Oleh: Varidza Syuhada Fahsya
Program Studi Teknik Informatika, Universitas Komputer Indonesia
Di tengah kehidupan kampus yang sibuk dengan tugas, presentasi, dan organisasi, banyak mahasiswa mungkin berpikir bahwa memulai usaha adalah sesuatu yang terlalu rumit dan mustahil dilakukan bersamaan dengan kuliah. Namun, saya justru percaya bahwa masa kuliah adalah waktu paling ideal untuk mencoba hal-hal baru, termasuk merintis usaha. Tidak perlu langsung membangun perusahaan besar. Cukup mulai dari sesuatu yang kita kenal, kita sukai, dan kita bisa jalankan dengan sumber daya terbatas.Memulai usaha tidak selalu membutuhkan modal besar atau pengalaman panjang. Kadang, keberanian untuk mencoba dan kreativitas sederhana bisa menjadi kunci awal dalam membangun bisnis. Ini yang saya alami ketika memutuskan untuk merintis usaha kecil-kecilan menjual dimsum rumahan bersama dua teman sekelas.
Saya memulai perjalanan berwirausaha dari dapur kecil di rumah salah satu teman sekelas. Bersama dua orang sahabat saya, kami mencoba membuat usaha makanan ringan berupa dimsum rumahan. Produk ini kami pilih karena tidak hanya disukai banyak orang, tetapi juga punya potensi pasar yang luas di lingkungan kampus, kost mahasiswa, hingga acara komunitas.
Berbekal resep warisan keluarga, ide sederhana, dan semangat untuk belajar, kami mulai merancang usaha dari bawah. Bukan hal yang mudah, namun semua proses ini menjadi pengalaman luar biasa yang bukan hanya memberi pelajaran soal bisnis, tapi juga soal manajemen waktu, komunikasi tim, dan ketekunan menghadapi tantangan.
Memulai Dari Nol dan Belajar Melalui Proses
Ide berjualan dimsum muncul saat kami sedang berkumpul sepulang kuliah. Salah satu teman saya membawa bekal dimsum buatannya sendiri, dan saat mencicipinya, semua yang ada di ruangan setuju bahwa rasanya enak, bahkan lebih enak dari beberapa produk dimsum frozen yang sering kami beli di minimarket. Sontak muncul celetukan, “Ini enak banget, kenapa nggak dijual aja?”
Dari situlah benih ide bisnis mulai tumbuh. Tanpa banyak teori atau riset pasar yang mendalam, kami langsung menyusun rencana sederhana. Kami bagi tugas: satu fokus di produksi, satu urus pemasaran, satu lagi urus keuangan dan logistik. Modal awal kami kumpulkan dari hasil menabung bulanan dan sisa uang makan—jumlahnya tidak besar, hanya sekitar Rp500.000, tapi cukup untuk membeli bahan, perlengkapan masak, dan sedikit kemasan.
Produksi awal kami dilakukan di dapur rumah kontrakan, menggunakan peralatan seadanya. Kami membuat sekitar 30 porsi dimsum ayam, dikemas dalam box kertas, dan langsung menjualnya melalui status WhatsApp dan grup Line angkatan. Di luar dugaan, dalam satu malam kami berhasil menjual habis semua porsi. Esoknya kami produksi lebih banyak. Begitu seterusnya, hingga usaha kami mulai memiliki pelanggan tetap.
Inovasi Produk Sebagai Nilai Pembeda
Kami sadar bahwa rasa enak saja tidak cukup untuk bertahan dalam industri kuliner, apalagi makanan seperti dimsum yang sudah sangat banyak dijual di pasaran. Oleh karena itu, kami fokus menciptakan varian rasa yang tidak biasa. Kami bereksperimen dengan campuran daging ayam dan jamur, menambahkan keju di bagian tengah, membuat saus homemade dengan bahan rahasia yang lebih pedas dan kental. Kami juga menyediakan pilihan saus keju dan blackpepper sebagai alternatif dari saus sambal standar.
Setiap varian diuji coba secara internal, lalu dibagikan ke beberapa teman untuk mendapatkan masukan. Dari sana kami belajar bahwa membangun produk yang kuat memerlukan proses iterasi, pengujian, dan keberanian untuk menerima kritik. Ada masa ketika pelanggan mengeluh karena saus terlalu asin, atau kulit dimsum terasa terlalu tebal. Kami tidak mengabaikan keluhan, justru menjadikannya peta jalan untuk meningkatkan kualitas produk.
Kami bahkan melakukan uji coba kemasan, mulai dari plastik mika hingga box kertas kraft yang kini menjadi ciri khas produk kami. Box ini kami beri desain grafis sederhana, tapi elegan, menggunakan warna pastel dan karakter lucu dimsum tersenyum. Di bagian dalam box, kami sisipkan kartu ucapan personal, bertuliskan “Terima kasih sudah mendukung produk lokal. Kami masak dengan cinta.” Respons pelanggan luar biasa positif. Mereka merasa dihargai, merasa produk kami bukan sekadar jualan, tapi punya cerita.
Membangun Branding Lewat Cerita dan Konsistensi
Brand bukan hanya logo atau nama. Kami belajar bahwa branding adalah tentang bagaimana produk kita diingat. Apa yang muncul di benak pelanggan ketika mereka mendengar nama usaha kita? Itulah yang kami bangun perlahan. Kami memilih nama usaha yang ringan, mudah diingat, dan relevan dengan target pasar mahasiswa. Kami konsisten menggunakan tone warna, gaya bahasa, dan citra visual yang sama di semua platform media sosial.
Akun Instagram kami tidak hanya berisi foto produk. Kami buat konten “sehari di dapur”, behind the scene, kesalahan lucu saat produksi, dan tentu saja testimoni jujur dari pelanggan. Semua konten ini tidak kami buat dengan tujuan viral semata, tapi untuk mengajak orang ikut mengalami perjalanan kami.
Kami juga aktif di TikTok, membuat video singkat tentang tips menyimpan dimsum, video packing order tengah malam sambil bercanda, bahkan konten POV pelanggan saat buka box dimsum. Engagement meningkat pesat, dan yang lebih penting: trust pelanggan terbentuk. Mereka percaya bahwa usaha ini dijalankan dengan serius, walaupun skalanya kecil.
Lebih dari itu, kegiatan seperti ini membuat kami merasa bahwa kami bukan sedang berjuang sendirian. Ada banyak orang yang siap membantu, memberi masukan, dan bahkan membuka peluang kolaborasi. Satu alumni bahkan tertarik untuk menjadikan produk kami sebagai bagian dari catering kantornya—sebuah peluang yang sebelumnya tak pernah kami bayangkan.
Belajar Memasarkan Lewat Digital Marketing
Kami menerapkan prinsip digital marketing yang kami pelajari dari literatur dan pengalaman langsung. Kami mengenal istilah customer journey, mulai dari awareness hingga conversion. Kami belajar membuat caption yang persuasive, belajar riset hashtag, menganalisis jam unggah terbaik, dan menyesuaikan konten dengan tren. Bahkan kami juga mulai memahami sedikit tentang algoritma Instagram dan TikTok, agar bisa memaksimalkan jangkauan secara organik.
Selain promosi organik, kami juga pernah mencoba iklan berbayar. Dengan bujet Rp50.000, kami bisa menjangkau ribuan pengguna Instagram di wilayah Bandung. Meskipun hasilnya tidak selalu langsung konversi ke penjualan, kami mulai memahami pentingnya data insight: post mana yang paling banyak disimpan, demografi follower, dan jenis konten yang paling disukai audiens.
Melalui digital marketing juga, kami berhasil menjangkau pelanggan di luar kampus. Beberapa pesanan bahkan datang dari mahasiswa kampus lain, setelah melihat konten kami dibagikan ulang oleh food blogger lokal.
Pengalaman Business Matching dan Bertemu Mentor
Kami berkesempatan mengikuti sesi business matching di lingkungan kampus, difasilitasi oleh komunitas kewirausahaan. Kami harus menyiapkan pitch deck, menyusun rencana pengembangan usaha, dan mempresentasikan ide kami kepada para mentor yang sudah lebih dulu sukses membangun usaha sendiri.
Ini bukan hanya latihan public speaking. Di sinilah kami mendapat feedback paling tajam dan jujur. Dari mentor, kami disadarkan bahwa kami belum punya laporan keuangan yang rapi, belum menghitung biaya operasional harian secara akurat, dan belum punya strategi skala produksi jangka panjang. Kami juga belajar pentingnya legalitas usaha, perlindungan merek dagang, dan bagaimana membuat proposal bisnis yang meyakinkan investor.
Salah satu mentor bahkan menghubungi kami pasca acara dan menawarkan bimbingan untuk mengembangkan usaha ke tahap distribusi ke kafe atau kedai makanan lokal. Momen ini benar-benar memvalidasi bahwa meskipun masih skala kecil, usaha kami memiliki potensi.
Persiapan Menuju Program P2MW
Melihat antusiasme pelanggan, konsistensi tim, dan peluang pasar yang masih terbuka lebar, kami mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti Program Pembinaan Mahasiswa Wirausaha (P2MW) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program ini bukan hanya tentang pendanaan, tapi juga pendampingan untuk membawa usaha mahasiswa ke level profesional.
Kami menyusun proposal usaha yang mencakup:
- Profil tim lengkap dengan job description
- Latar belakang dan analisis masalah
- Deskripsi produk dan keunggulannya
- Strategi pemasaran yang sudah dijalankan
- Rencana ekspansi 1 tahun ke depan
- Proyeksi pendapatan dan pengeluaran
- Risiko bisnis dan rencana mitigasinya
Proses penyusunan proposal ini membuat kami makin mengenal usaha sendiri, bukan hanya dari sisi operasional tapi juga secara strategis. Kami menjadi lebih terstruktur dalam berpikir, lebih terukur dalam mengambil keputusan, dan lebih siap untuk berkembang.
Kami berharap bisa lolos dalam program ini, agar bisa mendapatkan pelatihan dari para ahli, mengakses jaringan pemasaran yang lebih luas, serta memiliki peluang untuk mengembangkan dimsum kami menjadi brand kuliner mahasiswa yang kompetitif secara nasional.
Pelajaran Terbesar dari Pengalaman Ini
Dari semua proses ini, satu pelajaran paling besar yang saya dapatkan adalah: usaha yang besar selalu dimulai dari langkah kecil. Kami tidak punya modal besar, tidak punya latar belakang bisnis, dan tidak punya pengalaman sama sekali. Tapi kami punya kemauan, kerja keras, dan kemampuan untuk belajar cepat.
Kami belajar bagaimana menyelesaikan konflik internal tim, bagaimana tetap produktif di tengah tekanan akademik, bagaimana menerima kritik dengan lapang dada, dan bagaimana merayakan pencapaian kecil sebagai motivasi untuk terus maju.
Kami juga menyadari bahwa berwirausaha di masa kuliah bukan hanya tentang mencari uang tambahan, tapi tentang melatih diri menjadi pribadi yang mandiri, berani mengambil risiko, dan tangguh menghadapi kegagalan.
Ke depannya, kami memiliki mimpi besar untuk mengembangkan brand dimsum ini lebih luas lagi. Kami ingin membuka gerai kecil di area kampus, menjalin kemitraan dengan reseller, dan menjual produk kami secara daring di marketplace nasional. Kami juga bercita-cita menciptakan sistem kemitraan dengan mahasiswa lain yang ingin menjual produk ini di kampus masing-masing, sebagai bentuk pemberdayaan wirausaha muda.
Kami tahu jalan masih panjang. Tapi dengan semangat, konsistensi, dan dukungan dari lingkungan kampus serta program-program kewirausahaan yang ada, kami percaya mimpi itu bisa menjadi kenyataan.
Referensi
- Kotler, Philip & Keller, Kevin Lane. Marketing Management (15th ed.). Pearson Education, 2016.
- Chaffey, Dave. Digital Marketing (7th ed.). Pearson Education, 2019.
- Website P2MW: https://p2mw.kemdikbud.go.id