desain yang butuh software canggih, dan tugas kelompok yang kadang meminta budget tambahan. Di sisi lain, UKT (Uang Kuliah Tunggal) tidak bisa diabaikan. Kalau dihitung-hitung, pengeluaran itu bisa membuat kepala pening.
Aku memutuskan untuk bekerja sambilan.
Aku ingat malam-malam pertama saat mulai bekerja. Kadang aku menjadi pelayan kafe kecil di Bandung, kadang membantu teman-teman mencetak tugas dengan bayaran kecil. Ada pula saat-saat aku menjadi freelance desainer, mengerjakan logo atau poster untuk klien.
Awalnya, aku tidak tahu bagaimana rasanya menghasilkan uang sendiri. Tapi ketika aku mendapatkan uang pertama hasil jerih payahku, rasanya luar biasa. Meski hanya beberapa ratus ribu, aku merasa seperti pemenang medali emas Olimpiade.
Babak Ketiga: Tugas, Tidur, dan Kopi
Menjadi mahasiswa DKV adalah sebuah seni bertahan hidup.
Bayangkan ini: malam yang larut, tugas menumpuk di meja, dan tenggat waktu yang terasa seperti pisau di leher. Kadang, satu-satunya teman setiaku adalah secangkir kopi.
Di kampus, dosen tidak pernah memberi ampun. Mereka ingin melihat karya terbaik kita. Itu membuatku belajar satu hal penting: hidup adalah tentang disiplin. Aku belajar mengatur waktu dengan sangat ketat. Pagi untuk kuliah, siang untuk bekerja, malam untuk tugas, dan dini hari untuk refleksi kecil: apakah ini semua layak?
Jawabannya selalu sama: ya, ini layak.
Aku tidak hanya belajar DKV di kampus, tapi juga belajar tentang kehidupan. Bagaimana caranya bertahan, bagaimana caranya memaksimalkan 24 jam dalam sehari, dan bagaimana caranya menikmati proses, meski penuh perjuangan.
Babak Keempat: Jatuh, Bangkit, dan Terus Melangkah
Hidup tidak selalu berjalan mulus. Ada masa-masa sulit di mana aku merasa hampir menyerah.
Aku pernah kehabisan uang di tengah bulan. Tidak punya uang untuk makan, aku hanya bertahan dengan mie instan selama seminggu. Aku pernah gagal mengumpulkan tugas tepat waktu karena laptopku rusak. Rasanya seperti dunia runtuh. Tapi di setiap momen sulit itu, aku selalu berkata pada diriku sendiri, “Farid, kamu bisa. Ini cuma batu kecil di jalanmu.”
Dan aku terus melangkah.
Aku tidak pernah benar-benar sendirian. Ada teman-teman yang selalu mendukungku, dosen yang memberikan inspirasi, dan keluarga yang meski awalnya kecewa, perlahan mulai menerima pilihanku.
Babak Kelima: Bukti Nyata
Tahun ketiga kuliah, aku mulai melihat hasil dari semua kerja keras ini. Aku mendapatkan proyek desain besar pertamaku. Rasanya seperti mimpi. Klien itu menyukai karyaku dan membayar lebih dari yang aku harapkan.
Dari uang itu, aku bisa membayar UKT tanpa meminta bantuan siapa pun. Aku juga bisa membeli peralatan desain yang lebih baik. Tapi yang lebih penting, aku membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku bisa.
Aku pernah membaca sebuah kalimat yang mengatakan, “Kemandirian adalah seni mengubah mimpi menjadi kenyataan dengan tanganmu sendiri.” Dan aku merasa, inilah aku sekarang.
Babak Penutup: Bukan Akhir, tapi Awal Baru
Kini, aku hampir menyelesaikan kuliahku. Perjalanan ini belum berakhir, tapi aku tahu satu hal pasti: aku tidak akan berhenti bermimpi.
Jika ada satu pelajaran yang ingin aku bagikan dari ceritaku, itu adalah ini: berani mengambil risiko untuk mengejar mimpi adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.
Kadang, dunia akan mengatakan bahwa mimpi kita tidak realistis. Tapi apa yang mereka tahu? Dunia ini milik mereka yang berani mencoba, bukan mereka yang hanya diam dan menunggu.
Aku, Muhammad Farid Alhamdani, mungkin hanya seorang anak dari Bandung. Tapi aku yakin, setiap langkah kecil yang aku ambil menuju mimpiku adalah langkah besar menuju kehidupan yang lebih baik.
Dan, siapa tahu? Mungkin suatu hari nanti, aku akan duduk di ruang tamu bersama keluargaku, menunjukkan karya-karya desainku, dan berkata, “Ini hasil dari semua perjuangan itu, Ayah, Ibu. Terima kasih telah mendukungku, meski awalnya kalian ragu.”
Hidup ini seperti menggambar, bukan? Kita tidak tahu seperti apa hasilnya sampai semua garis selesai ditarik. Tapi selama kita percaya pada prosesnya, setiap goresan pasti bermakna.
Epilog: Sebuah Titik yang Masih Berjalan
Hidup mandiri memang tidak mudah. Tapi setiap malam yang panjang, setiap keringat, dan setiap air mata adalah bagian dari perjalanan ini. Dan aku bersyukur atas semuanya.
Ini ceritaku. Bagaimana ceritamu?