By:
Reading time:
~ 9 minutes
Let’s connect — just click!
Kita sering mendengar tentang penyakit yang mematikan seperti serangan jantung atau stroke. Namun, jauh dari sorotan media dan kesadaran masyarakat, ada satu kondisi yang secara diam-diam juga dapat merenggut nyawa: epilepsi, khususnya SUDEP (Sudden Unexpected Death in Epilepsy).

SUDEP adalah kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi tanpa penyebab yang jelas, umumnya saat tidur, dan sering kali tanpa sempat tertolong.
Menurut data WHO (2019), lebih dari 50 juta orang di dunia hidup dengan epilepsi, dan sekitar 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Di Indonesia, prevalensinya mencapai 8,2 per 1.000 penduduk, yang setara dengan lebih dari 2 juta orang (BPS, 2024). Dari jumlah tersebut, banyak yang masih bergantung pada metode pemantauan kejang secara manual — yaitu melalui pengawasan langsung oleh keluarga atau caregiver — yang tentu sangat terbatas.
Salah satu ancaman paling serius bagi penderita epilepsi adalah SUDEP, dengan risiko meningkat pada pasien yang mengalami kejang berulang, terutama tonik-klonik umum. Sayangnya, belum ada data resmi SUDEP di Indonesia, mencerminkan kurangnya kesadaran dan minimnya sistem pelaporan. Sementara itu, perangkat deteksi dini berbasis teknologi seperti Empatica Embrace+ atau Epi-Care memang sudah tersedia di luar negeri, namun tidak ramah bagi sebagian besar keluarga di Indonesia karena harganya yang mahal, dukungan yang terbatas, dan bahasa antarmuka yang tidak disesuaikan dengan konteks lokal.
Selain risiko kematian, kejang juga bisa menyebabkan cedera fisik, trauma psikologis, dan tekanan sosial yang tinggi — baik pada penderita maupun keluarga. Di sinilah kita melihat pentingnya solusi teknologi yang tidak hanya mampu mendeteksi kejang secara real-time, tapi juga memberikan dukungan edukatif dan responsif dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Teknologi bukan lagi sesuatu yang mewah. Ia sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Dan kini, teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) dan Large Language Models (LLM) mulai membuka babak baru dalam dunia medis. Bukan hanya untuk dokter atau rumah sakit, tapi juga untuk keluarga biasa yang ingin menolong orang terkasih saat kejang terjadi.
Melalui artikel ini, kita akan membahas bagaimana teknologi seperti AI dan LLM dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi kejang, memberikan panduan penanganan dini, dan bahkan mencegah risiko SUDEP. Kita juga akan melihat bagaimana perangkat global seperti Empatica bekerja, apa saja batasannya, dan mengapa gagasan seperti SeiZen — inovasi karya anak bangsa — dapat menjadi jawaban yang relevan, terjangkau, dan tepat guna untuk konteks Indonesia.
Mengapa SeiZen Hadir?🤔
Epilepsi adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum di dunia. Menurut World Health Organization (2019), lebih dari 50 juta orang menderita epilepsi secara global, dan 80% di antaranya berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia. Prevalensi di Indonesia mencapai 8,2 per 1.000 penduduk (Puspa Devi et al., 2023), yang berarti jutaan orang berisiko mengalami serangan kejang kapan saja — bahkan di saat mereka tidur.
Salah satu dampak paling tragis dari epilepsi adalah SUDEP (Sudden Unexpected Death in Epilepsy). Berdasarkan studi oleh Devinsky et al. (2016), risiko SUDEP bisa mencapai 1,2 dari 1.000 orang dewasa per tahun, bahkan meningkat hingga 9,3 per 1.000 pada penderita epilepsi yang tidak merespons obat atau mengalami kejang tonik-klonik lebih dari tiga kali per tahun. Mekanisme SUDEP sering kali melibatkan gangguan pernapasan, denyut jantung tidak teratur, dan kondisi tidur tengkurap yang tidak mendapat bantuan cepat.
Yang menyedihkan, belum ada data resmi tentang kasus SUDEP di Indonesia. Hal ini memperkuat dugaan bahwa banyak kasus yang tidak terlaporkan atau tidak dikenali. Di sisi lain, alat pemantau kejang otomatis belum banyak tersedia, apalagi yang bisa memberikan respons cepat dan panduan pertolongan pertama kepada keluarga penderita.
Sementara itu, perangkat seperti Empatica Embrace+, Epi-Care, dan Nightwatch sudah tersedia di pasar global, namun belum bisa diakses secara luas di Indonesia. Di sinilah SeiZen hadir — bukan sebagai pesaing teknologi luar, tetapi sebagai upaya lokal untuk menjawab tantangan global, dengan pendekatan yang ramah pengguna, lebih terjangkau, dan kontekstual secara sosial maupun ekonomi.
Teknologi Global yang Sudah Ada antara Harapan dan Keterbatasan 📌
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi telah melahirkan sejumlah perangkat wearable yang dirancang untuk mendeteksi kejang secara otomatis. Beberapa yang paling dikenal secara global adalah Empatica Embrace+, Epi-Care, dan Nightwatch. Ketiganya menggunakan sensor fisiologis seperti akselerometer, detak jantung, bahkan aktivitas elektrodermal untuk memantau gejala yang mengarah pada kejang, terutama kejang tonik-klonik umum.
🔹 Empatica Embrace+
Empatica Embrace+ adalah salah satu pionir di bidang wearable untuk penderita epilepsi yang telah memperoleh persetujuan dari FDA (Food and Drug Administration, AS). Perangkat ini dikenakan di pergelangan tangan dan menggunakan gabungan sensor gerak (accelerometer) dan sensor aktivitas elektrodermal (EDA) untuk mendeteksi pola yang khas saat kejang terjadi. Saat kejang terdeteksi, perangkat ini akan mengirimkan alarm otomatis ke ponsel pendamping, yang dapat meneruskan notifikasi kepada keluarga atau caregiver.
Kelebihan utama Empatica terletak pada desainnya yang minimalis dan keakuratan deteksinya yang telah diuji secara klinis. Namun, tantangan utama perangkat ini untuk pengguna di Indonesia adalah:
- Harga tinggi (sekitar USD 400 atau lebih dari 6 juta rupiah, belum termasuk biaya langganan aplikasi)
- Belum tersedia secara luas di Indonesia
- Antarmuka aplikasi dan sistem pendukung tidak menggunakan bahasa Indonesia
- Tidak menyertakan dukungan edukatif real-time saat kejadian berlangsung
🔹 Epi-Care
Epi-Care dikembangkan di Eropa dan fokus pada deteksi gerakan berulang yang berkaitan dengan kejang. Alat ini menggunakan accelerometer dengan sensitivitas tinggi dan digunakan di pergelangan tangan atau tubuh bagian atas. Keunggulannya adalah sistem alarm berbasis sensor gerakan yang sangat sensitif.
Namun, seperti Empatica, perangkat ini tidak menyertakan sistem penanganan berbasis AI atau rekomendasi adaptif — pengguna hanya mendapat notifikasi bahwa kejang sedang terjadi. Ini tentu belum cukup untuk keluarga yang tidak memiliki latar belakang medis dan membutuhkan panduan tindakan cepat.
🔹 Nightwatch
Nightwatch memiliki pendekatan yang unik. Perangkat ini dikenakan di lengan atas dan ditujukan khusus untuk digunakan saat tidur. Ia memantau detak jantung dan gerakan tubuh untuk mendeteksi kejang saat malam hari — waktu di mana risiko SUDEP paling tinggi.
Meskipun perangkat ini terbukti meningkatkan tingkat deteksi kejang dalam lingkungan rumah, tantangannya sama: harga, distribusi terbatas, serta ketiadaan sistem edukatif interaktif yang dapat membantu keluarga memahami apa yang harus dilakukan setelah alarm berbunyi.
Secara keseluruhan, perangkat-perangkat ini sudah menunjukkan efektivitas dalam membantu penderita epilepsi. Tapi mereka juga menunjukkan salah satu celah: kurangnya sistem pendamping cerdas yang bisa memberikan rekomendasi tindakan yang kontekstual, mudah dimengerti, dan tersedia dalam bahasa lokal.
Di sinilah AI dan LLM berperan. Teknologi ini bukan hanya mampu mendeteksi, tapi juga mendampingi.
AI dan LLM — Dari Deteksi ke Pendampingan 🤖
Artificial Intelligence (AI) telah merevolusi berbagai bidang termasuk medis. Dari diagnosis kanker, interpretasi hasil radiologi, hingga manajemen rumah sakit, AI terbukti mampu memproses data dalam jumlah besar dengan akurasi tinggi. Dalam kasus epilepsi, AI memungkinkan kita untuk mendeteksi pola kejang dari sinyal sensor secara real-time, bahkan memprediksi kejang berdasarkan perubahan fisiologis.
Namun, deteksi saja tidak cukup. Ketika kejang terjadi apalagi di malam hari ketika hal itu terjadi keluarga atau pendamping sering kali panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Di sinilah peran Large Language Models (LLM) seperti ChatGPT, Claude, Gemini dan lainnya menjadi sangat penting.
🔹 LLM sebagai Asisten Pendamping Keluarga
LLM merupakan sistem yang dilatih dengan jutaan data teks untuk memahami bahasa manusia dan menjawab pertanyaan secara kontekstual. Dalam sistem seperti SeiZen, LLM dapat dimanfaatkan untuk:
- Memberikan panduan langsung saat kejang terdeteksi, misalnya:
- “Pasien sedang mengalami kejang. Letakkan tubuh di posisi miring, jangan masukkan apapun ke mulut, dan hitung durasi kejang. Jika melebihi 5 menit, segera hubungi layanan darurat.”
- Menjawab pertanyaan awam secara personal dan instan, seperti: “Kenapa detak jantung anak saya naik sebelum kejang?”
“Bolehkah anak epilepsi berolahraga?” - Mendampingi proses edukasi jangka panjang, sehingga keluarga lebih percaya diri dan siap menghadapi situasi darurat
🔹 AI + LLM = Sistem Deteksi dan Respons Terpadu
Kombinasi antara AI dan LLM menciptakan sistem yang tidak hanya “melihat” gejala, tapi juga “berbicara” dengan pengguna. Inilah yang menjadi nilai utama dari gagasan SeiZen — menjadikan teknologi sebagai teman yang siaga, bukan sekadar alat yang diam menunggu alarm menyala.
Dengan dukungan AI, sistem dapat mendeteksi kejang secara akurat. Dengan LLM, sistem dapat memberikan respons manusiawi yang informatif. Bila keduanya dikembangkan dalam ekosistem teknologi lokal — seperti sensor yang bisa dibeli di dalam negeri, antarmuka dalam bahasa Indonesia, dan edukasi berbasis budaya setempat — maka sistem ini bisa menjadi pendamping nyata bagi jutaan orang dengan epilepsi di Indonesia.
SeiZen dan Inovasi Lokal sebagai Jawaban✨
Dari tantangan-tantangan yang telah dibahas, lahirlah gagasan inovatif bernama SeiZen. Ide ini muncul dari riset yang kami lakukan bersama dan telah melakukan submit proposal PKM dengan tema “Penguatan pendidikan, sains, dan teknologi.” mulai dari melihat bagaimana epilepsi dan SUDEP masih menjadi ancaman yang sering tidak terlihat namun sangat nyata, melakukan brainstorming dan lainnya. Kami mengusulkan pengembangan SeiZen sebagai sistem berbasis Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), dan Large Language Models (LLM) yang dikombinasikan dengan sensor fisiologis.
Tujuannya jelas: menciptakan sistem pemantauan kejang yang real-time, terintegrasi, dan mampu memberikan notifikasi otomatis sekaligus rekomendasi tindakan awal dalam bahasa Indonesia. Dengan cara ini, SeiZen tidak hanya mendeteksi kejang, tapi juga mendampingi keluarga penderita secara aktif.
Keunikan SeiZen dibandingkan solusi global terletak pada:
- Penggunaan sensor dan tersedia di Indonesia
- Desain aplikasi yang ramah pengguna dan dalam bahasa Indonesia
- Integrasi LLM untuk memberikan respons adaptif berdasarkan situasi
- Fokus pada edukasi keluarga, tidak hanya monitoring
Meskipun SeiZen masih dalam tahap proposal, semangat di baliknya adalah nyata: bagaimana teknologi bisa digunakan untuk menjaga kehidupan, bukan sekadar memantau data.
Penutup dan Arah Pengembangan 🏁
Epilepsi adalah kondisi yang kompleks, namun bukan tanpa harapan. Dengan memanfaatkan teknologi seperti AI, LLM dan iot, kita kini punya peluang besar untuk mengubah cara masyarakat memandang dan menangani kondisi ini. Kita bisa beralih dari pendekatan pasif menjadi aktif, dari ketidaktahuan menjadi kesiapan, dari keterbatasan menjadi pemberdayaan.
Gagasan seperti SeiZen tidak hadir untuk menggantikan perangkat global, tetapi untuk menjawab kebutuhan nyata dalam konteks lokal. Ia hadir sebagai contoh bagaimana mahasiswa Indonesia bisa melihat masalah dengan sudut pandang kritis dan menjawabnya dengan inovasi.
Ke depan, pengembangan SeiZen ataupun sistem serupa yang terlahir diharapkan dapat melibatkan kolaborasi dari banyak pihak, akademisi, praktisi kesehatan, pengembang teknologi, dan masyarakat itu sendiri. Karena mencegah SUDEP bukan hanya tugas medis, tapi juga tugas kemanusiaan.
UNIKOM
Referensi 📚
World Health Organization. (2019). Epilepsy: A Public Health Imperative
Devinsky, O., et al. (2016). Sudden unexpected death in epilepsy: Epidemiology, mechanisms, and prevention. The Lancet Neurology.
Haridas, B., et al. (2022). Sudden Unexpected Death in Epilepsy: Pathogenesis, Risk Factors, and Prevention. Semin Neurol.
Hadady, L., et al. (2022). Real-world user experience with seizure detection wearable devices in the home environment. Epilepsia.
Alberts, I.L., et al. (2023). Large language models (LLM) and ChatGPT: What will the impact on nuclear medicine be? Eur J Nucl Med Mol Imaging.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2024). Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun.
Puspa Devi, P., et al. (2023). Diagnosis dan Tatalaksana Epilepsi.
Empatica. (2025). EpiMonitor – Welcome to the future of epilepsy monitoring.
Kumar, G.P., & Vasimalairaja, M. (2012). Mobile Learning.
Rahmani, A.M., et al. (2022). The Internet of Things for Applications in Wearable Technology. IEEE Access.
One response to “SeiZen: Peranan AI dan LLM dalam Mencegah SUDEP pada Penderita Epilepsi Melalui Inovasi Teknologi Lokal”
-
123456
Leave a Reply