STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM PENANGANAN STUNTING DI KABUPATEN BANDUNG

Stunting adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan, sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya sebagai akibat dari masalah gizi kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu yang lama. Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, dijelaskan bahwa stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang diakibatkan terjadinya kekurangan gizi kronis serta terjadinya infeksi yang telah berulang, yang dapat dilihat dengan adanya kelainan pada tinggi atau panjang badan kurang dari standar yang telah ditetapkan oleh menteri kesehatan.

Keadaan stunting akan terjadi pada anak balita usia 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) yang mengalami gagal tumbuh yang diakibatkan terjadinya gizi kronis (Kementerian PPN/ Bappenas, 2018). Hal tersebut menyebabkan munculnya berbagai kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak karena lebih rentan atau beresiko menderita penyakit. Tidak jarang ditemui anak yang mengalami stunting mengalami permasalahan dalam perkembangan otak dan tubuh.

Anak yang berperawakan pendek tidak serta-merta mengalami stunting. Balita dapat dikatakan stunting apabila tinggi badannya berada di bawah kisaran normal dari standar tinggi badan anak berdasarkan usia pada dua kali pemeriksaan berturut-turut.

Selain perawakan tubuhnya yang pendek, adapun ciri-ciri lain dari stunting adalah sebagai berikut:

  • Tumbuh kembangnya lambat.
  • Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya
  • Berat badan tidak naik bahkan akan cenderung menurun.
  • Kemampuan fokus dan memori belajarnya tidak baik.
  • Anak cenderung lebih pendiam.
  • Fase pertumbuhan gigi pada anak melambat.
  • Dalam jangka panjang, bagi anak perempuan berpotensi telat menstruasi pertama.
  • Anak lebih mudah terserang/terinfeksi berbagai penyakit.

Stunting tidak hanya mengangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga dapat menyebabkan balita menjadi mudah sakit, dan juga dapat terjadi gangguan perkembangan pada otak serta kecerdasan balita, sehingga stunting dapat menjadi ancaman besar terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia (Pusdatin Kemenkes, 2020). Selain itu, stunting juga memiliki dampak jangka pendek, menengah, dan panjang yang signifikan. Dampak jangka pendek meliputi penurunan daya tahan tubuh, peningkatan risiko terhadap berbagai penyakit, dan tingkat morbiditas serta mortalitas yang lebih tinggi. Dampak jangka menengah melibatkan gangguan kemampuan intelektual dan kognitif pada penderita stunting. Sedangkan dampak jangka panjang mencakup risiko lebih tinggi terkena penyakit degeneratif pada usia dewasa dan terhambatnya potensi sumber daya manusia (Archda & Tumangger, 2019).

faktor-faktor yang menyebabkan stunting di Indonesia sebagai berikut:

  • Kurang Gizi dalam waktu lama.

Penyebab stunting pada dasarnya dapat dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan, dan seringkali hal ini tidak disadari. Pada periode kehamilan, anak dapat mengalami kekurangan gizi yang berperan dalam terjadinya stunting. Salah satu faktor utamanya adalah akses yang terbatas bagi ibu hamil terhadap makanan sehat dan bergizi, seperti makanan yang mengandung protein yang mencukupi. Keterbatasan asupan nutrisi ini berdampak pada kekurangan gizi pada janin yang dikandung oleh ibu (Ekayanthi & Suryani, 2019). Selain itu, rendahnya konsumsi vitamin dan mineral juga dapat berkontribusi pada kondisi malnutrisi pada janin. Kekurangan gizi yang terjadi sejak dalam kandungan merupakan penyebab utama terjadinya stunting pada anak. Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa stunting dapat dimulai sejak awal kehidupan anak, bahkan sebelum mereka dilahirkan.

  • Pola Asuh

Selain faktor gizi sejak dalam kandungan, pola asuh yang kurang efektif juga berperan penting dalam menyebabkan stunting pada anak. Pola asuh yang kurang efektif meliputi perilaku dan praktik pemberian makanan kepada anak yang tidak optimal. Banyak faktor yang dapat memengaruhi pola asuh, seperti kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang gizi yang seimbang, pola makan yang tidak teratur, dan kesulitan dalam mengakses makanan bergizi (Noorhasana & Tauhidah, 2021). Selain itu, masa remaja dan kehamilan yang kurang nutrisi pada ibu juga dapat berdampak negatif pada kondisi gizi anak yang dilahirkan. Selama masa laktasi, pola makan dan nutrisi ibu yang tidak memadai juga dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas ASI yang diberikan kepada bayi. Semua ini berkontribusi pada terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga meningkatkan risiko stunting.

  • Pola Makan

Pola makan, terutama pengetahuan ibu tentang pola makanan yang seimbang, juga merupakan faktor penting dalam penyebab stunting. Pengetahuan yang kurang atau tidak memadai tentang makanan yang sehat dan bergizi dapat memengaruhi pola makan keluarga secara keseluruhan. Ketika ibu tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebutuhan gizi anak dan pentingnya makanan bergizi, mungkin terjadi kecenderungan untuk memberikan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Pola makan yang tidak seimbang ini dapat menyebabkan kekurangan nutrisi yang berdampak negatif pada pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga meningkatkan risiko terjadinya stunting (Putri, 2020).

  • Kurangnya Perawatan Pasca Melahirkan

Kurangnya perawatan pasca melahirkan juga merupakan faktor yang berkontribusi pada stunting. Setelah melahirkan, ibu membutuhkan perawatan yang memadai untuk memulihkan kondisi tubuh dan menyediakan nutrisi yang cukup untuk menyusui bayi. Namun, kurangnya perawatan pasca melahirkan dapat menghambat pemulihan ibu dan mengurangi produksi ASI yang cukup. Ketidakcukupan nutrisi pada masa laktasi dapat berdampak pada kualitas dan kuantitas ASI yang diberikan kepada bayi. Selain itu, kondisi kesehatan ibu yang tidak terpantau dengan baik juga dapat memengaruhi perawatan dan pola makan yang sehat setelah melahirkan (Setiadi & Dwijayanti, 2020).

  • Adanya Sakit Infeksi Terus Meneru

Sakit infeksi yang terjadi secara berulang pada anak dapat menjadi faktor yang menyebabkan stunting. Ketika anak terus-menerus mengalami infeksi, sistem kekebalan tubuhnya tidak dapat berfungsi dengan baik. Hal ini dapat mengganggu penyerapan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (Nindita, 2020). Infeksi yang berulang juga dapat menyebabkan gangguan dalam proses metabolisme tubuh, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak.

  • Sanitasi Yang Kurang Baik

Sanitasi yang kurang baik juga menjadi faktor yang berperan dalam terjadinya stunting. Ketika sanitasi tidak memadai, seperti akses yang terbatas terhadap air bersih, sanitasi yang buruk di rumah, atau kurangnya fasilitas sanitasi di lingkungan sekitar, risiko infeksi dan penyakit menular akan meningkat. Infeksi dan penyakit tersebut dapat mengganggu penyerapan nutrisi yang cukup dan optimal dalam tubuh anak (Sutarto dkk, 2018). Selain itu, sanitasi yang buruk juga dapat menyebabkan penyebaran parasit dan bakteri yang berkontribusi pada masalah gizi dan kesehatan yang buruk.

Dikutip dari www.antaranews.com, disebutkan bahwa WHO mengestimasikan jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah (prevalensi) Stunting (balita kerdil) di seluruh dunia sebesar 22 persen  atau sebanyak 149,2 juta jiwa pada tahun 2020. Di Indonesia, berdasarkan data Asian Development Bank, pada tahun 2022 persentase Prevalence of Stunting Among Children Under 5 Years of Age di Indonesia sebesar 31,8 persen. Jumlah tersebut, menyebabkan Indonesia berada pada urutan ke-10 di wilayah Asia Tenggara.  Selanjutnya pada tahun 2022, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, angka stunting Indonesia berhasil turun menjadi 21,6 persen.

Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan, Jawa Barat berhasil menurunkan angka prevalensi stunting 10,9 persen, dari angka 31,1 persen di tahun 2018 ke angka 20,2 pada 2022, dengan rata-rata penurunan mencapai 2,72 persen per tahun.

Sedangkan data dari survey Status Gizi Indonesia (SSGI), kasus stunting di Kabupaten Bandung turun 6,1 persen, yaitu dari 31,1 persen di tahun 2021 menjadi 25 persen di tahun 2022. Meskipun Kabupaten Bandung mengalami penurunan prevalensi stunting, tetapi prevalensi stunting harus terus di turunkan  ke angka 14 persen di tahun 2024 mengikuti target nasional. Untuk itu , dalam menekan stunting di Kabupaten Bandung, tentunya memerlukan strategi yang matang supaya prevalensi stunting dapat terus menurun sesuai dengan target nasional atau bahkan lebih.

Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting terdiri dari lima pilar, yaitu:

  • Komitmen dan Visi Kepemimpinan

Pada pilar ini, dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk mengarahkan K/L terkait Intervensi Stunting baik di pusat maupun daerah. Selain itu, diperlukan juga adanya penetapan strategi dan kebijakan, serta target nasional maupun daerah (baik provinsi maupun kab/kota) dan memanfaatkan Sekretariat Sustainable Development Goals SDGs dan Sekretariat TNP2K sebagai lembaga koordinasi dan pengendalian program program terkait Intervensi Stunting.

  • Kampanye Nasional dan Komunikasi Perubahan Prilaku

Berdasarkan pengalaman dan bukti internasional terkait program program yang dapat secara efektif mengurangi pervalensi stunting, salah satu strategi utama yang perlu segera dilaksanakan adalah melalui kampanye secara nasional baik melalui media masa, maupun melalui komunikasi kepada keluarga serta advokasi secara berkelanjutan yang akan investasi melalui Kemitraan dengan dunia usaha, Dana Desa, I dan lain-lain dalam infrastruktur pasar pangan baik ditingkat urban maupun rural.

  • Konvergensi Program Pusat, Daerah, dan Desa

Pilar ini bertujuan untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi, serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. Di samping itu, dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan program yang ada (Puskesmas, Posyandu, PAUD, BPSPAM, PKH dll) terutama dalam memberikan dukungan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan balita pada 1.000 HPK serta pemberian insentif dari kinerja program Intervensi Stunting di wilayah sasaran yang berhasil menurunkan angka stunting di wilayahnya. Terakhir, pilar ini juga dapat dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke intervensi prioritas Intervensi stunting.

  • Ketahanan Pangan dan Gizi

Pilar ini berfokus untuk (1) mendorong kebijakan yang memastikan akses pangan bergizi, khususnya di daerah dengan kasus stunting tinggi, (2) melaksanakan rencana fortifikasi bio- energi, makanan dan pupuk yang komprehensif, (3) pengurangan kontaminasi pangan, (4) melaksanakan program pemberian makanan tambahan, (5) mengupayakan investasi melalui Kemitraan dengan dunia usaha, Dana Desa, dan lain- lain dalam infrastruktur pasar pangan baik ditingkat urban maupun rural.

  • Pemantauan dan Evaluasi

Pilar yang terakhir ini mencakup pemantauan exposure terhadap kampanye nasional. pemahaman serta perubahan perilaku sebagai hasil kampanye nasional stunting, pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan pemberian dan kualitas dari layanan program Intervensi Stunting, pengukuran dan publikasi secara berkala hasil Intervensi Stunting dan perkembangan anak setiap tahun untuk akuntabilitas, Result-based planning and budgeting (penganggaran dan perencanaan berbasis hasil) program pusat dan daerah, dan pengendalian program-program Intervensi Stunting.

Strategi ini diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi pemerintah yang terkait dan institusi non-pemerintah, seperti swasta, masyarakat madani, dan komunitas. Strategi ini digunakan untuk menyasar kelompok prioritas rumah tangga 1.000 HPK dan masyarakat umum di lokasi prioritas.