Menelusuri Jejak Penindasan terhadap Perempuan hingga Fenomena Femisida, Peran Pers dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual

Sebuah diskusi yang diadakan oleh Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) membongkar akar terjadinya penindasan terhadap perempuan. Dipantik oleh Hani Yulindrasari, Ketua Satuan Tugas SPKKS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Hani memaparkan bahwa era agraris menandai dimulainya dominasi laki-laki dalam struktur sosial dan menciptakan hierarki gender. Konsep kepemilikan yang awalnya terbatas pada kontrol atas tanah meluas hingga mencakup manusia termasuk perempuan dan keturunannya. Semula perempuan memiliki peran yang lebih setara namun secara bertahap termarginalisasi, pernikahan pun mulai dilihat sebagai transaksi politik untuk memperkuat kekuasaan dan kekayaan. Hani menekankan bahwa pada era agraris, laki-laki dan perempuan bekerja sama dengan baik, Tidak ada peran-peran yang kaku. Laki-laki berfokus untuk melaukan perburuan sedangkan perempuan mengambil peran dalam pengumpulan makanan.

Selama berabad-abad perempuan menjadi korban penindasan. Di masa lalu, kekuasaan dipertahankan melalui kelahiran anak laki-laki. Kepercayaan ini menempatkan posisi perempuan semata-mata dipandang sebagai aset untuk memproduksi keturunan demi melanjutkan warisan dan mempertahankan status quo.  Tekanan tersebut mendorong praktik-praktik seperti poligami dan hubungan di luar nikah yang semakin memperkuat objektivikasi terhadap perempuan.

Penempatan gender secara patriarki membuat perempuan kurang peka akan bentuk penindasan. Beban domestik yang dibebankan sepenuhnya pada pundak perempuan merupakan titik balik bagi perempuan untuk menyadari ketidakadilan gender. Perempuan kerap ditempatkan pada pekerjaan yang memiliki value rendah guna mempertahankan posisinya sebagai manusia tidak berdaya secara ekonomi. Selain itu, akar historis dari penindasan perempuan telah menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan, terutama terkait kontrol atas tubuh mereka sendiri. Di era modern ini bentuk-bentuk penindasan terhadap perempuan terus berevolusi hingga semakin kompleks. Meskipun bentuk penindasan terhadap perempuan telah berubah, warisan budaya yang menanamkan perasaan memiliki dan hak atas tubuh perempuan masih sangat terasa. Hal ini memanifestasikan diri dalam berbagai perilaku, mulai dari pelecehan hingga tindakan tanpa persetujuan. Semuanya didasari oleh anggapan bahwa laki-laki berhak atas tubuh perempuan bahkan dalam hal yang dianggap sepele seperti mencium pasangan tanpa izin.

Opresi yang disamarkan sebagai Kebebasan

Hani Yulindrasari juga menyoroti bahwa perpaduan antara patriarki dan kapitalisme melahirkan bentuk-bentuk penindasan yang lebih beragam. Fenomena ‘Open Booking Out’ misalnya, telah mengaburkan batas antara bentuk kebebasan dan penindasan. Perempuan yang terlibat dalam pekerjaan ini terjebak dalam dilema, di satu sisi mereka memanfaatkan sistem untuk keuntungan pribadi; di sisi lain mereka juga diperlakukan sebagai objek.

Doktrin yang membatasi pilihan perempuan sering kali menjadi landasan dalam tindakan opresif. Penggunaan hijab adalah contoh nyata dari peran doktrin ini. Namun, bagi sebagian individu termasuk Rani, salah seorang peserta diskusi, keputusan untuk melepas hijab menjadi proses panjang yang melibatkan berbagai pertimbangan.

“Orang tua aku dari latar belakang Islam yang cukup konservatif dan kental, sehingga berhijab itu hal yang wajib,” kata Rani.

Rani merasa terkekang terkait penggunaan hijab, ia merasa bahwa pilihan untuk berhijab bukanlah sesuatu yang datang dari dalam dirinya. Baginya, nilai-nilai agama harus diinternalisasi secara pribadi, bukan dipaksakan dari luar.

“Yang menentukan identitas kan dari diri aku sendiri,” jelasnya.

Stereotip di Ranah Kesenian

Kesenian tidak terlepas dari stereotip ataupun bias gender. Padahal seni merupakan ruang yang inklusif. Hal ini dialami Wili, partisipan lainnya dari diskusi “Sejarah dan Asal Usul Penindasan terhadap Perempuan” ini. Ia mengalami kesulitan mengekspresikan diri sebagai seorang penari.

Wili sejak kecil sudah memiliki ketertarikan terhadap dunia tari khususnya tari Jaipong, tarian khas dari Jawa Barat. Meski begitu, keterbatasan dalam mengekspresikan diri sebagai sosok dengan sisi feminin yang lebih dominan dibandingkan maskulin menjadi tantangan tersendiri.

“Saya merasa lebih dekat dengan gerakan yang feminin dibandingkan yang maskulin,” katanya.

Wili dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya tidak diizinkan untuk mempelajari gerakan tari Jaipong yang feminin. Akibatnya, ia dipaksa untuk belajar gerakan yang lebih maskulin namun tubuhnya ‘menolak’ dan merasa tidak nyaman, sehingga ia memutuskan untuk berhenti. Setelah meninggalkan dunia tari Jaipong, ia menemukan jati diri dalam tarian Lengger Lanang Banyumasan. Tarian yang menggabungkan unsur maskulin dan feminin ini ternyata lebih sesuai dengan dirinya.

“Akhirnya aku belajar ke sana,” ujarnya.

Selain ketidakadilan yang dialami perempuan, diskusi ini juga mengangkat persoalan mengenai tekanan yang dialami oleh laki-laki. Mereka dihadapkan pada ekspektasi untuk selalu kuat dan menekan emosinya, terutama saat marah. Kebanyakan dari mereka hanya memilih diam ketika marah, tanpa ada kesempatan untuk menyelesaikan masalah dengan komunikasi. Tekanan untuk tampil kuat ini berkontribusi pada meningkatnya angka bunuh diri di kalangan laki-laki sebab tidak diberinya ruang untuk mengekspresikan emosi secara terbuka.

Mengenal Femisida, Kejahatan Berbasis Gender terhadap Perempuan

Femisida bukan kejahatan biasa. Melansir dari siaran pers diskusi Femisida Seruan Solidaritas untuk Korban Femisida yang digelar oleh Great UPI menyatakan kasus femisida terbaru menimpa pada AA, seorang remaja perempuan berusia 13 tahun di Palembang, Sumatera Selatan. AA ditemukan tewas di Tempat Pemakaman Umum Talang Kerikil setelah dianiaya dan diperkosa oleh empat anak laki-laki. Femisida adalah istilah yang merujuk pada pembunuhan perempuan yang dilakukan karena mereka adalah perempuan. Vienna Femicide Declaration menekankan bahwa femisida tidak sama dengan pembunuhan biasa karena didorong oleh kekerasan berbasis gender. Perempuan dibunuh karena mereka melawan kontrol patriarki atau berusaha mandiri, tindakan tersebut melambangkan kekerasan struktural terhadap perempuan. Dengan kata lain, femisida bukan hanya menyinggung soal pertentangan personal antara pelaku dan korban, melainkan cerminan dari patriarki yang memandang perempuan sebagai subordinat yang harus dikendalikan.

Dari kasus tersebut tampak bahwa femisida merupakan tindak kekerasan seksual tersistematis yang menyasar perempuan. Pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan dilanggengkan dan dianggap normal. Namun, banyak kasus pembunuhan terhadap perempuan yang mencuat mirisnya tidak diakui sebagai femisida, sehingga rentan dianggap sebagai kekerasan biasa. Data terbaru dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan kasus femisida dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, tercatat 95 kasus indikasi femisida.

Angka ini kemudian melonjak drastis menjadi 237 kasus pada tahun 2021 dan mencapai puncaknya pada tahun 2022 dengan 307 kasus. Meskipun terjadi sedikit penurunan pada tahun 2023 menjadi 159 kasus. Data yang berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan tersebut tidak diperoleh dari bilik aduan melainkan merujuk pada pemberitaan online mengenai pembunuhan terhadap perempuan.

Perempuan menjadi sasaran kekerasan dapat dilihat dari konsep subordinasi, misogini, dan marjinalisasi. Subordinasi adalah sikap yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Pandangan ini muncul dalam berbagai aspek kehidupan sosial, di mana laki-laki dianggap lebih berharga dan perempuan ditempatkan pada posisi kedua. Selain itu, misogini atau kebencian terhadap perempuan merupakan faktor lain yang mendorong terjadinya kekerasan berbasis gender. Misogini merujuk pada kebencian yang tidak didasarkan pada alasan pribadi melainkan semata karena seseorang berjenis kelamin perempuan.

“Dia benci sama orang itu karena orang itu perempuan,” kata Nadia, dalam diskusi Seruan Solidaritas untuk Korban Femisida yang digelar Great UPI, di Taman Bareti UPI, Bandung, Jumat, 4 Oktober 2024.

Faktor marjinalisasi juga memberikan pengaruh terhadap nasib perempuan. Ketidaksetaraan akses dalam bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan membuat perempuan sering kali tertinggal dibandingkan laki-laki. Misalnya, pendidikan lebih diprioritaskan bagi laki-laki sementara perempuan dinilai cukup dengan pendidikan dasar. Akibatnya, perempuan menjadi lebih bergantung dan berada dalam posisi lemah secara ekonomi dan sosial.

“Ada upaya untuk memiskinkan perempuan, mereka tidak diberi akses untuk kuliah karena masih melekat anggapan bahwa perempuan pada akhirnya akan hidup di dapur,” lanjut Nadia.

Berikut beberapa bentuk femisida yang diakui di deklarasi Vienna 2012

  1. Pembunuhan sebagai akibat kekerasan pasangan intim.
  2. Penyiksaan dan pembunuhan misoginis.
  3. Pembunuhan atas nama “kehormatan”.
  4. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan dalam konflik bersenjata.
  5. Pembunuhan terkait mas kawin.
  6. Pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas gender.
  7. Pembunuhan perempuan pribumi dan kelompok marginal.
  8. Infantisida dan feticida berbasis gender.
  9. Kematian akibat mutilasi genital.
  10. Pembunuhan terkait tuduhan sihir.
  11. Femisida terkait geng, perdagangan manusia, dan kejahatan terorganisir.

Upaya Memutus Rantai Femisida

Indonesia belum memiliki landasan hukum khusus untuk kasus femisida. Kebanyakan kasus hanya dianggap sebagai pembunuhan biasa tanpa memperhitungkan motif gender di baliknya. Akibatnya, penanganan kasus femisida tidak sistematis dan cenderung mengabaikan faktor-faktor yang membedakannya dari pembunuhan biasa.

“Tidak adanya aturan khusus dalam pasal hukum Indonesia untuk mengategorikan dan menghukum pelaku femisida menunjukkan betapa rendahnya kesadaran hukum kita terhadap isu ini,” kata Nidan, di acara diskusi yang sama. Ketiadaan payung hukum spesifik untuk menangani femisida berakibat pada melonjaknya jumlah kasus tanpa upaya preventif yang memadai.

Mengingat femisida adalah puncak piramida kekerasan seksual, maka pemutusan rantai kasus perlu menyasar pada seluruh aspek yang mengarah pada akar permasalahan. Terdapat kesenjangan antara pentingnya edukasi kekerasan berbasis gender sejak dini dengan implementasinya dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Padahal, pemahaman tentang kekerasan berbasis gender krusial bagi semua pihak, baik pendidik, orang tua, maupun anak-anak. Penyebaran video hubungan seksual yang melibatkan anak-anak merupakan hasil dari minimnya edukasi seks di sekolah.  Di sisi lain, Pendidikan seksualitas yang benar harusnya mengajarkan lebih dari sekadar mengenali organ tubuh namun juga harus mencakup bagaimana menghargai individu lain dan membangun rasa hormat.

Nidan menilai bahwa menyuarakan isu femisida bukan hanya tanggung jawab perorangan melainkan sebagai gerakan bersama. Selain itu, femisida merupakan isu yang masih belum banyak diketahui, sehingga diperlukan upaya kolektif untuk mengedukasi dan menyadarkan lebih banyak orang mengenai femisida. Setiap orang punya power untuk menciptakan perubahan.

Jurnalisme Perspektif Gender

Menurut Nur Isman Subono (2003) dalam (Sary dkk, 2013:4) mendefinisikan jurnalisme perspektif gender sebagai kegiatan jurnalistik yang selalu menginformasikan, bahkan mempermasalahkan dan menggungat terus menerus baik dalam media cetak maupun elektronik jika terdapat hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, keyakinan gender yang menyudutkan perempuan atau representasi perempuan yang bias gender. Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa jurnalisme perspektif gender adalah bentuk jurnalistik yang secara khusus menyoroti ketidakadilan gender dalam berbagai konteks, dengan memberikan perhatian khusus pada perspektif perempuan dan kelompok minoritas.

Dalam Santi (2007:100), Subono berdasarkan May Lan menambahkan bahwa jurnalisme perspektif gender adalah pendekatan jurnalistik yang secara aktif berupaya mewujudkan kesetaraan gender dalam masyarakat. Selain itu, Subono juga mengidentifikasi dua pendekatan dalam praktik jurnalistik terkait gender yaitu pendekatan sensitif gender dan pendekatan netral gender. Media yang memiliki pendekatan sensitif gender akan menampilkan pemberitaan yang jelas dan tegas, mencerminkan perspektif tertentu mengenai isu-isu gender. Di sisi lain, media yang mengambil pendekatan netral gender akan menyajikan berita tanpa mengambil posisi atau sudut pandang spesifik terkait gender.

Prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh jurnalis saat meliput kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti yang dijelaskan oleh Hardiansya dkk. (2017), sangat krusial untuk memastikan pemberitaan yang adil dan bertanggung jawab, antara lain sebagai berikut:

  • Keberpihakan terhadap korban

Prinsip ini menggarisbawahi pentingnya perspektif gender dalam meliput kasus kekerasan. Dengan menempatkan korban sebagai subjek yang rentan dan tidak bersalah, jurnalis dapat memberikan pemberitaan yang lebih adil dan objektif untuk membela keadilan bagi korban.

  • Advokasi mengutamakan pemulihan dan pemberdayaan korban

Advokasi perlu memfokuskan upaya pada pemulihan kondisi psikologis korban kekerasan yang seringkali mengalami trauma, frustrasi, dan rendah diri. Maka, advokasi memprioritaskan bagaimana korban kekerasan dapat kembali hidup dengan normal seperti semula dan terbangun kembali kepercayaan diri dan kapasitasnya.

  • Advokasi sebagai alat transformasi sosial

Jurnalis memiliki peran krusial dalam mendorong perubahan sosial. Ketika meliput kasus kekerasan terhadap perempuan, jurnalis tidak hanya sekedar menyampaikan informasi, namun juga bertindak sebagai agen perubahan. Setiap liputan yang dihasilkan harus menjadi katalisator untuk mengubah kebijakan yang diskriminatif dan memperbaiki kondisi hidup para korban kekerasan. Dengan demikian, jurnalis berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara bagi perempuan.

  • Penegakkan akan Hak Asasi Manusia, Hak Perempuan dan Hak Anak.

Advokasi yang efektif harus selalu berakar pada pengakuan atas hak asasi manusia. Perempuan dan anak, sebagai individu yang memiliki martabat dan hak yang sama, berhak mendapatkan keadilan yang penuh. Advokasi harus bertujuan untuk memastikan bahwa hak-hak mereka, termasuk hak atas hidup, keamanan, dan perlindungan dari kekerasan, terpenuhi secara utuh.

Sumber:

Hardiansya, dkk. (2017). Panduan Jurnalis Berperspektif Perempuan dan Anak. Makassar: YAYASAN BaKTI.

Santi, Sarah. (2007). Jurnalisme Berperspektif Gender. KOMUNIKOLOGI: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 4(2), 99-103.

Sary, M. P., Wijayanti, V., & Larasati, M. (2013). JURNALISME BERPERSPEKTIF GENDER DI SURAT KABAR NASIONAL (Analisis Framing terhadap Pemberitaan Kasus Hukum Pancung TKI Arab Saudi di Republika). Communicology: Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 78-88.