Tatemae : Seni Berkomunikasi dan Budaya Harmoni di Jepang

Orang Jepang sangat menjunjung tinggi harmoni dalam hubungan sosial. Salah satu hal yang dibudayakan dan menjadi ciri khas dari masyarakat Jepang yaitu dalam hal berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, masyarakat Jepang sering memperlihatkan perilaku yang kontradiktif, seperti yang terlihat dalam konsep budaya tatemae. Penggunaan tatemae dilakukan agar dapat survive dalam masyarakat yang bersifat komunal sehingga tidak meresahkan sekitar dan dapat diterima masyarakat lain. Hal ini merupakan cara menjaga keharmonisan sosial demi menghindari konflik dalam masyarakat Jepang.

Definisi Tatemae

Tatemae (建前) adalah istilah dalam bahasa Jepang yang merujuk pada perilaku atau sikap yang ditampilkan seseorang di hadapan umum, dengan menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya. Istilah ini sering kali dikaitkan dengan budaya Jepang yang sangat menghargai kesopanan, kehormatan, dan hubungan antar individu dalam masyarakat. Konsep tatemae bisa dipahami sebagai “wajah luar” atau norma sosial yang diterapkan dalam interaksi sehari-hari, terutama dalam konteks yang formal atau profesional. Secara harfiah, kata tatemae terdiri dari dua kanji, yaitu tate (建) yang berarti “membangun” atau “menyusun,” dan mae (前) yang berarti “depan” atau “di hadapan.” Oleh karena itu, tatemae dapat diartikan sebagai apa yang “dibangun” atau disusun untuk dilihat oleh orang lain, yaitu apa yang tampak di permukaan.

Asal Usul Tatemae dalam Budaya Jepang

Tatemae terkait erat dengan struktur masyarakat Jepang yang mengutamakan harmoni kelompok dan stabilitas sosial. Asal usul tatemae berasal dari era samurai, di mana menjaga kehormatan dan status sosial adalah hal yang paling penting. Dalam masyarakat tradisional Jepang, rasa malu (haji) dan penghormatan terhadap hubungan sosial sangat penting, tatemae menjadi cara untuk menjaga kedamaian dalam interaksi sosial.

1. Akar Budaya di Zaman Feodal Jepang

Sejak zaman feodal Jepang, masyarakat telah diajarkan untuk menunjukkan perilaku yang menjaga citra diri dan menghindari situasi yang dapat menyebabkan ketegangan atau rasa malu. Pada periode Edo (1603–1868), Jepang merupakan masyarakat hierarkis dengan sistem kelas yang ketat. Hubungan sosial pada masa itu terfokus pada kepatuhan terhadap aturan kelompok untuk menjaga ketertiban. Catatan sejarah menunjukkan bahwa konflik internal dalam desa pun harus diselesaikan dengan cepat untuk mencegah gangguan terhadap pekerjaan masyarakat seperti pertanian. Dalam hal ini, konsep seperti tatemae dan honne muncul sebagai mekanisme budaya untuk menjaga hubungan antar individu tetap harmonis.

Tatemae berfungsi sebagai “fasad sosial” yaitu perilaku atau sikap yang sesuai dengan norma komunitas meskipun berbeda dari perasaan pribadi (honne). Hal ini terkait dengan prinsip “wa” (和), yang berarti harmoni, nilai yang mendasari interaksi di masyarakat Jepang. Menurut Hiroshi Minami dalam bukunya Nihontekijiga, kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan tatemae dan honne semakin penting pada masyarakat hierarkis di era Edo. Seiring waktu, penggunaan tatemae menjadi tanda kedewasaan dan kematangan sosial. Individu belajar untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan ekspektasi sosial berdasarkan faktor-faktor seperti usia, status, dan hubungan dengan orang lain​.

2. Peran dalam Komunikasi Modern

Dalam budaya Jepang modern, tatemae berperan sebagai cara menjaga harmoni dalam hubungan sosial, pribadi, dan kehidupan sehari-hari.

  1. Tatemae sebagai Alat Sosial : Dalam budaya modern, tatemae menjadi alat yang membantu seseorang membaca suasana (空気を読む atau kuki wo yomu) dan bertindak sesuai harapan orang lain. Pada situasi formal, seperti pertemuan bisnis atau acara publik, tatemae sering digunakan untuk memberikan kesan yang baik, menjaga profesionalisme, atau memenuhi syarat protokol. Di tempat kerja pun, misalnya, seseorang mungkin berpura-pura setuju dengan ide yang tidak mereka dukung sepenuhnya untuk menjaga keharmonisan dalam tim. Hal ini juga mencerminkan penghormatan terhadap hubungan hierarkis seperti senpai-kohai (senior-junior).
  2. Tatemae dalam Hubungan Pribadi : Tatemae juga biasa terlihat dalam interaksi sosial hubungan pribadi antar individu. Sebagai contoh, seseorang berkata, “Makanan ini enak sekali,” padahal sebenarnya dia tidak menyukainya. Hal ini dilakukan untuk menjaga perasaan orang lain dan menghindari adanya ketidaknyamanan diantara kedua belah pihak​.
  3. Tatemae dan Honne dalam Kehidupan Sehari-hari : Honne adalah kebalikan dari tatemae, yaitu ekspresi perasaan atau pendapat yang sebenarnya. Tatemae lebih sering digunakan dalam situasi publik atau profesional, sementara honne biasanya dibagikan hanya kepada orang-orang terdekat, seperti keluarga atau teman baik​.

Perbedaan Tatemae dan Honne

Di balik tatemae, terdapat konsep lain yang disebut honne. Honne adalah keinginan dan perasaan yang sesungguhnya. Tatemae dan honne adalah dua konsep budaya Jepang yang saling terkait, tetapi memiliki perbedaan mendasar. Sering kali diartikan bahwa honne (本音) adalah pengaplikasian ura (裏) yaitu wajah pribadi sedangkan tatemae (建前) adalah sesuatu yang mengaplikasikan omote (表) yaitu wajah publik. Hubungan antara omote dan ura sama dengan hubungan antara honne dan tatemae. Honne ada karena adanya tatemae dan honne itu sendiri mempengaruhi tatemae dari belakang. Honne dan tatemae saling melengkapi satu sama lain sehingga tidak dapat terpisahkan dalam berinteraksi sosial masyarakat Jepang. Keduanya berperan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang dan berfungsi sebagai alat untuk mengatur interaksi antarpribadi, terutama dalam konteks keharmonisan dan komunikasi sosial. Meskipun sering disebut bersamaan, keduanya menggambarkan dua sisi berbeda dari diri seseorang, yaitu tatemae sebagai “penampilan” atau “wajah sosial,” sedangkan honne sebagai “perasaan yang sebenarnya” atau “pikiran pribadi”.

Tatemae : Penampilan Sosial yang Diharapkan

Tatemae mengacu pada sikap, tindakan, atau pernyataan terhadap orang lain, yang biasanya disesuaikan dengan harapan dan norma sosial. Dengan kata lain, tatemae bukanlah apa yang dirasakan seseorang secara pribadi, melainkan apa yang ditunjukkan di depan umum. Adapun ciri-ciri tatemae sebagai berikut :

  • Kesopanan dan Rasa Hormat: Tatemae menekankan pentingnya kesopanan dan rasa hormat dalam semua interaksi. Di Jepang, perilaku ini sering kali dimulai sejak usia dini, dan anak-anak diajarkan untuk selalu berperilaku baik dan berbicara dengan cara yang tidak menyinggung perasaan orang lain.
  • Menciptakan keharmonisan sosial : Tatemae bertujuan membangun hubungan yang baik dan tidak menimbulkan konflik. Hal ini mencakup kebiasaan berbicara secara tidak langsung dan menghindari pernyataan negatif atau perasaan yang bisa menyinggung.

Honne: Perasaan dan Pemikiran Sebenarnya

Sebaliknya, honne adalah perasaan dan pendapat seseorang yang sebenarnya mereka pikirkan atau rasakan dalam hati mereka. Honne adalah ekspresi jujur ketika seseorang merasa aman untuk menunjukkan atau mengungkapkan perasaan pribadi mereka, biasanya hanya kepada keluarga dan teman dekat. Adapun ciri-ciri honne sebagai berikut :

  • Kejujuran Tanpa Filter: Dalam hal kejujuran, honne adalah ekspresi dari pikiran dan perasaan yang sebenarnya, tanpa memperhatikan norma sosial atau harapan orang lain.
  • Pentingnya Kepercayaan : Honne hanya diungkapkan dalam situasi atau lingkungan yang sangat pribadi, dengan orang yang dipercaya sepenuhnya. Mengungkapkan perasaan sebenarnya pada seseorang yang tidak terlalu dekat bisa dianggap tidak sopan atau bahkan melanggar norma.

Perbedaan Utama antara Tatemae dan Honne

  1. Tujuan Sosial : Tatemae bertujuan untuk menjaga hubungan sosial yang harmonis dan menghindari ketegangan. Ini adalah “penampilan luar” saat berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan ekspektasi sosial. Honne adalah ungkapan perasaan dan pendapat pribadi yang jujur, sering kali hanya diungkapkan dalam hubungan yang lebih intim dan penuh kepercayaan.
  2. Konteks Penggunaan : Tatemae digunakan dalam konteks sosial yang lebih luas, dipertunjukkan dalam interaksi sehari-hari dengan orang yang tidak terlalu dekat. Ini adalah cara untuk bersosialisasi dalam masyarakat dengan menghindari konflik dan ketegangan. Honne digunakan dalam hubungan yang lebih intim, seperti keluarga dan teman dekat, dan lebih digunakan dalam percakapan yang lebih pribadi atau santai.
  3. Transparansi : Tatemae tidak mencerminkan perasaan yang sebenarnya, sehingga disalahartikan sebagai kebohongan atau kemunafikan oleh orang asing. Namun, bagi masyarakat Jepang tatemae bukanlah kebohongan, melainkan bagian penting dari etika sosial untuk menjaga keharmonisan. Honne adalah ekspresi pribadi yang tidak harus sesuai dengan norma sosial, sehingga lebih langsung dan tidak dipengaruhi oleh aturan sosial.
  4. Risiko Konflik : Tatemae dapat membantu menghindari konflik sosial, namun jika perbedaan antara tatemae dan honne terlalu besar, dapat menimbulkan kesalahpahaman atau ketegangan internal. Honne dapat menyebabkan ketegangan atau konflik jika diungkapkan tanpa pertimbangan yang matang, terutama dalam situasi yang tidak mendukung atau dengan orang yang tidak dekat.

Kritik, Tantangan, dan Dampak Budaya Tatemae

Meskipun dianggap sebagai bagian penting dari komunikasi Jepang, beberapa orang memandang tatemae sebagai bentuk penipuan dan ketidaktulusan, terutama bila digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam aspek kehidupan Jepang, perilaku tatemae sering dijumpai dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan bermasyarakat, tetapi tatemae sering mendapat kritik, terutama dari perspektif budaya yang lebih mengutamakan keterusterangan. Konfrontasi secara langsung seperti yang dilakukan di negara barat terlihat baik, tetapi di Jepang bisa dinilai sebagai suatu hal yang kurang sopan. Kritik ini menyoroti perbedaan budaya dalam gaya dan nilai komunikasi, di mana keterusterangan dan kejujuran sangat dihargai dalam beberapa budaya, sementara ketidaklangsungan dan harmoni diprioritaskan dalam budaya lain.

Penerimaan tatemae juga bervariasi antar generasi di Jepang. Generasi tua cenderung lebih mementingkan menjaga keharmonisan sosial dan berpegang pada norma budaya tradisional, termasuk penggunaan tatemae. Namun, generasi muda lebih cenderung mengutamakan ekspresi dan keaslian individu, sehingga menyebabkan pergeseran sikap terhadap tatemae. Mereka cenderung merasa bahwa keterbukaan lebih relevan dalam dunia modern, terutama dengan pengaruh budaya Barat yang menekankan kejujuran dalam komunikasi. Hal ini menciptakan kesenjangan nilai antara generasi, sekaligus menunjukkan tantangan dalam menyeimbangkan tradisi dengan kebutuhan modernitas.

Meningkatnya pengaruh budaya Barat dan globalisasi juga menimbulkan tantangan terhadap praktik tatemae dalam masyarakat Jepang modern. Ketika masyarakat Jepang menjadi lebih beragam dan multikultural, nilai-nilai dan norma-norma tradisional yang mendasari tatemae mungkin tidak lagi berlaku atau relevan. Selain itu, kebangkitan media sosial dan komunikasi digital telah memudahkan individu untuk mengekspresikan perasaan dan pendapat mereka yang sebenarnya, sehingga menantang kebutuhan akan tatemae dalam konteks tertentu. Tantangan-tantangan ini menyoroti perlunya masyarakat Jepang untuk beradaptasi dan berkembang sebagai respons terhadap perubahan dinamika budaya dan sosial dunia.

Tatemae memberikan dampak positif dalam hubungan sosial, dunia bisnis, dan situasi yang membutuhkan formalitas tinggi. Dengan menahan pendapat pribadi dan mengikuti norma sosial, seseorang dapat menghindari konflik yang tidak perlu dan menjaga keharmonisan dalam lingkungan kerja atau komunitas. Dalam konteks ini, tatemae membantu menciptakan suasana yang nyaman dan saling menghormati. Namun, tatemae juga memiliki dampak negatif. Terlalu sering menggunakan tatemae juga dapat membuat orang menjadi frustrasi, terutama ketika tidak bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Selain itu, tatemae juga mempersulit komunikasi dengan budaya lain. Wisatawan atau pendatang yang tidak memahami konsep tatemae akan menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang ‘munafik’ karena tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Sebaliknya, pendatang atau wisatawan akan dianggap tidak sopan jika melakukan konfrontasi secara langsung. Sehingga, dalam interaksi lintas budaya, penting bagi kedua pihak untuk saling memahami. Masyarakat Jepang perlu menyeimbangkan antara menjaga tatemae dan menghormati budaya lain yang lebih terbuka, sementara pendatang atau wisatawan perlu memahami bahwa tatemae adalah bagian dari upaya menjaga keharmonisan sosial dalam budaya Jepang.

Kesimpulan

Tatemae merupakan konsep budaya Jepang yang mencerminkan perilaku atau sikap yang digunakan untuk menjaga harmoni sosial, menghindari konflik, dan menyesuaikan diri dengan norma masyarakat. Konsep ini berakar pada nilai tradisional seperti kehormatan dan harmoni kelompok yang telah terbentuk sejak era feodal. Dalam komunikasi modern, tatemae berperan penting baik dalam konteks formal maupun pribadi, memungkinkan masyarakat Jepang menjaga hubungan sosial yang nyaman dan saling menghormati.

Tatemae dan honne adalah dua konsep budaya Jepang yang saling melengkapi dan berperan penting dalam menjaga keseimbangan hubungan sosial. Tatemae mewakili “penampilan sosial” yang sesuai dengan norma dan harapan masyarakat untuk menjaga keharmonisan, sedangkan honne mencerminkan “perasaan dan pikiran sejati” seseorang yang hanya diungkapkan dalam lingkungan yang intim dan penuh kepercayaan. Meski memiliki perbedaan dalam tujuan, konteks, dan transparansi, kedua konsep ini membantu masyarakat Jepang mengatur interaksi sosial dengan mengutamakan kesopanan dan harmoni sambil tetap menjaga ruang untuk ekspresi pribadi.

Meskipun menghadapi kritik dan tantangan di era modern, tatemae tetap memainkan peran penting dalam menjaga hubungan sosial yang harmonis. Seiring dengan meningkatnya pengaruh globalisasi dan keberagaman budaya, Jepang perlu menemukan cara untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional seperti tatemae sambil beradaptasi dengan perubahan dunia. Dengan pemahaman dan penyesuaian yang tepat, tatemae dapat terus relevan tanpa kehilangan makna aslinya.