Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari banyak orang di seluruh dunia. Dengan lebih dari 4,7 miliar pengguna aktif di seluruh dunia pada tahun 2023, media sosial bukan hanya alat komunikasi tetapi juga kekuatan yang dapat mengubah masyarakat memperkenalkan isu-isu sosial yang penting, dan memobilisasi aksi kolektif untuk perubahan. Salah satu isu besar yang semakin banyak diperbincangkan di platform-platform seperti Instagram, Twitter, Facebook, TikTok, dan lainnya adalah femisida yaitu pembunuhan terhadap perempuan hanya karena mereka perempuan. Fenomena ini telah menjadi masalah sosial yang mendalam dan menunjukkan kesenjangan gender yang sangat nyata dalam berbagai budaya termasuk Indonesia. Dalam konteks in media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memperjuangkan keadilan bagi para korban femisida.
Apa itu Femisida? femisida adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap perempuan karena alasan gender. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan sering kali diartikan sebagai sesuatu yang sah atau sesuatu yang tidak terlalu serius terutama jika kekerasan tersebut dilakukan oleh pasangan atau anggota keluarga. Femisida sering kali lebih dari sekadar pembunuhan karena ia melibatkan kekerasan fisik dan seksual yang lebih brutal dan sadis. Para korban seringkali disiksa, diperkosa, dibakar, dimutilasi, atau dihancurkan wajah dan tubuhnya sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat dan hak-haknya sebagai manusia. Kasus-kasus femisida sering kali tidak mendapat perhatian yang layak dari masyarakat atau penegak hukum, terutama di negara-negara dengan sistem patriarki yang kental, di mana perempuan sering kali dipandang lebih rendah daripada laki-laki.
Fenomena femisida tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Namun, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, tingkat femisida cenderung lebih tinggi, seiring dengan ketidaksetaraan gender yang lebih dalam. Di Indonesia, femisida menjadi masalah yang cukup serius, dengan banyak kasus yang tidak terungkap atau diselesaikan secara memadai. padahal setiap harinya banyak sekali pembunuhan yang diberitakan yang memakan korban yaitu perempuan, mau itu sudah dewasa atau pun anak kecil sering sekali diberitakan di layar kaca. Banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, perundungan seksual, dan akhirnya, femisida, yang sering kali terjadi di balik pintu rumah mereka.
Femisida mencerminkan ketidaksetaraan struktural yang ada dalam masyarakat, di mana perempuan sering kali dianggap sebagai objek yang dapat diperlakukan sesuka hati. Selain itu, tingginya angka femisida di berbagai negara juga mencerminkan kegagalan sistem hukum dalam melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender. Oleh karena itu, penting untuk terus mengangkat isu ini dan mengedukasi masyarakat tentang bahayanya femisida ini.
Media sosial, dalam berbagai bentuknya, memberikan cara baru bagi masyarakat untuk berbagi informasi, berdiskusi, dan memperjuangkan perubahan sosial. Salah satu fitur utama dari media sosial adalah kemampuannya untuk menyebarkan informasi dengan cepat ke seluruh dunia. Dalam hal ini, media sosial telah menjadi alat yang sangat efektif untuk mengangkat isu-isu penting seperti femisida ke permukaan. Melalui postingan, gambar, video, dan kampanye berbasis hashtag, media sosial memfasilitasi penyebaran informasi yang tidak hanya mengedukasi, tetapi juga membangkitkan kesadaran dan memotivasi tindakan sosial.
Instagram, salah satu platform media sosial yang paling populer di dunia, memungkinkan pengguna untuk berbagi foto dan video yang dapat lebih mudah menarik perhatian. Visual yang kuat seringkali lebih menggugah emosi, dan dalam kasus femisida, gambar atau video yang menggambarkan korban dan dampak kekerasan bisa memberikan gambaran yang lebih jelas dan menyentuh hati. Kampanye melalui Instagram juga memanfaatkan tagar (#), seperti #StopFemisida atau #JusticeFor[Korban], yang memungkinkan informasi dan cerita korban untuk tersebar lebih luas. Tagar ini memungkinkan orang dari berbagai belahan dunia untuk saling terhubung, memperkuat pesan yang disampaikan, dan menciptakan ruang untuk diskusi serta gerakan sosial yang lebih besar.
Twitter, dengan sistem tweet dan retweet-nya, adalah platform lain yang memiliki peran besar dalam menyebarkan informasi tentang femisida. Dengan menggunakan hashtag yang tepat, kampanye terkait femisida dapat viral dengan sangat cepat, menarik perhatian banyak orang, serta mendapatkan dukungan dari individu dan organisasi yang peduli. Platform ini juga memungkinkan diskusi terbuka tentang kebijakan pemerintah, keadilan untuk korban, serta upaya pemberantasan kekerasan berbasis gender. Banyak organisasi internasional dan lokal menggunakan Twitter untuk memperbarui informasi tentang perkembangan kasus femisida dan tindakan yang diambil oleh pihak berwenang.
Selain itu, Facebook dan TikTok turut memberikan kontribusi yang signifikan. Di Facebook, grup dan acara dapat dibuat untuk mendukung korban femisida, mengorganisir aksi, atau mendiskusikan solusi terkait masalah ini. Facebook juga menyediakan ruang untuk berbagi artikel, penelitian, dan video edukatif yang mendalam, memberikan informasi yang lebih luas dan terperinci tentang femisida. TikTok, yang dikenal dengan video-video pendek dan kreatif, telah digunakan untuk kampanye yang lebih ringan namun tetap menyentuh, seperti berbagi cerita pribadi korban atau mendidik masyarakat tentang langkah-langkah pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
Salah satu elemen yang paling kuat dalam kampanye media sosial adalah penggunaan hashtag. Hashtag memungkinkan pengguna untuk menemukan konten terkait dengan isu tertentu dan terlibat dalam diskusi global tentang topik tersebut. Dalam konteks femisida, kampanye menggunakan hashtag telah menjadi alat yang sangat kuat untuk memobilisasi dukungan dan menumbuhkan kesadaran.
Hashtag seperti #NiUnaMenos yang dimulai di Argentina telah berkembang menjadi gerakan global yang menyerukan penghentian kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida. Gerakan ini telah melibatkan perempuan dari berbagai negara untuk berbicara tentang pengalaman mereka, memperjuangkan perubahan kebijakan, dan mendesak tindakan yang lebih tegas terhadap pelaku kekerasan. #NiUnaMenos bukan hanya sekadar hashtag, tetapi juga sebuah gerakan sosial yang melibatkan aksi nyata di lapangan, seperti protes, petisi, dan forum-forum diskusi.
Di Indonesia, kampanye dengan hashtag seperti #JusticeFor[Korban] telah menjadi cara untuk memperjuangkan keadilan bagi korban femisida tertentu. Dengan menggunakan media sosial, keluarga korban atau pendukung dapat menggalang petisi, menuntut penegakan hukum yang lebih tegas, dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memberikan dukungan kepada korban kekerasan berbasis gender. Hashtag ini juga seringkali digunakan untuk menunjukkan solidaritas dan memberikan suara bagi mereka yang tidak dapat berbicara.
Melalui hashtag, kampanye femisida dapat menjangkau audiens yang lebih luas, memobilisasi dukungan internasional, serta memberikan ruang bagi korban untuk berbicara dan mendapatkan keadilan.
Selain menyebarkan informasi dan memobilisasi dukungan, media sosial juga berperan penting dalam pemberdayaan perempuan. Platform media sosial memberi perempuan ruang untuk berbicara tentang pengalaman mereka, memperjuangkan hak-hak mereka, dan saling mendukung satu sama lain dalam menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan. Dalam kasus femisida, media sosial memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menjadi suara bagi diri mereka sendiri, mengungkapkan pengalaman mereka, dan mendorong perubahan sistemik.
Media sosial juga berfungsi sebagai ruang untuk mengedukasi masyarakat tentang kesetaraan gender, hak-hak perempuan, dan pentingnya menghapuskan kekerasan berbasis gender. Banyak kampanye yang dilakukan melalui media sosial tidak hanya fokus pada menginformasikan tentang femisida, tetapi juga tentang pentingnya memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan mempromosikan perubahan budaya yang lebih inklusif dan setara.
Di samping itu, media sosial memungkinkan perempuan untuk membangun komunitas yang saling mendukung. Komunitas online ini memberi perempuan kesempatan untuk berbagi cerita, memberikan dukungan moral, serta bersama-sama memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam hal ini, media sosial menciptakan kekuatan kolektif yang dapat memperkuat suara perempuan di tingkat global.
Meskipun media sosial memiliki potensi besar dalam memperjuangkan isu femisida, ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah masalah penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoaks. Dalam beberapa kasus, informasi yang salah atau belum diverifikasi dapat memperburuk situasi atau bahkan merusak kredibilitas kampanye. Oleh karena itu, penting bagi pengguna media sosial dan organisasi yang terlibat dalam kampanye untuk memastikan bahwa informasi yang dibagikan telah melalui proses verifikasi yang ketat.
Tantangan lainnya adalah menjaga momentum kampanye. Kampanye yang viral di media sosial seringkali hanya berlangsung dalam waktu singkat, dan perhatian publik bisa dengan cepat beralih ke isu lain. Untuk itu, penting agar gerakan melawan femisida tidak hanya berhenti pada tren sesaat, tetapi harus diteruskan dengan aksi nyata di lapangan, seperti lobi kebijakan, pendidikan publik, dan penguatan sistem hukum yang lebih baik bagi perempuan.
Penanganan isu femisida ini tidak hanya dapat di atasi melalui media sosial karena femisida merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem, di mana perempuan menjadi korban pembunuhan hanya karena identitas gendernya. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan gender yang mendalam, tetapi juga menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah memiliki peran yang sangat krusial, baik dalam mencegah terjadinya femisida maupun memastikan keadilan bagi para korban. Peran ini mencakup pembuatan kebijakan, penegakan hukum, pemberdayaan perempuan, edukasi masyarakat, hingga penyediaan layanan pendukung bagi korban dan keluarganya. Dengan pendekatan yang terintegrasi, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan mengurangi risiko terjadinya kekerasan berbasis gender.
Langkah pertama yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat kerangka hukum yang ada untuk menangani kasus femisida secara spesifik. Hingga kini, istilah femisida sering kali tidak diakui dalam sistem hukum di banyak negara, termasuk Indonesia, sehingga kasus-kasus kekerasan ekstrem terhadap perempuan sering kali disamakan dengan pembunuhan biasa tanpa memperhatikan konteks gender yang mendasarinya. Pemerintah perlu mengadopsi undang-undang yang secara eksplisit mengenali femisida sebagai kejahatan berbasis gender dan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan implementasi undang-undang yang sudah ada, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), berjalan efektif. Tidak hanya itu, aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim, perlu diberikan pelatihan khusus untuk menangani kasus femisida dengan empati dan profesionalisme, tanpa bias gender yang sering kali memperburuk situasi korban.
Selain penegakan hukum, pencegahan femisida juga membutuhkan intervensi yang bersifat proaktif. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengubah norma-norma budaya yang mendukung kekerasan berbasis gender melalui edukasi dan kampanye publik. Salah satu akar permasalahan femisida adalah pandangan patriarki yang menganggap perempuan sebagai subordinat laki-laki. Kampanye edukatif yang diselenggarakan secara masif, baik melalui media konvensional maupun media sosial, dapat membantu mengubah pola pikir masyarakat tentang kesetaraan gender dan pentingnya menghormati hak-hak perempuan. Di sekolah, kurikulum pendidikan juga harus mencakup topik-topik seperti kesetaraan gender, kekerasan berbasis gender, dan pentingnya menghormati perempuan sebagai individu yang setara dengan laki-laki.
Pemerintah juga harus mengambil langkah konkret dalam menyediakan perlindungan bagi perempuan yang berada dalam situasi berisiko. Banyak kasus femisida terjadi dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, di mana perempuan sering kali merasa tidak memiliki tempat yang aman untuk melarikan diri. Oleh karena itu, penyediaan shelter atau rumah aman yang tersebar luas di berbagai wilayah menjadi kebutuhan mendesak. Shelter ini harus dilengkapi dengan layanan konseling psikologis, bantuan hukum, dan dukungan rehabilitasi untuk membantu perempuan pulih dari trauma dan membangun kembali kehidupan mereka. Selain itu, pemerintah harus menyediakan hotline darurat yang mudah diakses oleh perempuan yang menghadapi ancaman kekerasan, serta memastikan bahwa laporan yang masuk ditindaklanjuti secara cepat dan serius oleh pihak berwenang.
Kerja sama antara pemerintah dengan berbagai pihak juga menjadi kunci dalam menangani isu femisida. Pemerintah dapat bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memperluas jangkauan program pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender. LSM, misalnya, sering kali memiliki akses langsung ke komunitas-komunitas yang rentan terhadap femisida dan dapat membantu mendeteksi serta melaporkan kasus-kasus kekerasan. Pemerintah juga perlu melibatkan tokoh agama dan adat dalam kampanye melawan kekerasan berbasis gender, mengingat peran mereka yang sering kali sangat berpengaruh dalam membentuk pandangan masyarakat.
Pemantauan dan evaluasi juga merupakan bagian penting dari peran pemerintah dalam menangani femisida. Setiap kebijakan atau program yang diluncurkan harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitasnya dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan. Transparansi dalam pelaporan data tentang kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus femisida, juga penting untuk mendorong akuntabilitas pemerintah. Data yang akurat akan membantu memahami skala masalah, mengidentifikasi tren, dan merancang intervensi yang lebih efektif di masa depan.
Pada akhirnya, peran pemerintah dalam menangani femisida tidak hanya terbatas pada penegakan hukum atau penyediaan layanan pendukung, tetapi juga mencakup upaya yang lebih luas untuk mengubah budaya dan norma-norma sosial yang memungkinkan terjadinya kekerasan berbasis gender. Dengan komitmen yang kuat dan kerja sama yang solid antara berbagai pihak, pemerintah dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman dan setara, di mana perempuan dapat hidup tanpa rasa takut akan kekerasan atau kehilangan nyawa hanya karena mereka perempuan. Upaya ini membutuhkan keberlanjutan dan dedikasi, tetapi hasilnya akan membawa manfaat yang besar bagi generasi mendatang, menciptakan dunia yang lebih adil bagi semua gender.