Mengenal Lebih Jauh Gheisha

Sejarah Geisha
Jepang merupakan salah satu negara berbentuk kerajaan yang terletak di
kawasan Asia, dan salah satu negara yang masih mempunyai tradisi dan
kebudayaan yang dijalankan hingga saat ini. Walaupun sudah menjadi negara
maju, tetap saja akar-akar budaya dan nilai-nilai tradisionalnya yang begitu
banyak dan beragam selalu mendarah daging pada bangsa Jepang.
Sistem geisha muncul di sekitar pertengahan zaman Edo (1600-1868)
geisha yang pertama-tama adalah laki-laki (juga disebut dengan Hokan atau
Taiko-mochi), jadi wanita pertama yang menjadi geisha disebut onna geisha
(geisha wanita). Secara berangsur-angsur jenis hiburan ini menjadi pekarjaan
wanita di mana sebutan geisha kemudian digunakan untuk menyebut geisha
wanita dan otoko geisha (geisha pria) digunakan untuk menyebut geisha yang
laki-laki. Pemakaian istilah geisha pertama kali tercatat pada tahun 1751 di Kyoto
dan tahun 1762 di Edo.Kemunculan geisha pria yang pertama kali adalah juga sekitar tahun 1600an. Mereka memasuki pesta pesta yang diadakan oleh yujo (pelacur) dan tamutamunya dan menghibur di sana. Geisha pria inilah yang sebenarnya pertama kali disebut dengan geisha. Mereka juga disebut dengan (Hokan) atau pembawa gendang kecil tradisional Jepang (taiko-mochi). Dengan lincah dan bersemangat mereka membuat para yujo dan tamu-tamunya tertawa dengan melontarkan lelucon-lelucon yang berbau porno. Selain bertindak sebagai pelawak dan musisi,para geisha pria ini menjadi teman meghibur yang baik dan serba bisa dalam pesta-pesta. Pada tahun 1751, para pelanggan di tempat pelacuran Shimabara dikejutkan oleh penampilan seorang wanita pembawa gendang (onna taiko-mochi) muncul dipesta mereka. Wanita-wanita ini dikenal dengan geiko, istilah ini masih digunakan di Kyoto sebagai ganti geisha. Beberapa tahun kemudian di Edo, penghibur wanita yang mirip dengan itu bermunculan. Mereka disebut dengan onna geisha,atau geisha wanita. Pada tahun 1780, geisha wanita telah melebihi jumlah geisha pria, orang-orang kemudian menyebut otoko geisha untuk menyebut geisha pria. Pada tahun 1800, seorang geisha, dan tidak tergantikan lagi, pastilah seorang wanita.
Pada tahun-tahun 1700an profesi geisha dihubungkan dengan tempat
tempat pelacuran yang mendapat izin dari pemerintah atau yukaku. Ada berbagai
jenis dari pelacur (yuujo) di tempat ini, tetapi geisha adalah sebuah kelompok
yang terpisah yang dipanggil untuk menghibur pelacur dan tamu-tamunya dengan
menyanyi dan menari. Dengan tegas dikatan bahwa geisha tidak diperbolehkan
untuk bersaing dengan pelacur yang menyediakan pelayanan seksual, walaupun
perbedaan keduanya semakin lama semakin tidak jelas. Pemerintah juga berusaha
untuk membatasi kemewahan pakaian geisha, dan dengan sengaja seringkali yang
direkrut sebagia wanita adalah wanita-wanita yang sederhana atau lebih tua.Selain dari geisha yang berhubungan dengan tempat-tempat pelacuran, ada juga jenis geisha yang tidak terikat di tempat pelacuran yang mempunyai tempat sendiri. Tempat-tempat geisha (okabasho) ini lambat laun menjadi pusat kebudayaan kota yang bersifat duniawi, dan geisha-geisha tersebut sering menjadi pelopor mode terbaru. Di Kyoto, kawasan geisha (Hanamachi) yang bernama gion adalah distrik geisha pertama, sedangkan di Tokyo distrik geisha yang terkenal adalah Fukugawa, Yanagibashi dan Akasuka.Mulai dari akhir Zaman Edo sampai sekarang ini, geisha telah mempunyai hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar propinsi yang merupakan pendukung Restorasi Meiji pada tahun 1868 menemukan bahwa rumah-rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi pertemuan-pertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencanarencana politik mereka yang disamarkan dengan kegiatan pesta-pesta dan
bersenang-senang yang bertujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah
keshogunan terhadap kegiatan mereka. Bersama dengan berdirinya pemerintahan
Meiji di Tokyo, beberapa dari pemimpin-pemimpin baru ini tetap berhubungan dengan para geisha, baik yang berasal dari Yoshiwara ataupun dari tempat lain,
bahkan ada yang kemudian menikahi geisha yang setia kepada mereka.Sejak itu, bagaimanapun juga, pada akhirnya geisha di Tokyo lah yang
kemudian paling banyak terlibat dengan politisi, disebabkan pusat pemerintahan
yang baru telah dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo, sebagai pusat pemerintahan
Meiji. Setiap golongan dari pemerintahan mempunyai distrik yang digemarinya di
mana seringkali dilatarbelakangi dengan acara minum-minum sake dan suasana
yang santai, ternyata merupakan tempat menyelesaikan negosiasi politik, sehingga
jatuh bangunnya kesuksesan sebuah distrik atau kawasan geisha (hanamachi)
terkadang tergantung dari golongan politik yang berkuasa mana yang melindunginya. Demi kelangsungan profesinya para geisha merasa berkewajiban untuk merahasiakan pembicaraan yang didengarnya selama pertemuan politik tersebut. Akibatnya rahasia-rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya, para lawan politik mereka tidak menggunakan geisha yang sama.Pada awal abad ke-17, tersebar pelacuran lelaki dan perempuan di seluruh bandar-bandar seperti Kyoto, Edo dan Osaka. Untuk mengatasi masalah ini,diperintahkan oeh Tokugawa Hidetada pemerintah Keshogunan Tokugawa mengatur pelacuran ke daerah bandar yang ditetapkan. Daerah-daerah ini ialah
Shimabara bagi Kyoto (1640), Shinmachi bagi Osaka (1624-1644), dan Yoshiwara bagi Edo (1617). Alasan utama dibuatnya bandar-bandar ialah usaha Keshogunan Tokugawa untuk menghalangi golongan yang semakin kaya raya chounin (orang bandar) agar tidak terlibat dalam rancangan politik jahat.Pembicaraan mengenai geisha berarti juga menyangkut pembicaraan mengenai adat kebiasaan, hukum, sosial masyarakat, psikologis, bisnis, hubungan antara laki-laki dan wanita, kepercayaan, pakaian, makanan, dan kesenian Jepang.
Kesemuanya ini menyangkut satu pengertian dari kebudayaan. Pengertian
kebudayaan yang lainnya berarti keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan, dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Suriasumantri, 2000:261).
Kebanyakan geisha memiliki keterampilan-keterampilan khusus yang terlihat
lebih menonjol mulai masa pelatihan. Misalnya, ada geisha yang terlihat lebih
anggun ketika menarikan tarian klasik Jepang, ada juga yang terlihat lebih
terampil ketika memainkan shamisen ataupun ketika bernyanyi.Geisha merupakan hiburan yang populer sejak ratusan tahun yang lalu.Setiap geisha biasanya gemar menonton pertunjukan kesenian panggung kabuki.Geisha dan kabuki merupakan dua bentuk hiburan yang tampaknya telah menjadi lambang dari kebudayaan Jepang yang sudah cukup lama dikenal di luar negeri.Setiap geisha biasanya merupakan pengemar berat aktor kabuki. Hubungan diantara geisha dan pemain kabuki sudah berlangsung sejak beberapa puluh tahun lamanya.Geisha selalu menyajikan upacara minum teh ini pada awal ketika akan
menghibur tamu, yang biasanya dilakukan pada saat sebelum tarian. Para geisha
tidak hanya diajarkan tata cara penyajian dalam upacara ini, tetapi juga diajarkan
sejarah cha no yu (upacara minum teh). Geisha biasanya menggunakan rickshaw
(jinrikisha) sebagai alat transportasi untuk mengantarkan mereka dari okiya ke
restoran-restoran tempat biasa dipanggil untuk menghibur para pelanggan.
Keberadaan rickshaw ini lambat laun berkurang. Bahkan, sejak tahun 1970-an
hanya para geisha yang menggunakannya,Shamisen merupakan merupakan alat musik yang selalu menjadi bagian dari dunia geisha. Shamisen mulai pertama kali dikenalkan di Jepang dari China melalui Korea pada tahun 1560-an. Apabila di suatu tempat ada geisha, ada juga
shamisen. Shamishen di kalangan geisha biasa disebut o-shami, yang merupakan
lambang dari profesi geisha. Kimono merupakan salah satu ciri yang dapat membedakan geisha dari wanita Jepang pada umumnya. Wanita Jepang memakai kimono hanya untuk
acara-acara tertentu seperti ketika menghadiri pernikahan, wisuda, atau ketika
memasuki masa pensiun. Geisha selalu memakai kimono dalam kesehariannya.
Geisha dapat tetap ada sampai saat sekarang tidak lain karena rumahrumah geisha atau okiya yang tetap bisa mempertahankan keberadaan profesi ini.
Walaupun berkurang tetapi okiya ini tetap saja masih bisa terus beregenerasi. Saat
ini pengaturan mengenai jadwal, tarif, serta pemesanan diatur oleh sebuah badan
resmi khusus yang terdaftar di setiap wilayah, khususnya Kyoto.

Geisha Sebagai Bagian dari Kebudayaan Jepang
Geisha merupakan bagian dari kebudayaan Jepang. Banyak cerminan
kebudayaan terutama kebudayaan tradisional Jepang yang tersirat melalui geisha.
Geisha seolah-olah menjadi sesuatu yang benar-benar Jepang, karena hanya
dengan melihat gambar seorang geisha akan mengetahui maksud dari gambar itu
adalah menceritakan mengenai suatu hal yang ada hubungannya dengan Jepang.
Di setiap negara pasti ada permasalahan mengenai pelestarian kebudayaan
tradisionalnya, yang pada umumnya cenderung berganti dengan yang lebih
modern. Begitu juga dengan negara Jepang. Zaman sekarang ini masyarakat
Jepang lebih menyukai sesuatu yang bersifat kebarat-baratan, terutama di
kalangan pemudanya. Pemuda-pemuda Jepang, seperti pemuda-pemuda di negara
Asia lainnya, cenderung lebih menyukai hal-hal yang datangnya dari Barat.
Misalnya dalam hal musik, pemuda-pemuda Jepang lebih menyukai lagu-lagu pop,
jazz, atau rock, dibandingkan dengan musik tradisionalnya seperti nagauta.
Alat musik modern pun lebih menarik bagi mereka dibandingkan dengan
taiko, shamisen, koto, ataupun lainnya. Dalam hal berpakaian wanita-wanita
Jepang lebih memilih pakaian ala Barat yang dianggap lebih mudah dan praktis
dibandingkan dengan kimono yang cukup rumit pemakaiannya. Masyarakat
Jepang cenderung menyukai hal-hal yang cepat dan instan. Tata cara yng
dianggap memakan waktu lambat laun mulai dihilangkan, seperti tata cara minum
teh. Zaman sekarang ini tidak banyak masyarakat Jepang yang masih melirik
tarian tradisionalnya sebagai suatu yang harus dapat dikuasai, melainkan hanya
sekedar hiburan belaka.Semua hal yang berbeda dengan geisha dan kesehariannya. Seorang
geisha dituntut untuk dapat menguasai banyak kesenian dan kebudayaan Jepang.
Bagi masyarakat Jepang bisa menguasai satu kesenian Jepang saja, sudah
merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi, seorang geisha menguasai berbagai
kesenian Jepang merupakan keharusan untuk dapat meraih profesi geisha.
Gelar geisha baru dapat diraih setelah belajar dalam kurun waktu yang
tidak sebentar. Selama masa pendidikan calon geisha diharuskan dapat menguasai
banyak keterampilan. Seorang geisha harus dapat menyanyi lagu-lagu tradisional Jepang dengan iringan alat musik shamisen yang dipetiknya sendiri atau dengan
iringan taiko. Bagi wanita Jepang kimono hanya dipakai pada waktu tertentu,
misalnya pada saat upacara kedewasaan (upacara bagi wanita yang telah berumur
20 tahun) atau upacara resmi lainnya. Memakai kimono sudah menjadi suatu
keharusan dalam penampilannya setiap hari bagi geisha. Kimono inilah yang
membedakan geisha dengan wanita Jepang pada umumnya. Walaupun memakai
kimono tidak mudah, tetap saja dalam kesehariannya seorang geisha dituntut
untuk bisa memakai kimono. Selain memakai kimono, seorang geisha, ketika masa
pelatihannya diajarkan juga berbagai jenis tarian tradisional Jepang.

Geisha Sebagai Wujud Kebudayaan Jepang
Berbagai hal yang dilakukan geisha merupakan wujud dari kebudayaan
Jepang sebagai suatu hal yang kompleks berupa aktivitas kelakuan, yang berpola
dari manusia dalam masyarakat yang disebut dengan sistem sosial. Banyak
aktivitas para geisha yang mencerminkan kebudayaan Jepang. Geisha begitu
menjunjung tinggi nilai senpai dan kohai (atasan dan bawahan atau kakak dan
adik). Geisha senior begitu dihormati oleh para geisha junior karena dianggap
sebagai geisha yang memiliki banyak pengalaman.
Geisha mewujudkan kebudayaan Jepang dalam segala tingkah lakunya.
Seorang geisha akan selalu berbicara dengan bahasa yang sopan. Aksen Kyoto
merupakan ciri khas dari seorang geisha. Wujud kebudayaan Jepang yang
dicerminkan oleh geisha dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan, tatanan
rambut yang khas, tarian yang ditarikan, dan bermacam alat musik yang
dimainkannya. Nilai seorang geisha lebih dari sekedar anggun dan elegan, tetapi
menyimpan begitu banyak keahlian di bidang kesenian tradisional Jepang.
Menjadi seorang geisha berarti memiliki banyak peran, yaitu sebagai penyanyi,
penari, perias dan masih banyak lagi.Ciri khas orang Jepang adalah menghargai waktu. Sikap tersebut dapat dilihat pada diri seorang geisha. Liza Dalby seorang wanita asal Amerika yang
pada tahun 1983 menulis sebuah buku berjudul “Geisha”, berkomentar bahwa
seorang geisha dibayar oleh tamunya tidak hanya sekedar untuk keindahan, tetapi juga ketepatan waktunya dalam menghadiri pesta-pesta yang diadakan oleh pengguna jasa geisha,Menjadi geisha merupakan cerminan dari budaya Jepang itu sendiri.
Seorang geisha secara langsung maupun tidak langsung membawa peran penting
tentang menerapkan suatu budaya yang dapat nyata terefleksi dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu kebudayaan Jepang.

Geisha Sebagai Unsur Kebudayaan Universal
Unsur-unsur kebudayaan secara universal terbagi ke dalam tujuh unsur,
yaitu pertama, sistem religi dan upacara keagamaan, kedua, sistem organisasi
kemasyarakatan, ketiga, ilmu pengetahuan, keempat, bahasa, kelima, kesenian,
keenam, sistem mata pencaharian hidup, dan ketujuh, sistem teknologi dan
peralatan. Geisha harus mencerminkan tiga dari unsur kebudayaan tersebut.
Unsur kebudayaan yang pertama adalah sistem organisasi kemasyarakatan.
Geisha merupakan sistem organisasi kemasyarakatan karena komunitas geisha
membetuk satu komunitas sendiri. Setiap calon geisha apabila ingin menjadi
geisha yang resmi di kemudian hari diharuskan untuk mendaftar pada suatu kantor
pendaftaran yang khusus menangani masalah geisha, seperti masalah honor,
jadwal dan lainnya. Melalui kantor pendaftaran ini dapat diketahui jumlah
populasi geisha. Dewasa ini pun tarif geisha ditentukan melalui kantor ini.
Berkumpulnya geisha sebagai satu komunitas menyebabkan ada satu daerah yang
terkenal dengan masyarakatnya yang terdiri atas geisha, yaitu pontocho.Di Jepang saat ini tidak mengherankan jika daya erotis yang melekat pada karya seni beberapa ratus tahun lalu semakin berkurang. Namun di Jepang geisha masih mempunyai tujuan. Pesta paling mewah dari perusahaan-perusahaan besar masih menggunakan entertainment geisha. Di masa-masa mendatang, sepanjang masih ada wanita muda yang ingin menampilkan tarian tradisional dan memainkan shamisen secara profesional mungkin mereka akan menjadi geisha. Geisha akan tetap ada sepanjang masih ada pria Jepang yang menginginkan dunia
yang hanya dapat diciptakan oleh geisha, apakah hanya untuk menunjukkan
kehalusan mereka atau untuk kepuasan duniawi mereka, atau karena mereka
benar-benar menghargai harta karun masa lalu.

REFRENSI
Geisha, Seniman Wanita Tradisional Jepang
Artikel ini menjelaskan tentang peran, sejarah, dan proses menjadi geisha, serta mitos yang mengelilinginya.
Geisha: Pengertian, Sejarah, dan Proses Menjadi Geisha
Artikel ini membahas pengertian geisha, sejarahnya dari periode Edo hingga saat ini, serta tingkatan dalam dunia geisha.
Seniman Sekaligus Penghibur Tradisional Jepang
Artikel ini memberikan gambaran tentang peran geisha dalam budaya Jepang dan bagaimana mereka beradaptasi dengan perubahan zaman.
Kehidupan Geisha di Kyoto: Sejarah dan Mitos
Artikel ini mengeksplorasi kehidupan sehari-hari geisha di Kyoto, termasuk tantangan yang mereka hadapi dan mitos yang mengelilingi profesi ini.
Kehidupan Seorang Geisha
Dalam artikel ini, dijelaskan lebih lanjut mengenai kehidupan sehari-hari seorang geisha, termasuk pelatihan dan rutinitas mereka.