Pengalaman Sinematografi, Fotografi & Desain Grafis DI Kampus

Fotografi memang menjadi langkah awal saya mengenal dunia visual sebelum akhirnya terjun didunia sinematografi. Saat masih kelas 2 SMP, saya mulai belajar dasar-dasar fotografi dari kamera digital sederhana milik ayah saya. Awalnya, saya hanya memotret benda-benda di sekitar, seperti bunga di taman, langit sore, atau teman-teman di sekolah. Tapi perlahan, saya mulai menyadari bahwa fotografi bukan cuma soal memotret, melainkan soal menyampaikan sesuatu. Sebuah foto yang baik bukan hanya enak dilihat, tetapi juga bisa bercerita. Misalnya, bagaimana cahaya matahari yang menerobos dedaunan bisa menciptakan nuansa hangat, atau bagaimana komposisi diagonal dalam sebuah foto bisa membuat gambar terlihat lebih dinamis.

Ketika masuk SMA, ketertarikan saya terhadap fotografi semakin dalam. Saya mulai membaca buku-buku tentang fotografi, menonton video tutorial, dan mempelajari karya-karya fotografer terkenal seperti Steve McCurry atau Ansel Adams. Dari situ, saya belajar tentang elemen-elemen fotografi seperti rule of thirds, leading lines, dan bagaimana warna dapat memengaruhi mood sebuah foto. Saya juga mulai bereksperimen dengan berbagai gaya, dari potret, street photography, hingga landscape. Ada momen lucu ketika saya mencoba memotret bintang di malam hari menggunakan kamera seadanya. Hasilnya tentu jauh dari kata sempurna, tapi pengalaman itu yang membuat saya semakin tertarik untuk mendalami teknik fotografi lebih serius.

Fotografi mengajarkan saya tentang kesabaran dan perhatian terhadap detail. Misalnya, saat menunggu golden hour untuk memotret, saya sering merasa seperti “bertemu” dengan waktu yang paling indah dalam sehari. Ketika warna langit berubah perlahan dari jingga ke ungu, ada perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Proses menunggu ini mengajarkan saya untuk lebih menghargai momen dan belajar melihat keindahan dari hal-hal kecil. Di sisi lain, saya juga belajar untuk cepat beradaptasi. Kadang-kadang, momen terbaik muncul hanya dalam hitungan detik, seperti senyuman seorang anak di pasar atau burung yang tiba-tiba terbang melintasi langit. Kalau kita terlalu lama berpikir, momen itu bisa hilang begitu saja.

Fotografi inilah yang akhirnya menjadi “jembatan” saya menuju sinematografi. Ketika saya mulai menyukai film, saya menyadari bahwa banyak elemen dalam fotografi juga berlaku dalam pembuatan film, hanya saja film memiliki tambahan elemen waktu dan gerakan. Sebuah frame dalam film sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sebuah foto, hanya saja gambar dalam film terus bergerak, berubah, dan berkembang sesuai dengan alur cerita. Misalnya, komposisi frame dalam sebuah adegan harus tetap memperhatikan estetika seperti dalam fotografi, tetapi juga harus bisa mendukung narasi.

Ketika masuk dunia sinematografi, saya menyadari bahwa kamera adalah alat yang jauh lebih kompleks daripada yang pernah saya gunakan untuk fotografi. Ada begitu banyak variabel yang harus diperhatikan, seperti movement, depth of field, dan bagaimana mengontrol cahaya untuk menciptakan suasana tertentu. Salah satu pengalaman paling berkesan adalah ketika pertama kali saya mencoba menggunakan kamera dengan gimbal stabilizer. Awalnya, tangan saya gemetar karena belum terbiasa, tetapi setelah beberapa kali mencoba, saya akhirnya bisa merekam sebuah adegan panjang tanpa terlalu banyak guncangan. Rasanya seperti menari dengan kamera, mengikuti setiap gerakan karakter sambil memastikan bahwa setiap frame tetap terlihat indah.

Dunia sinematografi juga memperkenalkan saya pada pentingnya visual storytelling. Dalam fotografi, saya belajar bagaimana satu gambar bisa menyampaikan banyak cerita. Namun dalam sinematografi, cerita itu terus berkembang, frame demi frame. Setiap elemen dalam frame, mulai dari blocking aktor, pencahayaan, hingga pilihan lensa, memiliki peran untuk menyampaikan emosi kepada penonton. Salah satu pelajaran paling berharga adalah bagaimana membuat penonton merasa tanpa harus mengatakan apa-apa. Seperti dalam film “Parasite,” di mana hanya dengan perubahan pencahayaan dan framing, kita bisa langsung merasakan perbedaan suasana antara keluarga kaya dan keluarga miskin.

Selain itu, salah satu aspek yang saya nikmati dalam sinematografi adalah eksplorasi warna. Saya selalu terpesona dengan bagaimana warna dapat memengaruhi mood penonton. Warna merah, misalnya, sering digunakan untuk menggambarkan bahaya atau gairah, sedangkan biru lebih sering menciptakan perasaan tenang atau melankolis. Dalam proses editing, saya suka bermain-main dengan color grading, mencoba mencocokkan nuansa warna dengan emosi yang ingin saya sampaikan.

Sinematografi itu memang dunia yang luar biasa menarik buat saya, terutama bagi saya yang sudah cukup lama terjun di bidang ini. Tapi meskipun saya sudah punya pengalaman yang lumayan banyak, ternyata mata kuliah ini tetap memberikan banyak hal baru dan perspektif segar yang membuat saya semakin senang dengan dunia visual storytelling.

Di awal semester 5 ini, saya sudah cukup familiar dengan istilah-istilah teknis seperti framing, aperture, dan depth of field. Buat saya, istilah-istilah itu sudah jadi “makanan sehari-hari.” Tapi yang menarik, ternyata mempelajarinya dalam lingkungan akademis punya rasa yang berbeda. Bukan sekadar tahu, tapi memahami lebih dalam bagaimana elemen-elemen itu saling berhubungan untuk menciptakan gambar yang punya makna dan cerita. Apalagi ketika dosen mulai membedah scene dari film-film layar lebar, seperti “Parasite” atau “The Grand Budapest Hotel” (favorit saya nih!). Setiap frame dianalisis: kenapa sudut kameranya begini, kenapa pencahayaannya begitu, bahkan sampai ke pemilihan warna. Rasanya kaya dapet “kacamata baru” buat melihat film.

Bagian praktik jelas jadi highlight mata kuliah ini. Meski saya sudah sering pegang kamera sebelumnya, suasananya jadi beda saat kerja bareng teman-teman sekelas. Mulai dari diskusi ringan soal konsep, nyari ide buat short film, sampai debat kecil soal sudut kamera mana yang lebih cocok, semuanya bikin saya semakin semangat. Ada momen lucu sekaligus berkesan ketika saya dan kelompok harus ke kampus pagi-pagi banget demi ngejar golden hour. Bayangin, jam 5 pagi udah standby di lokasi, mata masih setengah ngantuk, tapi demi dapet cahaya alami yang cantik, siapa takut? Hasilnya memang nggak se-epik yang kami bayangkan, tapi proses itu yang justru bikin pengalaman ini berharga.

Selain itu, eksplorasi sudut pandang baru juga jadi pelajaran penting. Dosen sering bilang, “Coba lihat dari sisi yang berbeda.” Dari situ saya belajar bahwa sinematografi bukan cuma soal teknis, tapi juga soal rasa. Bagaimana sebuah gambar bisa menyampaikan emosi tertentu, bagaimana perpaduan antara lighting dan komposisi bisa membuat penonton merasakan sesuatu tanpa satu kata pun terucap. Misalnya, dengan mengubah sudut pandang kamera dari bawah, kita bisa bikin tokoh terlihat lebih dominan atau berkuasa. Hal-hal kecil seperti ini yang sebelumnya sering saya abaikan, kini jadi perhatian utama.

Lanjut ke proses editing. Nah, ini bagian yang awalnya terasa agak rumit. Saya memang sudah tahu beberapa software seperti Adobe Premiere atau DaVinci Resolve, tapi jujur, ngulik software itu nggak pernah gampang. Ada kalanya laptop nge-lag, file hilang, atau transisi nggak berjalan seperti yang diinginkan. Tapi setelah beberapa kali mencoba dan akhirnya berhasil bikin video dengan transisi yang halus dan color grading yang pas, rasanya semua usaha itu terbayar lunas. Editing mengajarkan saya tentang kesabaran dan detail, karena setiap detik video harus diperhatikan agar hasil akhirnya benar-benar memuaskan.

Hal yang paling saya syukuri dari mata kuliah ini adalah kerja tim. Sinematografi itu nggak bisa dikerjakan sendirian. Mulai dari brainstorming ide, pembagian tugas saat syuting, sampai diskusi pasca-produksi, semuanya membutuhkan kerja sama. Kadang memang ada perbedaan pendapat—apalagi kalau udah ngomongin konsep artistik yang sifatnya subjektif. Tapi justru dari situ saya belajar untuk lebih terbuka, lebih sabar, dan lebih menghargai ide orang lain. Setiap anggota tim punya peran penting, dan hasil akhirnya adalah refleksi dari usaha bersama.

Mata kuliah sinematografi ini, lebih dari sekadar belajar bikin video. Ini adalah perjalanan untuk memahami seni bercerita melalui gambar. Dari teori, praktik, sampai diskusi dengan teman-teman, saya merasa mendapatkan lebih dari sekadar nilai. Saya belajar bagaimana menangkap keindahan dari hal-hal kecil, bagaimana membingkai emosi dalam sebuah adegan, dan bagaimana bekerja sama untuk menciptakan karya yang bermakna.

Bagi saya, sinematografi adalah seni yang bukan hanya tentang menciptakan visual yang indah, tetapi juga tentang menyampaikan sesuatu yang lebih dalam: cerita, emosi, dan pengalaman hidup. Dan perjalanan saya di dunia ini masih panjang. Saya ingin terus belajar, bereksperimen, dan menciptakan karya-karya yang bisa menginspirasi orang lain. Karena pada akhirnya, sinematografi bukan hanya soal apa yang kita lihat di layar, tapi juga tentang bagaimana kita membuat orang merasa dan berpikir melalui gambar.

Jadi, buat kalian yang mungkin tertarik dengan dunia sinematografi, saran saya cuma satu: nikmati prosesnya. Karena di balik setiap frame yang indah, ada cerita, perjuangan, dan pengalaman yang nggak akan pernah kalian lupakan. perjalanan ini akan penuh tantangan, tapi juga penuh kepuasan. Jangan takut untuk mencoba, gagal, dan belajar lagi. Setiap momen, setiap frame, adalah kesempatan untuk bercerita, dan cerita yang kalian buat bisa menjadi sesuatu yang luar biasa untuk dunia ini.

Desain Grafis???

Desain grafis. Sebuah dunia yang awalnya hanya saya kenal sebagai hobi sederhana di waktu senggang, kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan saya. Bagi saya, desain grafis bukan hanya soal bermain dengan elemen visual seperti warna, bentuk, dan teks, tetapi juga tentang menyampaikan pesan, membangun cerita, dan menciptakan sesuatu yang bisa dirasakan oleh orang lain.

Awal perkenalan saya dengan desain grafis terjadi saat saya masih duduk di bangku SMA. Saat itu, saya baru saja menemukan software seperti CorelDRAW dan Photoshop. Meskipun saya sama sekali tidak tahu cara menggunakannya, ada rasa penasaran yang membuat saya ingin terus mencoba. Saya ingat betul proyek pertama saya: membuat poster untuk acara kelas. Dengan kemampuan seadanya, saya mengutak-atik font, menambahkan beberapa clip art, dan mencoba mencocokkan warna. Hasilnya? Jujur saja, sangat jauh dari kata bagus. Tapi, reaksi teman-teman yang antusias melihat poster tersebut memberikan semacam dorongan bagi saya untuk terus belajar.

Lambat laun, saya mulai menggali lebih dalam. Saya belajar dari berbagai sumber, mulai dari tutorial YouTube, artikel online, hingga berbicara dengan teman-teman yang lebih berpengalaman. Saya mulai memahami bahwa desain grafis bukan sekadar soal membuat sesuatu terlihat “keren,” tetapi juga tentang bagaimana elemen-elemen visual dapat menyampaikan pesan secara efektif. Misalnya, bagaimana pemilihan warna tertentu dapat memengaruhi emosi audiens, atau bagaimana tipografi yang tepat dapat membuat pesan lebih mudah dicerna.

Saat pertama kali mencoba membuat logo, saya benar-benar merasa tertantang. Bayangkan, hanya dengan bentuk-bentuk sederhana seperti lingkaran, segitiga, atau garis, saya harus menciptakan sesuatu yang dapat merepresentasikan identitas sebuah brand. Saya ingat proyek kecil untuk seorang teman yang memiliki usaha kecil-kecilan di bidang makanan ringan. Dia meminta saya membuat logo untuk bisnisnya. Dengan konsep seadanya dan waktu yang terbatas, saya membuat logo sederhana dengan elemen daun dan huruf bergaya tulisan tangan untuk mencerminkan kesan alami. Ketika dia melihat hasilnya dan langsung menyukai logo tersebut, saya merasa ada kepuasan yang luar biasa.

Namun, dunia desain grafis tentu bukan tanpa tantangan. Salah satu hal yang sering membuat saya frustrasi adalah proses revisi. Ada kalanya klien atau teman memiliki visi yang sangat berbeda dari apa yang saya buat. Misalnya, saya pernah mengerjakan poster promosi untuk sebuah acara musik. Saya mencoba menggunakan gaya minimalis dengan warna-warna pastel yang sedang tren saat itu. Namun, ketika saya tunjukkan hasilnya, klien meminta saya mengubah semuanya karena menurut mereka desainnya terlalu “sepi” dan kurang mencolok. Meski awalnya merasa kesal karena harus mengulang dari awal, pengalaman itu justru mengajarkan saya untuk lebih mendengarkan keinginan klien dan menyesuaikan gaya desain saya dengan kebutuhan mereka.

Salah satu momen paling berkesan dalam perjalanan saya sebagai desainer grafis adalah ketika saya berhasil menyelesaikan proyek branding untuk sebuah kafe kecil di kota saya. Proyek ini cukup besar bagi saya saat itu, karena mencakup pembuatan logo, menu, desain interior, hingga poster promosi. Saya ingat betul bagaimana saya menghabiskan berjam-jam memikirkan konsep yang tepat, mencoba berbagai kombinasi warna, hingga bereksperimen dengan ilustrasi. Hasil akhirnya adalah sebuah identitas visual yang tidak hanya menarik tetapi juga sesuai dengan karakteristik kafe tersebut. Ketika saya melihat logo saya terpampang di papan nama kafe, ada rasa bangga yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Proses belajar desain grafis juga mengajarkan saya tentang pentingnya kerja keras dan konsistensi. Ada kalanya saya merasa stuck atau kehilangan ide. Saat itu, saya biasanya mencari inspirasi dari mana saja—entah itu dengan melihat karya desainer lain di platform seperti Behance atau Dribbble, membaca buku tentang desain, atau sekadar berjalan-jalan dan mengamati lingkungan sekitar. Saya percaya bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja, asalkan kita cukup peka untuk menemukannya.

Selain itu, saya juga menyadari betapa pentingnya memiliki komunitas. Bergabung dengan komunitas desainer grafis, baik secara online maupun offline, memberikan banyak manfaat. Saya bisa belajar dari pengalaman orang lain, mendapatkan kritik yang membangun, dan bahkan menjalin kolaborasi untuk proyek-proyek yang lebih besar. Salah satu pengalaman terbaik saya adalah ketika ikut serta dalam kompetisi desain poster yang diadakan oleh sebuah organisasi. Meski saya tidak menjadi juara, prosesnya memberikan banyak pelajaran, terutama tentang bagaimana bekerja di bawah tekanan dan menghadapi kritik.

Tidak bisa dipungkiri, perkembangan teknologi juga memainkan peran besar dalam dunia desain grafis. Dulu, saya hanya mengandalkan software seperti Photoshop dan Illustrator, tetapi sekarang ada begitu banyak tools yang bisa membantu pekerjaan saya menjadi lebih mudah dan efisien, seperti Canva, Figma, atau Procreate untuk ilustrasi. Namun, saya tetap percaya bahwa teknologi hanyalah alat. Pada akhirnya, kreativitas dan kemampuan bercerita melalui visual adalah hal yang paling penting.

Selain aspek teknis, saya juga belajar bahwa desain grafis adalah tentang memahami manusia. Seorang desainer harus mampu berpikir dari sudut pandang audiens—apa yang mereka rasakan, apa yang mereka inginkan, dan bagaimana desain dapat membantu mereka memahami pesan yang ingin disampaikan. Misalnya, saat membuat poster untuk kampanye sosial, saya harus memikirkan bagaimana elemen visual seperti warna merah dan hitam dapat menciptakan kesan urgensi, atau bagaimana menggunakan gambar manusia bisa membuat pesan terasa lebih personal dan emosional.

Sekarang, setelah bertahun-tahun terjun di dunia desain grafis, saya merasa perjalanan ini baru saja dimulai. Masih banyak hal yang ingin saya pelajari dan eksplorasi, mulai dari motion graphic, hingga ilustrasi digital. Saya percaya bahwa dunia desain grafis adalah dunia yang tidak pernah berhenti berkembang. Tren mungkin datang dan pergi, tetapi prinsip-prinsip dasar desain dan kemampuan untuk bercerita melalui visual akan selalu relevan.