Media Kaiju : Media Yang Mengguncang Fiksi Jepang

  • Definisi Kaiju

Kaijū (怪獣, “Makhluk Buas Asing”) adalah kata yang di gunakan untuk menggambarkan Monster/Makhluk di Jepang. Kata tersebut pertama kali ditemukan/digunakan di Shan Hai Jing (山海经, “Klasik Pegunungan dan Samudra”).

  • Apa Itu Kaiju

Kaiju adalah genre film dan televisi Jepang yang menampilkan monster raksasa. Istilah Kaiju dapat merujuk pada monster raksasa itu sendiri, yang biasanya digambarkan menyerang kota-kota besar dan melibatkan militer, atau Kaiju lainnya, dalam pertempuran. Genre Kaiju adalah subgenre dari hiburan Tokusatsu (特撮, “Spesial Efek”) genre yang sangat mengandalkan banyak spesial efek. Tokusatsu biasanya selalu di hubungkan dengan genre Sci-Fi, Fantasi, Horror,dll.

Yang membedakan Kaiju dan Monster buatan Amerika/luar jepang ada 2 faktor :

Pengaruh Jepang

Sangat mencirikan khas Jejepangan dan biasanya dipengaruhi/mereferensikan beberapa aspek kebudayaan Jepang.

Karakteristik Tersendiri

Kaiju memiliki karakteristik atau sifat yang memperlihatkan kalau mereka bukan hanya rintangan berukuran raksasa.

    • Latar Belakang (Sebelum Era Showa)

    Landasan Genre kaiju bukan berasal dari Jepang, melainkan dari Amerika/United States.
    Adaptasi Novel Sir Arthur Conan Doyle’s, The Lost World yang di rilis tahun 1925 yang berkisahkan tentang makhluk pra-sejarah yang hidup di dunia modern yang belum tereksplorasi.
    The Lost World bukanlah film pertama tentang dinosaurus dan bukanlah film pertama yang berkaitan dengan makhluk raksasa, akan tetapi menjadi film sukses yang berkaitan dengan genre monster/raksasa.
    Semuanya berkat pionir animasi stop motion, Willis H. O’brien.
    Berkat kesuksesan The Lost World yang mengakibatkan efek Domino ke karir Willis H. O’Brien, ditawarkan untuk bekerja di RKO Pictures. Lalu Willis H. O’Brien membuat film yang mengguncang dunia perfilman dan salah satu karakter ikonik, 1933 king kong. Pioner sesungguhnya di media spesial efek. Motion Effect di film King Kong adalah mahakarya and puncaknya kreasi Willis H. O’Brien.
    Di rilis untuk kesekian kalinya di Jepang dan pada tahun 1952, Produser Toho, Tomoyuki Tanaka tertarik untuk membuat film orisinil dari Jepang.
    Tentu bukan hanya The Lost World dan king Kong saja yang menjadi inspirasi. Pada tahun 1953, Amerika merilis film “The Beast From 20.000 Fathoms”, yang paling berpengaruh ke pembuatan Godzilla.

    • Latar Belakang (kelahiran Genre Kaiju)

    Toho pada tahun 1954 gagal Co-Production dengan Studio Indonesia, Perfini membuat film, “In The Shadow Of Glory”.
    Setelah gagal membuat kesepakatan dengan Studio Perfini, Tomoyuki Tanaka kembali ke Jepang dan melewati Laut Pasifik, melamun ke luar jendela pesawat.
    Ia teringat dengan insiden Daigo Fukuryū Maru yang di mana insiden tersebut adalah Perahu nelayan yang terkena tes bom atom di Bikini Atol oleh Amerika.
    Efek bom tersebut menghasilkan radiasi yang sangat parah. Ide tersebut langsung di usulkan oleh Tomoyuki Tanaka ke Studio Toho setelah sampai di Jepang.
    Projek G adalah projek yang di penuhi dengan misteri. Toho segera mengumpulkan orang orang penuh talenta seperti kedua legenda, Sutradara Ishiro Honda dan Spesialis Spesial Efek Eiji Tsuburaya.
    3 November 1954, Toho merilis film pertama pure atau murni Genre kaiju yang sensasional yang berjudul, “Godzilla”. Berbeda dengan film-film monster yang lain di saat era itu, Godzilla adalah film yang menyajikan kesedihan yang mendalam dan kesan yang sangat realistis serta pesan-pesan/tema yang relevan dari dulu hingga sekarang. Yang paling jelas tema yang di angkat adalah senjata Bom Atom dan mengerikan efek radiasi Bom Atom serta bahayanya penggunaan senjata Bom Atom Massal. Godzilla sendiri adalah metafor Senjata Nuklir, Pemandangan Tokyo yang di penuhi api mengingatkan orang orang tentang betapa kejamnya Perang Dunia 2. Ke tiga orang, Tomoyuki Tanaka, Ishiro Honda dan Eiji Tsuburaya berhasil menjadi pionir genre kaiju yang akan terus di turun temurunkan dan di tiru di masa yang akan mendatang.
    Di rilis di era Showa, era yang di pimpin kaisar Hirohito dari 1926 sampai kematiannya di tahun 1989, Genre Kaiju di Era Showa di angan angan sebagai era emas/era berjaya/dipuncak-puncaknya genre Kaiju di Tokusatsu.
    Era showa sendiri untuk genre Kaiju di anggap berakhir di tahun 1981.

    • Kaiju Boom

    Kaiju Boom ini juga di bantu oleh tersebarnya media Televisi di akhir tahun 1950-an hingga 1960. Dimana Tsuburaya juga menciptakan banyaknya media di tahun 1960 tersebut. Banyaknya hal hal baru yang di ciptakan dan sesuatu yang berevolusi dari zaman ke zaman.
    Dari warna hitam putih ala ala film Noir, Memulai era berwarna dengan tema tema Alien, lalu hal hal yang eksperimental di tahun 1970-an.

    • Terminologi Kaiju

    Daikaiju

    Daikaijū (大怪獣 ) secara harfiah diterjemahkan sebagai “kaiju” besar atau “kaiju” raksasa. Istilah hiperbolik ini digunakan untuk menunjukkan kehebatan subjek kaiju; awalan dai- yang menekankan ukuran besar, kekuatan, dan/atau status. Kemunculan pertama yang diketahui dari istilah daikaiju pada abad ke-20 adalah dalam materi publisitas untuk rilisan asli tahun 1954 dari Godzilla. Secara khusus, dalam takarir pada poster film aslinya, Suibaku Daikaiju Eiga (水爆大怪獣映画 ), lit. “Film Monster Raksasa Termonuklir” (dalam bahasa Inggris yang tepat, “The Giant H-Bomb Monster Movie”).

    Kaijin

    Kaijin (怪人 lit. “orang asing”) mengacu pada manusia terdistorsi atau makhluk mirip humanoid. Asal usul kaijin kembali ke awal sastra Jepang abad ke-20, dimulai dengan novel 1936 Edogawa Rampo, The Fiend with Twenty Faces. Cerita ini memperkenalkan detektif master Edogawa, musuh bebuyutan Kogoro Akechi, “Fiend”, seorang master penyamaran misterius, yang wajah aslinya tidak diketahui; Moriarty untuk Sherlock Akechi. Menangkap imajinasi publik, banyak penjahat sastra dan film (dan kemudian televisi) mengambil jubah kaijin. Untuk lebih jelasnya, kaijin bukanlah cabang dari kaiju. Kaijin pertama yang muncul di film adalah film yang hilang The Great Buddha Arrival, dibuat pada tahun 1934.

    Setelah Perang Pasifik, istilah ini dimodernisasi ketika diadopsi untuk menggambarkan makhluk aneh, rekayasa genetika, dan secara sibernetika meningkatkan bibit humanoid jahat yang dirancang untuk Serial Kamen Rider pada tahun 1971. Ini menciptakan sempalan baru dari istilah tersebut, yang dengan cepat menyebar melalui popularitas program pahlawan super yang diproduksi dari tahun 1970-an, dan seterusnya. Kaijin ini memiliki pemikiran rasional dan kekuatan bicara, seperti halnya manusia. berturut-turut kaijin menagerie, dalam berbagai iterasi, muncul di berbagai seri, terutama program”Super Sentai yang ditayangkan perdana pada tahun 1975 (kemudian dibawa ke dalam iterasi bahasa Inggris Super Sentai sebagai Power Rangers pada 1990-an).

    Ini menciptakan sempalan lain, karena kaijin dari Super Sentai telah berevolusi untuk menampilkan bentuk dan atribut unik (yaitu gigantisme), yang ada di suatu tempat antara kaijin dan kaiju .

    Seijin

    Seijin (星人), literally “penduduk bintang”, muncul dalam kata-kata Jepang untuk alien luar angkasa, seperti Kaseijin (火星人), yang berarti “Martian“. Alien juga bisa disebut uchūjin (宇宙人) yang berarti “ruang angkasa”. Di antara Seijin yang paling terkenal dalam genre ini dapat ditemukan pada Seri Ultra, seperti Alien Baltan dari Ultraman, ras alien mirip krustasea yang telah menjadi salah satu karakter waralaba yang paling bertahan dan berulang selain Ultra itu sendiri.

    Kaijū eiga

    Kaijū eiga (怪獣映画, “film kaiju”) adalah film yang menampilkan satu atau lebih kaiju.

    Toho telah memproduksi berbagai film kaiju selama bertahun-tahun (banyak di antaranya menampilkan Godzilla, Rodan dan Mothra); tetapi studio Jepang lainnya berkontribusi pada genre tersebut dengan memproduksi film dan pertunjukan mereka sendiri: Daiei Film (Kadokawa Pictures), Tsuburaya Productions, dan Shochiku dan Nikkatsu Studios.

    Teknik monster

    Eiji Tsuburaya, yang bertanggung jawab atas efek khusus untuk Godzilla, mengembangkan teknik untuk menghidupkan kaiju yang kemudian dikenal sebagai “suitmation“. Di mana film monster Barat sering menggunakan stop motion untuk menganimasikan monster, Tsubaraya memutuskan untuk mencoba membuat setelan, yang disebut “setelan makhluk“, untuk dipakai manusia (aktor bersetelan) dan bertindak di dalamnya. Ini dikombinasikan dengan penggunaan model miniatur dan set kota yang diperkecil untuk menciptakan ilusi makhluk raksasa di kota. Karena kekakuan ekstrim dari setelan lateks atau karet, pembuatan film sering kali dilakukan dengan kecepatan ganda, sehingga saat film diputar, monster itu lebih halus dan lebih lambat daripada dalam pengambilan aslinya. Film “Kaiju” juga menggunakan bentuk boneka yang terjalin di antara adegan suitmation yang berfungsi untuk pengambilan gambar yang secara fisik tidak mungkin dilakukan oleh aktor setelan. Sejak rilisan 1998 dari Godzilla, film kaiju produksi Amerika menyimpang dari suitmation ke pencitraan hasil komputer (CGI). Di Jepang, CGI dan stop-motion semakin banyak digunakan untuk rangkaian khusus dan monster tertentu, tetapi suitmation telah digunakan untuk sebagian besar film kaiju yang diproduksi di Jepang pada semua zaman.

    • Relevannya Genre Kaiju Di Era Modern Seperti Shin Godzilla.

    Menilai Shin Godzilla sebagai “Bencana”

    Sebagai sebuah rebootShin Godzilla kembali digambarkan bagai bencana, setali tiga uang dengan pendahulunya, Godzilla (1954).

    Secara implisit, Godzilla dalam kedua film tersebut berasal dari evolusi organisme akibat limbah nuklir.

    Namun, kesamaan dengan film terdahulu harus berakhir pada bagian tersebut. Sekarang, Godzilla hidup sesuai dengan namanya, Tuhan (dibaca: God) atau dengan kata lain “inkarnasi Tuhan”.

    Kehadirannya disinyalir sebagai murka Tuhan atas tindakan manusia yang semena-mena di bumi. Film ini juga mengambil beberapa tema tragedi bencana di Jepang, seperti gempa Tohoku dan bencana nuklir Fukushima Daiichi pada 2011.

    Unsur “Politik” dalam Film

    Dalam film-film Godzilla, sedikit orang berpikir implikasi politik pada monster setinggi 118.6 meter itu. Pasalnya, ia menyerang sebuah negara dengan angkatan militer yang dibatasi oleh banyak perjanjian.

    Akibatnya, ekonomi di Jepang hancur karena para investor terpaksa menarik diri dari negara yang diserang monster.

    Pemerintah sebagai kontrolir kerusakan juga tidak banyak membantu masyarakat.

    Hal tersebut nampak sebagaimana lambannya keputusan, sikap perdana menteri yang selalu membuang muka, minimnya riset mengenai ancaman baru, dan peranan negara asing dalam menangani ancaman ini.

    Tak dapat dipungkiri, serangan monster yang nampak abadi ini tentu bisa mengancam negara lain, bahkan dunia. Jadi melihat adanya bantuan militer dari Amerika Serikat kepada Jepang membuat film ini lebih logis.

    Apabila dilihat seksama, penyebab Jepang kehilangan banyak kekuatan militer adalah Amerika Serikat. Japan Self-Defense Forces (JSDF) yang menjadi kekuatan militer terbesar Jepang tak luput dari korban dan intimidasi Amerika Serikat. Salah satunya, peluncuran senjata nuklir oleh Amerika Serikat memakan korban dari pihak militer Jepang.

    JSDF yang kehilangan banyak tentara, mau tak mau harus disusupi oleh tentara Amerika Serikat. Masalahnya, Jepang dibuat tak berdaya oleh Amerika Serikat untuk melawan monster. Seakan-akan mereka tidak dapat mengatasi bencana ini dengan kekuatan militer mereka. Pasalnya, Jepang sebagai sekutu Amerika serikat tidak mungkin ditinggalkan begitu saja dalam keadaan kritis.

    Dengan bergabungnya Amerika Serikat, ancaman yang diberikan oleh Godzilla terasa semakin realistis. Pertempuran menjadi lebih ciamik dengan kekuatan militer yang beragam dari Jepang maupun Amerika Serikat.

    Bisa dibilang film ini menjadi kritik terhadap aksi pemerintah Jepang terhadap bencana pada gempa Tohoku. Pada film, pemerintah dikritik lambat bereaksi sehingga menghasilkan bencana yang jauh lebih besar. Yang mana harusnya mitigasi dini perlu dilakukan agar dampak tidak membesar.

    Memaknai Shin Godzilla dalam Wadah “Eksistensi”

    Lupakan sejenak film Godzilla kala ia hadir sebagai pahlawan dalam cerita (kendati dibenci pula) seperti pada Godzilla vs. Biollante (1989), Godzilla vs. King Ghidorah (1991), Godzilla vs. Space Godzilla (1994), Godzilla (2014), Godzilla: King of the Monsters (2019), dll. Sekarang Godzilla kembali lagi ke kodratnya, yaitu seekor makhluk yang berhasrat menghancurkan dunia hanya demi alasan “ingin hidup”.

    Ia dibenci oleh manusia dan dianggap sebagai murka Tuhan atas dosa mereka di dunia. Namun, benarkah berdosa umpama alasannya hanya “ingin hidup”?

    Sebab, Godzilla muncul akibat ulah manusia yang mencemari bumi. Ia menghancurkan mereka karena dirinya tidak tahu mana yang lebih baik selain “menghancurkan”. Sebuah organisme yang tidak berpasangan, seekor diri, dan tidak menahu apapun. Lalu, apa yang “pantas” ia lakukan?

    Sedang, selagi ia tak tahu apapun, manusia berusaha membunuhnya. Pembalasanlah yang hanya ia mengerti.

    Faktanya, tema perihal eksistensi ini tidak tersemat secara eksplisit. Hal itu diungkap dalam lagu yang menjadi “suara” hati Godzilla, Who Will Know (2016). Suara-suara yang “disinyalir” berasal dari lubuk hati terdalam Godzilla coba dituangkan sutradara.

    Lirik-lirik yang disajikan dalam Who Will Know seakan membuat kita bertanya, “sebenarnya siapa dia dan mengapa dia dapat melakukan semua ini kepada dunia?”

    “Keunikan” Shin Godzilla

    Keunikan dari film ini ialah hadirnya tokoh-tokoh dan sudut pandang cerita yang baru.

    Sudut pandang cerita di sini berbeda dengan film-film pada umumnya. Dalam Shin Godzilla, penonton diperlihatkan bagaimana sistem kerja pemerintah Jepang dan upaya untuk berkembang.

    Sudut yang diambil tidak pernah mewakili satu orang, melainkan selalu berubah-ubah. Mulai dari sudut pandang tim Search And Rescue (SAR), pemerintah, korban yang tertimpa bangunan, orang-orang yang kabur, dan banyak lainnya. Semuanya silih berganti, membuat bahaya akan Godzilla semakin nyata dan dipercaya masyarakat.

    Yang paling unik, tentu saja sudut pandang Godzilla dalam eksistensinya yang penuh penderitaan.

    Keberagaman sudut pandang ini tidak diperlihatkan dalam film-film Godzilla sebelumnya. Biasanya saat menonton film besutan Hollywood, yang diperlihatkan hanya pemahaman tokoh sentral belaka. Sehingga ketika menonton film, yang kita ketahui adalah bagaimana peran tokoh dalam memandang sebuah konflik.

    • Kesimpulan

    Media Kaiju adalah sesuatu yang menggencar media mau itu di Film, Tv,dll. Melalui proses/landasan yang tiada kaitannya, menjadi pionir genre Tokusatsu. Pesan-pesan yang tersirat/implisit yang dari zaman dulu sampai sekarang yang akan terus relevan membuktikan bahwa Media Kaiju adalah Media yang masih bisa mengguncang fiksi jepang sampai sekarang.

    • Referensi yang digunakan :