Kita sebagai manusia yang saat ini hidup di abad ke-21, berarti hidup kita selalu senantiasa berdampingan dengan yang namanya teknologi. Ada pun, teknologi sendiri menurut KBBI berarti; keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.
Namun, saat pertama kali mendengar kata ‘teknologi’, apa yang pertama kali kita pikirkan? Gadget? Robot? Komputer? Teknologi tak saja terbatas pada gadget dan beberapa hal yang disebutkan diatas saja, namun juga hal-hal lain yang dekat dengan kegiatan kita sehari-hari. Seperti contohnya, sudah banyak kendaraan bermotor, baik roda dua atau pun roda empat yang berbasis listrik atau hybrid. Atau, banyak juga perabotan rumah sekarang yang semakin modern dan ramah lingkungan. Seperti air fryer, yang mana lebih menyehatkan karena tidak memerlukan minyak goreng dalam jumlah banyak untuk menggoreng sesuatu namun rasa yang dihasilkan tetap enak.
Hidup berdampingan dengan teknologi, berarti membuat hidup kita semakin mudah dan efisien. Termasuk dalam bidang pekerjaan, terutama setelah adanya teknologi Artificial Intelligence (AI), atau bisa juga disebut, kecerdasan buatan.
Teknologi kecerdasan buatan sendiri banyak menyebar di berbagai bidang. Mulai dari teknologi mesin pencarian Google yang lebih efisien setelah adanya AI, yang biasanya kita harus mencari tutorial satu persatu, sekarang sudah dirangkumkan oleh AI. Tools di perangkat lunak termasuk yang berbayar seperti milik Adobe dengan generatornya. Lalu ada pun website di internet yang bisa men-generate gambar kartun hanya dengan memasukan prompt ke dalam prompter, dan gambar pun akan ter-generate sesuai dengan yang diinginkan. Sampai dengan algoritma di sosial media, salah satunya adalah TikTok, yang menurut saya merupakan sosial media dengan algoritma paling akurat dibandingkan dengan media sosial lain. Bahkan algoritma Instagram pun tidak secepat dan se-akurat TikTok, apalagi platform X (Twitter), menurut pengalaman saya dalam menggunakan beberapa platform diatas, algoritma jejaring sosial X memiliki algoritma yang paling sulit dikontrol dan sulit mendapatkan konten yang kita inginkan.
Algoritma TikTok bisa bekerja dengan baik menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang sudah dirancang untuk mempelajari kebiasaan pengguna dan merekomendasi konten-konten tersebut kepada sang pengguna dengan se-akurat mungkin. Sehingga kemudian, laman For You Page (FYP) TikTok milik akun pengguna tersebut kemudian akan disesuaikan dengan apa yang sedang ia sukai. Faktor ini cukup dengan melihat konten-konten apa yang dicari oleh pengguna, konten seperti apa yang pengguna sukai dan posting ulang, konten seperti apa yang membuat sang pengguna meninggalkan komentar pada sebuah postingan, dan lain sebagainya.
Banyak sekali faktor yang dapat menentukan algoritma dari FYP seseorang, dan hal-hal di atas merupakan beberapa penyebab diantaranya. Misalkan, mengapa tiba-tiba FYP kita berisikan rekomendasi tempat kuliner di kota tertentu? Mengapa FYP kita berisikan gossip-gosip artis terkini? Atau bahkan, bagaimana FYP kita berisikan konten-konten politik. Baik itu berupa kampanye atau deklarasi, potongan-potongan video milik pasangan calon tertentu baik yang menjatuhkan atau tidak, ataupun maraknya konten edukasi politik-ekonomi seperti kebijakan PPN 12 persen.
Kecanggihan algoritma TikTok inilah yang membuat sang pengguna tidak usah bersusah payah mencari konten yang ingin ia lihat, dan mana yang tidak ingin ia lihat. Kemudahan ini yang tidak dimiliki oleh platform sosial media lainnya karena algoritma mereka tidak se-tepat sasaran TikTok. Pengguna langsung disajikan konten yang akan disukainya tanpa adanya filter dari TikTok itu sendiri baik konten yang disajikan merupakan konten yang baik atau buruk. Sehingga konten-konten inilah yang nantinya akan membentuk pola pikir dan sudut pandang user terhadap sesuatu, terutama apabila pengguna tersebut tidak bijak. Hal ini yang kemudian nanti akan dimanfaatkan oleh para konten kreator dalam mencari audience nya.
Pengguna TikTok di Indonesia sendiri merupakan yang terbanyak di dunia, bahkan mengalahkan Amerika Serikat dan Rusia. Dilansir dari laman CNN Indonesia, dinyatakan bahwa: “Pada Juli 2024, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna TikTok terbesar di dunia, dengan hampir 157,6 juta pengguna yang menggunakan platform video sosial yang populer ini,” kata Statista dalam laman resminya, dikutip Senin (7/10).
Platform sosial media berbasis video ini pun digunakan oleh hampir semua kalangan dengan berbagai latar belakang yang beragam tanpa batas. Baik kalangan ekonomi kelas bawah atau kelas atas, kalangan muda hingga orang tua, pun berbagai jenis profesi mulai dari pelajar, buruh pabrik, orang kantoran, atau konten kreator.
Keberagaman latar belakang dan banyaknya pengguna TikTok tersebut lah yang kemudian menjadi sasaran para tim sukses politisi ataupun pendukungnya untuk meng-kampanye-kan calon pasangan yang diusung atau didukungnya. Uniknya lagi, fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat yang juga menggunakan TikTok sebagai platform dalam kampanye pemilihan Presiden mereka yang baru saja terjadi tak lama ini. Adapun negara di Asia Tenggara lainnya yang melakukan hal serupa terlebih dahulu pada awal tahun 2024 yaitu, Filipina, juga menggunakan metode yang sama dalam kampanya Presiden mereka. Indonesia pun menggunakan cara yang sama pada Pilpres kemarin, memanfaatkan platform TikTok sebagai media kampanye secara digital.
Namun, kampanye digital melalui platform TikTok yang dilakukan secara masif ini juga tidak selalu berjalan dengan baik dan tenang. Banyak sekali informasi hoax yang menyebar untuk menjatuhkan setiap pasangan calon pemimpin, dan banyak darinya tidak masuk akal yang merupakan fitnah tak berdasar tanpa fakta. Kampanye digital seperti ini bukannya memudahkan, namun bisa menjadi berbahaya ketika menyasar pengguna yang menerima segala informasi tanpa menyaring terlebih dahulu dan enggan mencari kebenarannya. Simpelnya, mudah termakan hoax yang ada.
Pun, yang meng-kampanye-kan masing-masing pasangan calon ini bukan berarti tim sukses resmi dari calon-calon yang diusung, bisa jadi merupakan pendukung fanatik yang bahkan tidak ingin mengecek dan mempertanggungjawabkan kebenaran akan postingan yang ia unggah.
Juga, bisa saja semua postingan yang berisikan hoax tersebut merupakan ulah dari “Buzzer”. Istilah ini sudah lama mengudara di internet, terutama di dunia politik. Istilah “Buzzer” sendiri berasal dari bahasa Inggris yang berarti “pendengung”. Tugas dari buzzer ini pun sama seperti artinya, mereka bekerja untuk mendengungkan (buzz) pesan atau pandangan tertentu mengenai persoalan dan gagasan yang ada (dalam hal ini, berkaitan dengan politik), dengan se-natural mungkin agar seolah-olah pesan, gagasan, atau berita yang dikaburkan ini merupakan sebuah fakta. Buzzer berupaya memengaruhi opini publik agar sejalan dengan pandangan yang ingin mereka capai agar dipercaya oleh orang-orang.
Biasanya, buzzer ini menggunakan akun bodong atau akun kosong tanpa identitas yang jelas. Mereka juga biasanya memiliki beberapa akun sekaligus mulai dari belasan, puluhan, bahkan hingga ratusan per orang untuk men-dengungkan informasi yang sama. Terkadang, mereka mendapat bayaran untuk setiap komentar yang mereka tinggalkan, atau pun postingan yang mereka buat. Siapa yang membayar mereka? Pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk menjatuhkan pihak lainnya agar pihak mereka diuntungkan.
Buzzer ini juga tidak hanya berada di satu platform seperti TikTok, namun juga platform lain seperti X (Twitter) dan juga Instagram. Bayaran buzzer ini pun beragam, mulai dari yang murah karena memesan akun-akun kecil untuk melakukan gerakan tersebut, hingga yang mahal karena membayar selebriti ataupun influencer dengan pengikut yang banyak di akun sosial media mereka. Kemudian para selebriti ini menyebarkan berita hoax yang kemudian dipercaya dengan mudahnya oleh para pengikutnya yang sudah percaya pada selebriti atau influencer terkait yang bekerja sebagai buzzer. Imbalannya pun bisa macam-macam mulai dari uang, hingga jabatan.
Namun buzzer ini hanya merupakan salah satu dari bagian-bagian kampanye digital pada platform jejaring sosial media.
Di samping huru-hara buzzer yang ramai di berbagai sosial media, kampanye digital secara sehat juga masih banyak dilakukan oleh para tim sukses ataupu pendukung para pasangan calon yang ada, guna menciptakan gerakan dan memunculkan lebih banyak pendukung yang organik tanpa adanya suruhan ataupun paksaan dari pihak terkait.
Seperti contohnya pada Pilkada Jakarta yang baru saja selesai dan hanya sekarang tinggal menunggu real count dari KPU, Pramono Anung melalui akun resmi TikTok miliknya mengunggah banyak sekali video selama masa kampanye untuk mempromosikan program-program, ide, gagasan, dan pemikirannya yang dikemas dalam video yang unik dan menarik. Secara estetika pun rapih dan tersusun dengan baik.
Video yang diunggah pun bermacam-macam, mengikuti trend di platform TikTok, utamanya dari kalangan pemilih muda. Mulai dari video gagasan dengan style editing yang menarik seperti beberapa konten kreator terkenal (dalam hal ini, ambil contoh Raymond Chin), video edukasi yang dibuat seolah sedang melakukan diskusi dan tanya jawab, lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditinggalkan oleh netizen di kolom komentar video unggahannya, vlog dengan timnya saat sedang melakukan kampanye, adapun vlog dengan komunitas-komunitas di Jakarta, juga vlog pribadi dengan teman-teman dan keluarganya, “Pram-Doel core”, “Me in public, my airpods”. Yang terakhir konten yang paling banyak dibuat di akun Pramono Anung adalah video “jeadag-jedug” atau biasa juga disebut JJ. Konten ini sangat marak di kalangan anak muda. Dengan memasukkan foto atau video yang diedit dengan musik ber-genre musik Electronic Dance Music (EDM) yang sudah ada sejak lama. Musik pada JJ ini identik dengan beat dan dentuman bass yang kuat, sehingga sering disebut sebagai “jedag-jedug”.
Seperti contohnya, video jedag-jedug dengan penonton terbanyak dalah videonya dengan Mayor Teddy selaku penerus Sekretaris Kabinet yang dulu dijabat oleh Pramono Anung. Videonya memperoleh 1,6 juta penonton dengan 103 ribu likes. Adapun video JJ dengan penonton terbanyak kedua merupakan foto dirinya dengan Anies Rasyid Baswedan, mantan Gubernur Jakarta periode 2017-2022. Video tersebut memperoleh 1.1 juta penonton dengan 83,6 ribu likes.
Video-video tersebut kemudian dimasukkan ke dalam 4 playlist berbeda di akun TikTok-nya. Yaitu, Siapa Mas Pram, Mas Pram JJ, Sahabat Mas Pram, dan Mas Pram Menyala.
Adapun dikutip dari video di laman YouTube milik Tempo, pada video Bocor Alus Politik mereka yang berjudul “Campur Tangan Jokowi dan Prabowo di Pilkada 2024”, dikatakan bahwa Pramono Anung memang mempunyai tim khusus sendiri di luar partai yang bertugas untuk memantau elektabilitas, menyiapkan debat, dan juga sebagai konten kreator untuk mengunggah video-video pendek miliknya di platform jejaring sosial. Hal ini dilakukan diharapkan dapat menaikkan elektabilitas Pramono, dan juga menarik para swing voters atau undecided voters untuk merapat dan mendukung pasangan 03 di Pilkada Jakarta, Pram-Doel.
Adapun contoh lainnya yaitu, Anies Rasyid Baswedan yang semp menjadi salah satu calon pada Pilpres 2024 lalu bersama pasangannya yaitu, Muhaimin Iskandar. Beliau juga menggunakan jejaring sosial media TikTok sebagai salah satu sarana atau ruang dalam melakukan diskusi terbuka. Walaupun momentumnya agak terlambat karena Anies sendiri cenderung lebih aktif di platform X—sosial media berbasis tulisan cenderung lebih terbuka untuk diskusi karena adanya kemudahan dalam memberikan feedback berupa tulisan, membuat Anies lebih aktif disana—karena kemudahan akan melakukan diskusi secara terbuka di ruang internet. Hal ini kemudian mengakibatkan timbulnya gerakan organik dari kalangan muda, yaitu munculnya akun @aniesbubble yang mengadopsi kultur fandom fanbase K-Pop.
Dari situ, lahirlah gerakan organik dari pendukung yang makin masif, juga tim suksesnya yang mulai sadar akan banyak hal. Pada hal ini, termasuk fitnah dan hoax tak berdasar yang terus menerus dilayangkan kepada Anies. Juga, bahwa kampanye di ruang terbuka seperti kampanye akbar dan keliling saja tidak cukup, karena semuanya sekarang serba digital, juga segala hal perlu diabadikan di sosial media.
Salah satunya adalah untuk meningkatkan personal branding yang kuat. Hal ini yang kemudian menjadi sebuah turning point bagi keaktifan Anies dalam ber-sosial media. Mulai dari situ, Anies dengan tim suksesnya mulai lebih aktif di TikTok pada masa kampanye. Video-videonya dapat dilihat di akun resmi TikTok milik Anies yang sudah dibagi ke dalam beberapa playlist, diantaranya “Kenalan Ulang Anies”, “Kenangan Manies”, “Sapa Warga”, dan lain sebagainya.
Anies bahkan selalu menyempatkan untuk mengadakan live TikTok, bahkan setelah agenda yang begitu padat. Hal ini guna menjangkau lebih banyak orang agar mendukung pasangan AMIN dan menuntaskan hoax serta fitnah yang sudah dilayangkan kepada pasangan capres-cawapres tersebut. Juga tujuan utamanya adalah menyediakan ruang diskusi terbuka bagi yang ingin bertanya apabila tidak berkesempatan menghadiri acara Desak Anies.
Dan bahkan walaupun tidak terpilih sebagai Presiden periode 2024-2029, Anies tetap melanjutkan untuk konsisten memposting kegiatannya di jejaring sosial hingga sekarang dengan dukungan timnya. Kali ini tak hanya X (Twitter) namun juga TikTok. Karena ia pun sadar bahwa personal branding di sosial media adalah salah satu jalan untuk menemukan lebih banyak pendukung muda apabila ia ingin terus melanjutkan karir politiknya.