Dalam dekade terakhir, minat untuk menemukan kembali ‘alam’ semakin meningkat, Minat tersebut membuat ‘alam’ Kembali dieksplorasi dan diasosiasikan dengan berbagai isu lingkungan pada zaman ini. Kekhawatiran-keprihatinan baru seperti perubahan iklim, penipisan ozon, dan hilangnya keanekaragaman hayati muncul Alam merupakan tantangan terbesar dalam era arsitektur kontemporer. Untuk mengatasi berbagai tantangan secara berkelanjutan, maka diluncurkan ‘solusi berbasis alam’ yaitu konsep Arsitektur Biofilik. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah metode penulisan kualitatif dengan analisis sintesis dan identifikasi publikasi yang relevan dari beberapa jurnal dan buku. Hasil dari penelitian ini yaitu arsitektur biofilik diklaim berkontribusi terhadap keberlanjutan, mengatasi kurangnya kontak dengan alam, dan mengelola sumber daya alam secara efektif. Tujuan penulisan artikel ini adalah mengidentifikasi kontribusi arsitektur biofilik terhadap tujuan arsitektur berkelanjutan. Melalui artikel ini, diharapkan pembaca dapat memahami dampak dari penggunaan konsep arsitektur biofilik terhadap arsitektur berkelanjutan, sehingga pembaca akan lebih bijak dalam pemilihan tema perancangan yang menjanga tidak merusak alam.
Introduction
Dalam dekade terakhir, minat untuk menemukan kembali ‘alam’ semakin meningkat, didorong oleh ketertarikan dan
keinginan terhadap ‘alam’ serta ambisi untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, sirkularitas, dan ketahanan.
Namun, ‘alam’ adalah istilah yang samarsamar, sulit dipahami, dan diperdebatkan, dan efektivitas ‘alam’ dalam
arsitektur sering menimbulkan perdebatan dan kritik. Salah satu pertanyaan penting adalah bagaimana
mengkonseptualisasikan ‘alam’ sebagai sebuah gagasan, karena ‘alam itu sendiri bukanlah alam: ia adalah sebuah
konsep, sebuah norma, sebuah kenangan, sebuah utopia, sebuah rencana alternatif’ (Beck, 1999, P. 21). Penting juga
untuk mempertimbangkan bagaimana menangani penghijauan secara kritis sebagai alat pemasaran dengan dampak
terbatas dalam mengatasi tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Minat tersebut membuat ‘alam’ Kembali dieksplorasi dan diasosiasikan dengan berbagai isu lingkungan pada zaman
ini. Kekhawatiran-keprihatinan baru seperti perubahan iklim, penipisan ozon, dan hilangnya keanekaragaman hayati
muncul Alam merupakan tantangan terbesar dalam era arsitektur kontemporer
Untuk mengatasi berbagai tantangan secara berkelanjutan, maka Komisi Eropa (2015)meluncurkan ‘solusi berbasis
alam’ dengan serangkaian tindakan yang ‘terinspirasi oleh, didukung oleh atau disalin dari alam’ untuk menyebarkan
berbagai fitur alam dan proses sistem yang kompleks dengan cara yang hemat sumber daya ke beragam wilayah.
Teknologi yang tersedia diperiksa, dan manfaat dari strategi ini diselidiki melalui penilaian kinerja termal, kualitas udara,
isolasi akustik dan pengurangan kebisingan, pengelolaan air hujan perkotaan, dan keanekaragaman hayati.
Konsep biofilik menjelaskan penyebab suatu bangunan dianggap memiliki kinerja yang lebih efektif jika
dibandingkan dengan bangunan lainnya dalam hal keterhubungan dengan alam (Berkebile dkk., 2008). Keterhubungan
alam ini sangat bermanfaat dalam lingkungan hidup, bekerja, belajar, hiburan, dan medis (Abdelal, 2019; Abdelaal dan
Soebarto, 2019;Gray dan Birrell, 2014;Hähn dkk., 2020; Jones, 2013;Mangone dkk., 2017;Peters dan D’Penna,
2020;Totalforti, 2018;Wallmann-Sperlich dkk., 2019). Oleh karena itu, arsitektur biofilik diklaim berkontribusi terhadap
keberlanjutan, mengatasi kurangnya kontak dengan alam, dan mengelola sumber daya alam secara efektif dan efisien.
2.1 Konsep Arsitektur Biofilik
Arsitektur Biofilik adalah ‘afiliasi emosional bawaan manusia terhadap organisme hidup lainnya’, di mana
‘kecenderungan bawaan’ mewakili karakteristik ‘keturunan’; sementara itu, sebagai ‘aturan pembelajaran’, ia
memberikan perspektif yang mencerahkan untuk memahami alam (Wilson, 1993, P. 31). Menurut seorang psikolog dan filsuf Amerika Bernama Erich Fromm pada tahun 1973 dalam bukunya “The Anatomy of Human Destructiveness” yang mengibaratkan biofilia sebagai acuan psikologis manusia yang tertarik pada makhluk hidup. “Seorang naturalis Harvard Dr. Edward O. Wilson, istilah biofilia berfungsi untuk mengibaratkan kenyataan sebagai kecenderungan bawaan manusia untuk fokus pada kehidupan dan prosesnya”, dan untuk ditarik ke alam, untuk merasakan suatu batas untuk itu, cinta, keinginan” (Natalie Angier). Konsep Arsitektur biofilik mendukung gagasan bahwa relasi dengan alam mempunyai peran penting dalam kesehatan manusia, baik fisik maupun mental, membangun hubungan intrinsik antara manusia dan alam (Wilson, 1984). profesor. Samaravicius merangkum biofilia dalam arsitektur, estetika bukan sekedar “menghias” struktur bangunan, namun menerapkan hipotesis biofilia pada desain arsitektur berarti keselarasan dan keseimbangan antara struktur buatan (bangunan) dan lingkungan alam. Gagasan bahwa kontak dengan alam memainkan peran mendasar dalam kesehatan fisik dan mental manusia mencerminkan hubungan yang melekat antara manusia dan alam (Wilson, 1984). profesor. Samaravicius menyimpulkan ketertarikan terhadap kehidupan dalam arsitektur. Estetika lebih dari sekedar “menghias” struktur arsitektur, penerapan hipotesis biofilik pada desain arsitektur berarti keselarasan struktur (bangunan) buatan dengan lingkungan alam.
2.2 Prinsip Arsitektur Biophilic
Prinsip biofilik adalah bagaimana cara membuat pengguna tetap merasa dekat dengan alam meskipun berada
di lingkungan binaan. Prinsip-prinsip tersebut memiliki atributnya masing-masing dan beberapa dari atribut
tersebut dipilih kemudian diterapkan pada fasilitas ini. Menurut Stephen Kellert (2017) seorang ahli ekologi sosial
dan pendukung desain biofilik terkemuka, terdapat enam elemen dasar pada desain biofilik, yaitu environmental
features (fitur lingkungan), natural shapes and form (bentuk natural), restorative patterns and process (pola dan
proses restoratif), light and spaces (pencahayaan ruangan) , place based relationship (hubungan dengan ruang),
dan evolved human-nature relationship (hubungan manusia dengan alam). Dalam hal elemental features, kontak langsung dengan unsur vegetatif di dalam dan sekitar lingkungan binaan merupakan salah satu strategi desain yang paling berhasil untuk membina hubungan antara manusia dan alam. Kehadiran vegetasi dapat mengurangi stres dan meningkatkan kenyamanan. Memperkenalkan ruang hijau ke dalam ruang yang layak huni menambah warna, tekstur, dan rasa ketenangan visual. Kehadiran elemen air meningkatkan pengalaman visual, pendengaran, dan sentuhan. (Amin Sumadio, 2023). Selain itu, elemen karakter lingkungan pada bangunan dapat dicapai melalui pemilihan material ramah lingkungan seperti kayu, bambu, dll. Hal ini juga menunjukkan kontribusi desain biofilik terhadap keterlibatan berulang dan berkelanjutan dengan alam dengan menunjukkan keseimbangan antara lingkungan terbangun dan ekosistem alami.
Prinsip kedua yaitu natural shapes and form (bentuk natural) berfokus pada pengalaman indrawi dengan transisi
dan kontras yang saling melengkapi. Lingkungan alam menunjukkan kompleksitas pada skala yang berbeda-beda.
Variasi bentuk yang beragam ini menjawab kebutuhan manusia akan berbagai bentuk yang terdapat di alam.
Bentuk dan pola biomorfik merupakan referensi simbolik dari alam yang dapat diterapkan pada desain biofilik.
Siluet, tekstur, pola, atau susunan angka yang muncul secara alami di alam adalah keindahan tersendiri.
(Muhammad Samir Fahim, 2023)
Penerapan prinsip restorative patterns and process (pola dan proses restoratif) pada bangunan dengan
menggunakan atribut ruang-ruang transisi dan ruang yang diikat. Evolusi kehidupan manusia selalu memerlukan
pengelolaan lingkungan alam yang perseptual dan beragam, terutama respon terhadap sistem sensorik seperti
penglihatan, suara, penciuman, dan sentuhan. Penting untuk mencari peluang untuk terhubung dengan kekayaan
sistem sensorik yang ditemukan di alam dan lingkungan binaan. Sensasi sentuhan dan visual dapat ditimbulkan
melalui penggunaan bahan, warna, dan tekstur yang berbeda. Di antara prinsip desain, perubahan warna dan
peralihannya dari satu ruangan ke ruangan lain memengaruhi pikiran dan perasaan.
Selain itu, untuk menyesuaikan dengan kebutuhan ruang, aspek seperti arah dan intensitas cahaya datang juga
sangat penting disesuaikan dengan kebutuhan ruang. Berdasarkan prinsip cahaya dan ruang (space lighting), sifat
sifat pencahayaan alami serta cahaya dan bayangan memberikan kebebasan ruang.Ruang sebagai bentuk dapat
diwujudkan sesuai dengan kebutuhan ruang. Cahaya dan bayangan dapat memberikan dampak positif pada pikiran
manusia, dan perubahan kualitas cahaya dapat memberikan perubahan ritme yang menenangkan, meningkatkan
kenyamanan visual sepanjang hari. (Diya Sushilovati Padnya Paramita, 2021)
Arsitektur dan desain lansekap harus mempertimbangkan kondisi geografis dan budaya setempat,
menghadirkan semangat tempat dengan merancang lanskap dan bangunan yang familiar bagi penggunanya, dan
menghindari kesan ketidakhadiran pada bangunan tersebut. Proses aktivitas manusia selaras dengan tempat
terjadinya aktivitas tersebut, sehingga alangkah baiknya jika rancangan arsitektur dapat menciptakan pengalaman
aktivitas yang dekat dengan alam. Hubungan antara pikiran dan tubuh manusia telah dipelajari selama berabad
abad, dan ruang berwujud telah ditemukan menjadi komponen penting dalam pertumbuhan manusia sepanjang
hidup (Amin Sumadyo, 2023). Hal ini berkaitan dengan prinsip hubungan berbasis tempat (relationship with space)
Unsur-unsur tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dan harus didasarkan pada prioritas terpenting dalam
desain biofilik, yaitu hubungan antara manusia dan alam. Dalam desain biofilik, hubungan antara manusia dan alam
dieksplorasi melalui ekstraksi sumber daya alam dan pencegahan bahaya lingkungan dalam pengelolaan dan
restorasi habitat. Hal ini juga dapat mencakup rasa aman dan perlindungan, menyeimbangkan perubahan dengan
ketertiban, menumbuhkan rasa ingin tahu dan eksplorasi, serta membangkitkan rasa pencapaian dan penguasaan
terhadap lingkungan.
2.3 Penerapan Biophilic dalam Arsitektur
Konsep Arsitektur biofilik lebih dari sekedar menambahkan beberapa elemen alami ke lingkungan binaan.
Kompleksitas terorganisir diamati baik di alam maupun lingkungan binaan. Patut dicatat bahwa kompleksitas
yang terorganisir menimbulkan tanggapan positif dari pengguna arsitektur dan lingkungan binaan, seperti yang
dikatakan Profesor. Salingaros mengklaim: “Struktur fisik dunia mempunyai dampak besar terhadap umat
manusia. Tugas penting teori arsitektur adalah menjelaskan dan memprediksi dampak struktur hidup (atau
ketiadaan) terhadap kita.” (Salingaros, 2011)
Nelly Shafik Ramzy (2014) Arsitektur biofilik adalah pendekatan inovatif yang membuka jalan bagi dialog
berbasis alam antara ruang yang dibangun dan hubungan yang melekat pada manusia, di mana bentuk dan pola
alami memainkan peran komposisi kosa kata dan tata bahasa. Dengan pendekatan ini, mengintegrasikan alam ke
dalam lingkungan binaan bukanlah suatu kemewahan namun merupakan investasi ekonomi yang baik dalam
bidang kesehatan dan produktivitas.
Perlu dipahami bahwa desain biofilik tidak boleh disamakan dengan penambahan vegetasi atau penghijauan
pada lingkungan binaan (yang juga penting untuk dipertimbangkan). Desain biofilik sering kali direduksi menjadi
penerapan: dinding hijau, atap hijau, tanaman dan air di lingkungan binaan, dll. Elemen-elemen ini membantu,
namun desain biofilik lebih dari sekedar menggabungkan atau meniru elemen alami dalam lingkungan binaan.
Arsitektur lebih dari sekedar penampilan visual. Aspek visual adalah salah satu dari banyak cara lain yang
membuat arsitektur menarik bagi indra kita.
3. Pembahasan dan Hasil
3.1 Jurnal 1 : Biophilic Design -A Sustainable Approach (Pranjale1, K.Hejiib, 2019)
Pada jurnal 1 yang berjudul ‘Desain Biofilik-Pendekatan Berkelanjutan’ (Pranjale1, K.Hejiib, 2019) menyebutkan
bahwa Tugas Desain Biofilik adalah mengatasi kekurangan praktik bangunan dan lanskap kontemporer dengan
menetapkan kerangka kerja baru untuk pengalaman alam yang memuaskan di lingkungan. Desain biofilik
berupaya menciptakan habitat yang sesuai bagi manusia sebagai lingkungan organik kontemporer yang peduli
kesehatan, kebugaran dan kesejahteraan masyarakat. (Stephen R.Kellert, 2017)
Desain biofilik menambah efisiensi, fungsi dan kekuatan alami teknik lembur. Adaptasi teknik alam tentunya terjadi sebagai akibat dari pembangunan dan konstruksi bangunan yang besar. Penerapan Desain Biofilik dapat mengubah persyaratan lingkungan suatu bangunan atau lanskap dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang, hal ini harus mendukung masyarakat alami yang sehat secara ekologis dan berkelanjutan. Keberhasilan penerapan Desain Biofilik menghasilkan berbagai dampak fisik, mental dan manfaat perilaku. Tiga jenis pengalaman alam menandakan kategori dasar Desain Biofilik. Ini termasuk Pengalaman Langsung dengan Alam, Pengalaman Alam Tidak Langsung, dan Pengalaman Ruang dan Tempat. (Calabrese, 2017)
Konsep biofilik adalah konsep desain yang mengidentifikasi bagaimana dapat direncanakan dan disesuaikan dengan lingkungan alam. Urbanisme biofilik yang menggabungkan alam ke dalam lingkungan perkotaan dapat menangani berbagai jasa ekosistem, termasuk Kualitas Udara, CO2Pengurangan, Manfaat Iklim Mikro,
Pengendalian Banjir dan Kualitas Air, Produksi Pangan dan Manfaat Ekonomi. Misalnya, Singapura adalah kota kompak yang dianggap sebagai model kota Biofilik yang baik, dimana pengembangan kawasan hijau dan bangunan hijau meregenerasi sistem alami kota dan menciptakan ekosistem perkotaan yang mirip dengan struktur aslinya. (Giuseppe T.Cirella). Hal ini dapat dicapai melalui pedoman berikut: (Hampson, 2011)
A. Atap dan dinding hijau (bervegetasi) (digabungkan tanaman merambat dan teralis) Aliran penerangan siang hari (mengacu pada pembukaan saluran air yang terdapat dalam pipa, di bawah jalan atau di bawah lanskap perkotaan).
B. Menciptakan jalan yang layak untuk bepergian, Pepohonan di jalan dan kanopi di atas jalan, Tanaman dan
vegetasi internal untuk bangunan, Taman (dihubungkan dengan koridor) Lahan basah perkotaan yang
dibangun (menggabungkan penangkapan dan pengolahan air hujan dan air limbah).
C. Ruang publik hijau komunal, Air mengalir (termasuk penangkapan dan penyimpanan air, serta pendinginan evaporatif) Penanaman peneduh (penanaman strategis untuk mengurangi suhu internal bangunan di musim panas) Penggunaan cahaya alami dan ventilasi pada bangunan Trotoar hijau (bukan trotoar) Konektivitas dalam ruang hijau dan jalur hijau.
Dari pernyataan di atas, dapat ditarik konklusi bahwa menurut Jurnal 1 : Biophilic Design -A Sustainable
Approach (Pranjale1, K.Hejiib, 2019), kontribusi arsitektur biofilik terhadap arsitektur berkelanjutan adalah :
4. Hasil
Dari analisis diatas, dapat ditarik konklusi bahwa pendekatan arsitektur biophilic menawarkan solusi yang
inovatif dan berkelanjutan untuk menghadapi tantangan lingkungan dan sosial dalam desain bangunan.
Integrasi prinsip-prinsip biophilic, yang menekankan hubungan manusia dengan alam, memiliki dampak positif
yang signifikan pada berbagai aspek keberlanjutan. Beberapa kesimpulan kunci melibatkan:
A. Peningkatan Kesejahteraan Penghuni:
Arsitektur biophilic memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan penghuni
dengan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan fisik dan mental. Integrasi elemen alam,
seperti pencahayaan alami dan pemandangan hijau, dapat meningkatkan produktivitas, kebahagiaan, dan
kualitas hidup secara keseluruhan.
B. Efisiensi Energi dan Penggunaan Sumber Daya yang Bertanggung Jawab:
Desain biophilic mendukung tujuan arsitektur berkelanjutan dengan mengoptimalkan penggunaan
energi melalui pencahayaan alami dan ventilasi, serta memanfaatkan material konstruksi yang ramah
lingkungan. Hal ini menciptakan bangunan yang lebih efisien dari segi energi dan lebih berdaya tahan
terhadap perubahan iklim.
C. Koneksi dengan Lingkungan Lokal:
Arsitektur biophilic merangsang koneksi manusia dengan lingkungan lokalnya, mendorong
penggunaan sumber daya lokal, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi di tingkat komunitas. Ini
menciptakan bangunan yang lebih terintegrasi dengan konteks lokal dan membangun hubungan yang
lebih positif antara manusia dan alam.
D. Pengalaman Penghuni yang Lebih Kaya:
Konsep biophilic memberikan penghuni pengalaman yang lebih kaya dan bermakna melalui desain
yang memperhatikan aspek sensorik, estetika alam, dan adaptabilitas ruang. Hal ini menciptakan
lingkungan yang lebih dinamis dan merespons kebutuhan dan preferensi penghuni.
E.Daya Dukung Lingkungan yang Berkelanjutan:
Penerapan prinsip-prinsip biophilic memberikan kontribusi positif terhadap tujuan keberlanjutan
melalui pengurangan jejak karbon, penggunaan material yang bertanggung jawab, dan penciptaan
lingkungan binaan yang mendukung ekosistem dan biodiversitas.
- Kesimpulan
Dengan demikian, dapat ditarik konklusi bahwa arsitektur biophilic merupakan pendekatan integral yang dapat
meningkatkan tujuan arsitektur berkelanjutan, menciptakan bangunan yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi jugamemberikan nilai tambah signifikan bagi penghuni dan masyarakat setempat. Desain biofilik memiliki kontribusi yangbesar terhadap arsitektur berkelanjutan dalam segala aspek. Desain Biofilik lebih bertujuan memulihkan hubungan kita dengan alam dibandingkan mengadopsi metodologi baru untuk merancang lingkungan binaan. Oleh karena itu, pencapaiannya memerlukan perubahan mendasar dalam kesadaran manusia yang mengarah pada etika tanggung jawab baru untuk merawat bumi dan hubungan kita dengan bumi - Referensi
i. Al-musaed A (2004) Intelligent sustainable strategies upon passive bioclimatic houses. Arkitektskole I Aarhus, Aarhus, p 115
ii.Al-musaed A (2007) Saleable passive house (marketing activities in the context of passive sustainable principles),building low energy cooling and advanced ventilation technologies the 21st century. In: PALENC 2007, the 28th AIVC conference, Crete Island
iii. Kaffah, M. F., Firzal, Y., & Susilawaty, M. D. (2020). Penerapan Prinsip Biophilic Design pada Perancangan Apartemen Soho di Kota Pekanbaru. Jurnal Arsitektur ALUR–Vol, 3(1).)
iv . Justice, R. (2021). Konsep Biophilic Dalam Perancangan Arsitektur. Jurnal Arsitektur ARCADE, 5(1), 110-119.
v. Ischak, M., & Walarentina, R. (2023). STUDI IMPLEMENTASI ARSITEKTUR BIOPHILIC PADA BANGUNAN COMMERCIAL MIXED-USE. Jurnal Rekayasa Lingkungan Terbangun Berkelanjutan, 1(2), 237-240.
vi. Ismoyo, W. T. (2023). Perancangan Edupark Dengan Pendekatan Arsitektur Biophilic Di Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
vii. Almusaed, A. (2010). Biophilic and bioclimatic architecture: analytical therapy for the next generation of passive sustainable architecture. Springer Science & Business Media.
viii. Zhong, W., Schröder, T., & Bekkering, J. (2022). Biophilic design in architecture and its contributions to health, well-being, and sustainability: A critical review. Frontiers of Architectural Research, 11(1), 114-141.
ix. Pranjale1, K.Hejiib, (2019). Biophilic Design -A Sustainable Approach
x. Harysakti, A., & Ngini, G. (2021). STRATEGI PERANCANGAN ARSITEKTUR BERKELANJUTAN: PENDEKATAN BIOFILIK. JURNAL PERSPEKTIF ARSITEKTUR, 16(2), 54-61.
xi. Karima, M., Firzal, Y., & Faisal, G. (2020). Penerapan prinsip desain arsitektur biofilik pada Riau Mitigation and Disaster Management Center. ARTEKS: Jurnal Teknik Arsitektur, 5(2), 307-316.