Komunikasi adalah napas kehidupan sosial kita. Ia adalah jembatan tak kasat mata yang menghubungkan pikiran, perasaan, dan ide antarmanusia, memungkinkan kita untuk belajar, tertawa, dan membangun hubungan. Namun, bayangkan jika jembatan itu memiliki jurang yang dalam. Bagi ratusan ribu teman Tuli di Indonesia, jurang ini adalah kenyataan sehari-hari. Tantangan komunikasi yang mereka hadapi setiap hari bukan hanya memengaruhi interaksi sosial, tetapi juga akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja. Di tengah kemajuan digital yang pesat, di mana informasi mengalir bebas di ujung jari, sebuah ironi muncul: kesenjangan komunikasi ini masih menganga lebar.
Sebuah pertanyaan fundamental pun mengemuka: bagaimana teknologi dapat secara nyata meruntuhkan dinding sunyi yang memisahkan dunia dengar dan dunia Tuli? Sebuah tim mahasiswa dari Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) tidak hanya bertanya, tetapi juga mencoba menjawabnya melalui sebuah proyek ambisius bernama EBI (Edukasi Bahasa Isyarat). Ini bukan sekadar aplikasi, melainkan sebuah visi untuk membangun empati dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif melalui kode dan desain yang berpusat pada manusia.
Dua Dunia Bahasa Isyarat: Konflik Linguistik dan Pilihan yang Tepat
Untuk memahami inovasi yang ditawarkan EBI, kita harus terlebih dahulu menyelami kompleksitas bahasa isyarat di Indonesia, sebuah “konflik” linguistik yang tidak banyak diketahui publik. Di Indonesia, ada dua sistem utama yang digunakan: SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia).
SIBI adalah sistem yang distandarisasi oleh pemerintah, diajarkan di Sekolah Luar Biasa (SLB), dan mengikuti struktur tata bahasa Indonesia lisan. Namun, akarnya bukan dari budaya Tuli lokal. Banyak penelitian, termasuk yang dikutip oleh Saraswati, et al. (2022), menunjukkan bahwa SIBI terasa kaku, formal, dan tidak intuitif bagi teman Tuli. Mereka mengalami kesulitan menggunakannya untuk percakapan sehari-hari yang cair dan dinamis.
Di sinilah BISINDO hadir sebagai antitesis. BISINDO adalah bahasa yang “hidup”. Ia lahir dan berkembang secara organik dari, oleh, dan untuk komunitas Tuli di Indonesia, menjadikannya bahasa ibu yang otentik. BISINDO bersifat kontekstual, kaya akan ekspresi wajah dan tubuh, serta lebih mudah digunakan dalam pergaulan sosial (Saraswati, Towidjojo, & Hasanuddin, 2022). Keputusan tim PKM-KC untuk memfokuskan platform EBI secara eksklusif pada BISINDO adalah langkah strategis pertama dan yang paling fundamental. Ini adalah sebuah pernyataan bahwa teknologi yang mereka bangun menghargai dan berpusat pada budaya dan kebutuhan nyata dari komunitas yang ingin mereka layani.
Melihat Celah di Lanskap Digital Saat Ini
Tim EBI tidak memulai dari ruang hampa. Analisis mendalam terhadap solusi-solusi digital yang ada menunjukkan sebuah lanskap yang terfragmentasi dan menyisakan banyak celah.
Platform media sosial seperti TikTok memang telah menjadi panggung bagi para kreator konten Tuli untuk mengedukasi masyarakat tentang BISINDO. Fenomena yang dikaji oleh Natalia & Winduwati (2023) ini membuktikan adanya minat yang besar dari generasi muda untuk belajar. Namun, pembelajaran di TikTok bersifat sporadis, tidak terstruktur, dan tidak memiliki kurikulum yang jelas, sehingga sulit bagi pembelajar yang serius untuk mencapai kemahiran.
Di sisi lain, ada aplikasi yang berfokus pada teknologi canggih. Penelitian oleh Hikmatia & Zul (2021), misalnya, mengembangkan aplikasi penerjemah real-time menggunakan Machine Learning. Namun, tujuannya adalah sebagai alat terjemahan instan, bukan platform edukasi. Selain itu, teknologi ini masih menghadapi tantangan besar, terbukti dari tingkat akurasinya yang dilaporkan masih belum optimal. Aplikasi lain mungkin berbentuk game edukasi, tetapi seringkali menggunakan SIBI dan fokus pada tema yang sangat spesifik seperti pengelolaan sampah (Rachmat & Gazali, 2021), atau terbatas pada kosakata lingkungan keluarga.
Dari analisis inilah, cetak biru EBI terbentuk: sebuah platform yang mengisi semua celah tersebut dengan menawarkan kurikulum yang terstruktur, fokus pada BISINDO, dan dapat diakses secara luas.
Memperkenalkan EBI: Sebuah Sekolah Digital BISINDO
EBI dirancang sebagai sebuah ekosistem pembelajaran yang komprehensif. Visi utamanya adalah menciptakan sebuah “sekolah digital BISINDO” yang dapat diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Platform ini dibangun di atas tiga pilar teori utama yang menjadi kekuatan pembedanya.
1. Belajar Kapan Saja: Kekuatan Platform Mobile
Menyadari bahwa ponsel pintar adalah gerbang utama informasi bagi mayoritas masyarakat, EBI dikembangkan sebagai aplikasi berbasis Android. Pemilihan platform ini didasarkan pada sifat Android yang open source dan merupakan sistem operasi dengan pengguna terbanyak, memastikan jangkauan yang maksimal (Erlinda & Masriadi, 2020). Ini adalah perwujudan dari konsep Mobile Learning (M-learning), yang memberikan otonomi dan fleksibilitas penuh bagi pengguna untuk belajar sesuai dengan ritme dan jadwal mereka, baik saat di perjalanan, di waktu istirahat, atau di rumah.
2. Bukan Sekadar Hafalan: Membuat Belajar Menjadi Petualangan (Gamifikasi)
Salah satu tantangan terbesar dalam belajar bahasa baru adalah menjaga motivasi. Untuk mengatasi ini, EBI menerapkan metode gamifikasi secara mendalam. Gamifikasi adalah penggunaan elemen-elemen permainan—seperti poin, lencana, level, dan narasi—untuk mendorong keterlibatan pengguna (Putra & Kesuma, 2021). Bayangkan sebuah “Peta Perjalanan Bahasa” di EBI, di mana setiap level adalah sebuah “kota” yang harus dijelajahi. Pengguna memulai dari ‘Desa Alfabet’, lalu maju ke ‘Lembah Kata Sifat’, menyeberangi ‘Sungai Kalimat Tanya’, hingga mencapai ‘Kota Percakapan’. Untuk maju, mereka harus menyelesaikan misi, seperti “membantu warga virtual menerjemahkan kalimat” atau memenangkan “duel isyarat” melawan waktu. Pendekatan ini mengubah proses belajar dari kewajiban menjadi petualangan yang adiktif dan menyenangkan.
3. Desain untuk Semua: Jantung dari Aksesibilitas (Desain Inklusif)
Sebuah platform tentang aksesibilitas haruslah aksesibel itu sendiri. Oleh karena itu, perancangan EBI berlandaskan pada prinsip Desain Inklusif, yaitu pendekatan yang memastikan produk dapat digunakan oleh sebanyak mungkin orang tanpa kesulitan (Izzati, dkk., 2025). Secara praktis, ini berarti antarmuka yang bersih, ikon yang jelas, dan alur navigasi yang intuitif. Mengacu pada model evaluasi usability dari Nielsen yang diterapkan oleh Rachmat & Gazali (2021), EBI akan memprioritaskan:
- Learnability (Kemudahan Dipelajari): Seberapa mudah pengguna baru dapat memahami dan menggunakan aplikasi? EBI akan dirancang agar pengguna pertama kali tidak merasa kebingungan, dengan tombol yang jelas dan instruksi yang intuitif.
- Efficiency (Efisiensi): Setelah terbiasa, seberapa cepat pengguna dapat menyelesaikan tugas? Desain EBI akan memastikan tidak ada langkah yang sia-sia atau membingungkan, sehingga proses belajar menjadi cepat dan efisien.
- Memorability (Kemudahan Diingat): Jika pengguna berhenti menggunakan aplikasi selama seminggu, lalu kembali lagi, seberapa mudah mereka bisa mengingat cara menggunakannya? EBI akan dirancang dengan pola yang konsisten agar mudah diingat tanpa perlu belajar ulang dari awal.
- Satisfaction (Kepuasan): Ini tentang perasaan ‘senang’ dan ‘puas’ setelah menggunakan aplikasi. Apakah antarmukanya indah? Apakah animasinya halus? Apakah pengguna merasa berhasil dan tidak frustrasi?
Teknologi di Balik Layar: Potensi Kecerdasan Buatan
Selain pilar desain dan metode, EBI juga melirik potensi teknologi canggih untuk menciptakan fitur unggulan yang benar-benar interaktif. Salah satu yang paling menjanjikan adalah penerapan Machine Learning untuk fitur “Latihan dengan Umpan Balik”.
Mari kita bayangkan fitur ini dalam praktik. Seorang pengguna ingin melatih isyarat untuk kata ‘terima kasih’. Mereka akan mengarahkan kamera ponsel ke tangan mereka dan melakukan gerakan isyarat. Di sinilah Machine Learning berperan. Model yang telah ‘dilatih’ dengan ribuan gambar isyarat ‘terima kasih’ akan menganalisis video dari kamera pengguna secara real-time. Model ini membandingkan bentuk tangan, posisi, dan alur gerakan pengguna dengan data yang sudah dipelajarinya. Dalam sepersekian detik, aplikasi akan memberikan umpan balik: “Gerakan pergelangan tanganmu sudah bagus!” atau “Coba buka jari sedikit lebih lebar”. Proses ini, yang didukung oleh teknologi seperti Tensorflow dan arsitektur MobileNetV2 yang efisien untuk perangkat mobile, mengubah latihan pasif menjadi sesi bimbingan pribadi yang interaktif.
Dampak yang Diharapkan
Keberhasilan EBI tidak diukur dari jumlah unduhan semata. Dampak sesungguhnya terletak pada “gelombang efek” atau ripple effect yang diciptakannya di masyarakat.
Bayangkan seorang ibu yang, setelah seminggu belajar dengan EBI, akhirnya bisa bertanya kepada anaknya yang Tuli, “Bagaimana harimu di sekolah?” dan memahami jawabannya. Bayangkan seorang teman Tuli yang bisa dengan percaya diri pergi ke puskesmas dan menjelaskan gejalanya kepada perawat yang telah belajar dasar-dasar BISINDO melalui EBI. Atau bayangkan seorang barista yang bisa menyapa dan menerima pesanan dari pelanggan Tuli dengan senyum dan isyarat yang benar, mengubah transaksi yang biasanya canggung menjadi momen koneksi manusiawi.
Setiap teman dengar yang menguasai BISINDO adalah sebuah pintu yang terbuka bagi komunitas Tuli menuju dunia yang lebih luas. Ini adalah tentang meruntuhkan dinding isolasi, satu isyarat pada satu waktu. Pada akhirnya, proyek seperti EBI adalah bukti bahwa teknologi, ketika dirancang dengan empati dan tujuan sosial yang jelas, memiliki kekuatan untuk melakukan lebih dari sekadar menghubungkan perangkat. Ia dapat menghubungkan manusia dan membangun sebuah masyarakat di mana setiap suara—baik yang terdengar maupun yang terlihat—memiliki nilai yang setara.
##
Daftar Referensi
Erlinda, E., & Masriadi, M. (2020). PERANCANGAN APLIKASI MOBILE KAMUS ISTILAH KOMPUTER UNTUK MAHASISWA BARU BIDANG ILMU KOMPUTER BERBASIS ANDROID. JURNAL TEKNOLOGI DAN OPEN SOURCE, 3(1), 30–43.
Hikmatia A.E, N., & Ihsan Zul, M. (2021). Aplikasi Penerjemah Bahasa Isyarat Indonesia menjadi Suara berbasis Android menggunakan Tensorflow. Jurnal Komputer Terapan, 7(1), 74–83.
Izzati, Z. T., Banurea, F. N., Putri, C. D., Yemima, R., Manurung, A. M., Arahman, A., Tansliova, L., & Puteri, A. (2025). Peran Teknologi dalam Membantu Anak Tunarungu Berkomunikasi. Morfologi: Jurnal Ilmu Pendidikan, Bahasa, Sastra dan Budaya, 3(2), 180–190.
Kartini, V. G. (2021). PERANCANGAN MEDIA EDUKASI VISUAL TENTANG KOMUNIKASI BAHASA ISYARAT PADA TEMAN TULI UNTUK TEMAN DENGAR. Universitas Katolik Soegijapranata.
Natalia, D., & Winduwati, S. (2023). Pemanfaatan Media Sosial TikTok Sebagai Sarana Edukasi Bahasa Isyarat Indonesia. Koneksi, 7(1), 42–48.
Putra, J. L., & Kesuma, C. (2021). Penerapan Game Development Life Cycle Untuk Video Game Dengan Model Role Playing Game. Computer Science (CO-SCIENCE), 1(1), 27–34.
Rachmat, I. F. M., & Gazali, G. (2021). Pengembangan Game Edukasi Bahasa Isyarat Tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Android. Digital Zone: Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi, 12(1), 160–171.
Saputra, L. D., & Putra, R. W. (2024). PERANCANGAN APLIKASI PEMAINAN “BISINDOKU” SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI PENGENALAN BAHASA ISYARAT. Kartala Visual Studies, 3(1).
Saraswati, D. A., Towidjojo, V. D., & Hasanuddin, H. (2022). Bahasa Isyarat Indonesia. Jurnal Medical Profession (MedPro), 4(1), 8–14.
Widjaya, K. H. (t.t.). PEMBELAJARAN BAHASA ISYARAT INDONESIA MENGGUNAKAN METODE GAMIFIKASI. Universitas Multimedia Nusantara.