Televisi adalah salah satu media hiburan yang paling mudah diakses dan digemari oleh masyarakat di seluruh dunia. Di Indonesia, program seperti sinetron, talk show, hingga acara pencarian bakat menjadi tontonan favorit sehari-hari. Sementara itu, di Jepang, program televisi (bangumi, 番組) memiliki ciri khas tersendiri yang sering dianggap unik, bahkan aneh, oleh penonton luar negeri. Perbedaan dalam format, gaya penyajian, hingga nilai budaya yang tercermin membuat program televisi di kedua negara ini menarik untuk dibandingkan.
Pertama-tama saya akan membahas terlebih dahulu tentang sejarah televisi dari kedua negara tersebut. Dimulai dari sejarah televisi Indonesia, jadi sejarah televisi Indonesia diawali dengan kelahiran Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada tanggal 24 Agustus, tahun 1962 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No. 29/SK/VII/61. Pada waktu itu, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV. TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi pertama di Indonesia sekaligus tertua dengan jangkauan jaringan mencapai seluruh wilayah di Indonesia saat itu. Bahkan, hingga tahun 1990-an, TVRI menjadi single source information bagi masyarakat. Seiring dengan adanya acara Asian Games IV di Senayan, Jakarta, maka pemerintah Indonesia mulai mempersiapkan TVRI. Oleh sebab itu, pendirian TVRI masih berkaitan dengan siaran perdana Asian Games ke-IV yang dilaksanakan di Stadion Utama Gelanggang Olahraga Bung Karno, Jakarta. Pemerintah Indonesia membutuhkan waktu sekitar 10 bulan untuk mempersiapkan TVRI dengan menempati gedung Kampus Akademi Penerangan di Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta. Adapun persiapan yang dilakukan adalah dengan mengemas program siaran yang kemudian diperluas melalui jaringan teresterial. Selain itu, dibangun pula infrastruktur penyiaran televisi yang dibangun secara bertahap di luar Pulau Jawa. Sejak mengudara di Indonesia, TVRI telah beberapa kali mengalami pergantian status hukum perusahaan. Pada 1963, pemerintah menetapkan status TVRI berbentuk yayasan dengan nama Yayasan Televisi Republik Indonesia. Lebih lanjut, pada 1976, TVRI berubah status menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dinaungi oleh Departemen Penerangan.
Seiring dengan kemajuan demokrasi dan kebebasan untuk berekspresi, pada 1989, pemerintah Indonesia mulai membuka izin untuk didirikan televisi swasta. Stasiun televisi swasta pertama yang dibuka adalah Rajawali Citra Televisi (RCTI) pada 24 Agustus 1989. Akan tetapi, siaran waktu itu hanya bisa diterima dalam ruang lingkup yang terbatas, yaitu wilayah Jabodetabek saja. Sementara itu, daerah lain hanya menangkap siaran RCTI dengan memanfaatkan decoder. Setelah RCTI, mulai bermunculan stasiun televisi swasta lainnya, seperti Surya Citra Televisi (SCTV) pada 1990 dan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 1991. Siaran nasional RCTI dan SCTV baru dilakukan pada 1993. Satu tahun setelahnya, pada 1994, berdiri ANTeve dan Indosiar. Pada waktu itu, diperkirakan sudah berdiri 11 stasiun televisi yang mengudara secara nasional, dengan tambahan Trans TV, Global TV, Lativi, Metro TV, dan TV7.
Nah, itu tadi sekilas tentang sejarah dan perkembangan dari televisi Indonesia. Selanjutnya, untuk sejarah dan perkembangan dari televisi Jepang sendiri pertama kali diperkenalkan pada tahun 1939. Namun, eksperimen dimulai pada tahun 1920-an, dengan perintisan eksperimen Kenjiro Takayanagi pada televisi elektronik. Siaran televisi dihentikan oleh Perang Dunia II, setelah itu siaran televisi reguler dimulai pada 1950. Setelah Jepang mengembangkan sistem HDTV pertama pada 1960-an, MUSE/Hi-Vision diperkenalkan pada 1970-an. Versi modifikasi dari sistem NTSC untuk sinyal analog, yang disebut NTSC-J, digunakan untuk siaran analog antara tahun 1950 dan awal 2010-an. Antara 2010 dan 2012, siaran analog diganti dengan siaran digital menggunakan standar ISDB (yang diperkenalkan pada tahun 2003) dalam tiga tahap: uji coba teknis terjadi pada 24 Juli 2010 di mana penerjemah analog berhenti beroperasi di timur laut Prefektur Ishikawa, pemancar analog di seluruh Ishikawa dan 43 prefektur lainnya ditutup pada 24 Juli 2011, dan pemancar di prefektur Iwate, Miyagi , dan Fukushima menghentikan transmisi pada tanggal 31 Maret 2012, sebagai akibat dari gempa bumi dan tsunami Touhoku 2011. Semua rumah tangga Jepang yang memiliki setidaknya satu perangkat televisi diwajibkan untuk membayar biaya lisensi televisi tahunan yang digunakan untuk mendanai NHK, penyiar layanan publik Jepang. Biayanya bervariasi dari ¥14.910 hingga ¥28.080 tergantung pada metode dan waktu pembayaran dan apakah seseorang hanya menerima televisi terestrial atau juga siaran satelit. Rumah tangga kesejahteraan dapat dibebaskan dari biaya lisensi. Dalam hal apapun, tidak ada kewenangan untuk menjatuhkan sanksi atau denda dalam hal tidak membayar; orang mungkin (dan banyak yang melakukannya) membuang tagihan dan menolak penagih uang sesekali, tanpa konsekuensi.
Saluran media teramat penting untuk memberitakan informasi. Di Jepang, pelopornya adalah NHK (Nippon Hoso Kyokai), atau Perusahaan Penyiaran Jepang, yang berdiri pada 20 Agustus 1926. NHK didirikan berdasarkan model perusahaan radio Britania Raya, BBC. Sebuah jaringan radio kedua dimulai pada 1931 dan siaran gelombang pendek dipancarkan ke luar negeri pada tahun 1935. Pada November 1941, Tentara Kekaisaran Jepang menasionalisasi seluruh kantor berita umum. Mereka juga mengkoordinasikan usaha mereka lewat Majelis Perhubungan Informasi Rahasia. Segala media cetak dan penyiaran pun menjadi pengumuman resmi Markas Besar Tentara Kekaisaran Jepang di Tokyo, selama berlangsungnya Perang Dunia II. NHK lalu memulai jasa siaran televisi pada tahun 1953 dan menyiarkan siaran berwarna pertama kalinya pada tahun 1960. NHK merupakan perusahaan pertama yang memperkenalkan penyiaran iklan ke televisi Jepang, meski kini perusahaan tersebut dibiayai oleh iuran penonton. Penduduk Jepang yang memeliki televisi, diwajibkan membayar iuran sekitar 12 dollar AS setiap bulan di bawah Undang-undang Penyiaran. Namun, undang-undang tersebut tidak menyebut hukuman jika iuran tidak dilunaskan. Jaringan televisi NHK memulai sistem siaran digital pada 2000, sedangkan sistem siaran analog tetap dipertahankan sampai tahun 2011. NHK General TV menyiarkan berbagai acara, mulai dari hiburan, berita, sampai olahraga. Sebagai TV Jepang, NHK juga menampilkan Pertandingan Grand Sumo, Kejuaraan Bisbol Sekolah Menengah Umum, dan yang lainnya. Acara musik tahunan Kohaku Uta Gassen pada malam Tahun Baru juga turut ditampilkan. Sejumlah serial dan film khas Jepang bertema samurai, mengiasi layar kaca NHK. Termasuk juga anime-anime, yang memang berasal dari Jepang seperti Tsubasa Sampao Zettai Shonen. Walaupun sudah berdiri puluhan tahun, NHK tetap mempertahankan eksistensinya. Memberi informasi dan hiburan yang mencerahkan.
Itu tadi adalah sejarah dan perkembangan mengenai program televisi dari kedua negara tersebut. Ternyata keduanya mempunyai sejarah panjang di dunia pertelevisian dan juga tidak kalah dengan negara lainnya. jika berbicara tentang bangumi atau program televisi dari jepang saya sangat menyukai programnya yang bernama baraeti bangumi atau variety show. Hampir setiap hari saya menonton program ini, selain menghibur dan untuk mengisi waktu luang program ini juga saya jadikan sebagai media pembelajaran untuk belajar dan lebih memahami bahasa Jepang. Selain itu, program ini adalah salah satu program paling populer di Jepang. Biasanya, variety show Jepang menampilkan selebritas yang harus menyelesaikan tantangan atau ikut dalam eksperimen sosial. Acara seperti Gaki no Tsukai terkenal karena kekonyolan tantangannya, sementara VS Arashi memadukan permainan tim dengan unsur komedi. Bandingkan dengan Indonesia, kita juga punya variety show seperti Opera Van Java (OVJ) atau Pesbukers. Namun, konsepnya lebih sederhana, sering mengandalkan komedi situasi yang spontan daripada tantangan fisik atau eksperimen unik.

(sumber: https://cdn-brilio-net.akamaized.net/)
Jepang juga punya acara edukasi yang inovatif. Pythagora Switch, misalnya, mengajarkan anak-anak tentang ilmu pengetahuan melalui eksperimen sederhana yang memukau. Orang dewasa juga punya acara seperti Science Zero, yang membahas teknologi canggih dengan cara mudah dipahami. Di Indonesia, acara edukasi sering lebih tersegmentasi. Untuk anak-anak ada Laptop Si Unyil, sedangkan untuk remaja atau dewasa ada program dokumenter seperti Jelajah atau Jejak Petualang. Meskipun informatif, formatnya cenderung lebih serius dan kurang interaktif dibandingkan Jepang.
Jepang adalah rajanya game show. Acara seperti Takeshi’s Castle dan Ninja Warrior sudah mendunia. Dalam game show Jepang, peserta sering kali dihadapkan pada tantangan fisik atau mental yang sulit, namun disajikan dengan humor. Hal ini membuat acara tersebut tidak hanya menarik, tetapi juga menghibur. Indonesia juga memiliki game show seperti Family 100 atau adaptasi dari Takeshi’s Castle. Namun, sering kali formatnya tidak seekstrim atau sekreatif versi Jepang. Game show di Indonesia lebih fokus pada kuis pengetahuan atau permainan ringan yang cocok untuk semua kalangan.

(sumber: https://cdn.idntimes.com/)
Lalu perbedaan yang paling mencolok antara program televisi Jepang dan Indonesia terlihat pada drama dan sinetron. Jepang memiliki dorama (ドラマ) yang biasanya terdiri dari 10–12 episode per musim. Ceritanya padat, fokus, dan memiliki alur yang jelas. Genre yang ditawarkan pun beragam, mulai dari romansa, misteri, hingga slice of life. Contoh dorama yang terkenal yang saya tonton adalah Hana Yori Dango dan Hanzawa Naoki. Sebaliknya, sinetron Indonesia cenderung memiliki episode yang sangat panjang, bahkan bisa mencapai ribuan. Konflik sering kali berulang, seperti tokoh utama yang hilang ingatan, orang miskin yang tiba-tiba kaya, atau dendam keluarga yang tak ada habisnya. Meski demikian, sinetron tetap populer karena ceritanya yang dianggap dekat dengan kehidupan masyarakat.
Di Jepang, program televisi memiliki durasi yang konsisten. Sebagian besar acara berlangsung selama 30 menit hingga 1 jam, tergantung pada jenis programnya. Hal ini memudahkan penonton untuk mengatur waktu mereka. Dorama Jepang, misalnya, biasanya ditayangkan seminggu sekali, memberikan ruang bagi penonton untuk menantikan episode berikutnya. Di Indonesia, durasi program sering kali fleksibel dan sangat bergantung pada rating. Jika sebuah sinetron memiliki rating tinggi, episodenya bisa diperpanjang hingga bertahun-tahun. Hal ini sering kali membuat alur cerita terasa bertele-tele dan kehilangan fokus.

(sumber: https://cdn.rri.co.id/)
Selain dorama ada juga program televisi yang saat ini sudah banyak dikenal oleh berbagai negara yaitu anime. Anime adalah salah satu ekspor budaya Jepang yang paling sukses di dunia. Di Jepang, anime adalah bagian dari program televisi yang disiarkan pada slot waktu tertentu, seperti sore hari untuk anak-anak (Doraemon, Pokemon) atau malam hari untuk remaja dan dewasa (Attack on Titan, Demon Slayer). Anime sering kali diadaptasi dari manga, novel ringan, atau gim, sehingga memiliki alur cerita yang kuat dan genre yang beragam, dari aksi hingga slice of life. Format ini sangat berbeda dengan animasi di Indonesia, yang biasanya ditujukan untuk anak-anak dan fokus pada pendidikan, seperti Adit dan Sopo Jarwo atau Nussa. Anime tidak hanya sekadar hiburan; ia juga mencerminkan nilai-nilai budaya Jepang, seperti kerja keras (Naruto), hubungan antar manusia (Clannad), atau isu sosial (Psycho-Pass). Hal ini membuat anime lebih dari sekadar program TV biasa, melainkan bagian penting dari kehidupan masyarakat Jepang.
Kemudian, jika Anda pernah menonton variety show Jepang, pasti akan langsung menyadari gaya visualnya yang mencolok. Efek suara yang dramatis, animasi yang berlebihan, dan teks besar di layar adalah ciri khas acara Jepang. Ini bertujuan untuk menarik perhatian penonton dan memberikan pengalaman yang lebih interaktif. Di Indonesia, visual yang digunakan cenderung lebih sederhana. Efek suara dan animasi hanya digunakan jika benar-benar diperlukan. Acara televisi di Indonesia lebih fokus pada konten dan interaksi antar-host daripada visual yang mencolok.
Program televisi sering kali mencerminkan budaya masyarakatnya. Di Jepang, acara televisi menonjolkan nilai-nilai seperti kerja keras, kreativitas, dan kedisiplinan. Misalnya, dalam acara kuliner seperti Iron Chef, penonton tidak hanya melihat proses memasak, tetapi juga kisah di balik bahan-bahan dan filosofi memasaknya. Di Indonesia, nilai-nilai seperti kebersamaan dan humor lebih sering muncul dalam program televisi. Acara seperti Dahsyat dan Brownis menonjolkan interaksi antara host, bintang tamu, dan penonton, menciptakan suasana yang santai dan ceria.
Pada sisi perkembangan nya salah satu perbedaan mencolok lainnya adalah tingkat inovasi dalam dunia pertelevisian. Jepang selalu berusaha menciptakan format baru yang segar dan menarik. Acara seperti Terrace House menunjukkan bagaimana Jepang dapat menggabungkan elemen reality show dengan drama kehidupan sehari-hari, menciptakan format yang tidak biasa tetapi sangat menarik. Di sisi lain, Indonesia lebih sering mengadaptasi format dari luar. Misalnya, acara pencarian bakat seperti Indonesian Idol adalah adaptasi dari format Pop Idol di Inggris. Meskipun demikian, adaptasi ini tetap berhasil menarik penonton karena disesuaikan dengan budaya lokal.
Baik di Jepang maupun Indonesia, industri televisi menghadapi tantangan besar dari platform digital seperti Netflix, YouTube, dan TikTok. Di Jepang, stasiun televisi mulai beralih ke platform streaming seperti TVer untuk menjangkau penonton muda yang lebih suka menonton secara on-demand. Di Indonesia, platform digital juga semakin mendominasi. Banyak acara televisi kini diunggah ke YouTube untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Namun, televisi konvensional masih memiliki tempat khusus, terutama bagi masyarakat di daerah yang belum memiliki akses internet stabil.
Program televisi Jepang dan Indonesia mencerminkan perbedaan budaya, nilai, dan preferensi masyarakat masing-masing. Jepang menonjolkan kreativitas, kedisiplinan, dan detail, sementara Indonesia lebih fokus pada kebersamaan, humor, dan hiburan yang mudah dicerna. Meski berbeda, kedua negara ini menunjukkan bahwa televisi tetap menjadi media penting untuk menghibur sekaligus mendidik masyarakat. Dengan inovasi yang terus berkembang, baik Jepang maupun Indonesia memiliki potensi untuk terus menarik penonton di era digital ini.
Referensi:
Sanityastuti, Marfuah Sri. (2007). Membaca Televisi Indonesia, Sebuah Upaya Menyikapi Tayangan Televisi. Jurnal Komunikasi. Vol. 2, Nomor 1, Oktober 2007.
Morrisan. (2011). Manajemen Media Penyiaran Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
“日本放送協会平成17年度業務報告書]” [NHK Business Report 2005] (PDF). hlm. 42.
Nippon Television has made Nikkatsu a subsidiary since 2009.
“Anime as Global Culture: History and Impact,” Japan Times.
“Japanese TV Shows: What Makes Them Unique?” Nippon.com
“Perkembangan Televisi di Indonesia.” Kompasiana.
“Japanese TV Shows: The Wacky, The Serious, and Everything In Between,” Nippon.com.