Komunikasi adalah penyampaian informasi, ide, pikiran, perasaan, atau pesan antar individu dan kelompok dengan melalui berbagai media seperti, lisan, tulisan, gerak tubuh, bahasa, dan kata. Tujuan dari komunikasi adalah untuk memahami pemahaman antar orang lain agar tidak terjadi kesalahpahaman. Komunikasi terbagi menjadi dua jenis yaitu, komunikasi verbal, merupakan proses penyampaian informasi, ide, pikiran, perasaan, atau pesan menggunakan kata melalui lisan atau tulisan seperti berbicara, mendengar, membaca, dan menulis, Komunikasi non verbal merupakan proses penyampaian informasi, ide, pikiran, perasaan, atau pesan tanpa menggunakan kata melalui ekspresi wajah, gerak tubuh, nada suara, situasi dan kondisi, dan sebagainya. Pada kebiasaannya komunikasi non verbal dilakukan tanpa disadari oleh manusia. Tetapi baik verbal maupun non verbal, keduanya memiliki peran yang sangat penting bagi manusia
Pada Budaya Jepang ada yang disebut dengan Chinmoku (沈黙), merupakan sebuah budaya komunikasi masyarakat jepang yang mengutamakan diam atau keheningan. Secara etimologi Chinmoku terdiri dari Chin (沈) melambangkan sesuatu yang sedang tenggelam, terendam, atau menjadi tenang. Dan Moku (黙) yang mengacu pada keadaan diam atau tidak berbicara. Termasuk kedalam komunikasi non verbal karena biasanya melalui gerak tubuh, ekspresi wajah, dan postur tubuh. Walaupun minim kata tetapi chinmoku dapat dipandang sebagai keterampilan komunikatif, bukan sekadar bentuk kekosongan
antara kata-kata yang diucapkan. Dalam peribahasa Jepang yang berbunyi “Chinmoku wa Kin, Yuuben wa Gin” yang artinya diam lebih baik daripada fasih berbicara. Chinmoku memiliki beberapa karakteristik, yaitu menjaga keharmonisan/wa (和), mempertimbangkan respon, menghargai keheningan. Setiap orang memandang keheningan dengan cara yang berbeda-beda, bergantung pada nilai-nilai budaya yang menentukan bagaimana keheningan ditafsirkan, kita terutama budaya barat sering menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak nyaman, canggung, menakutkan. Chinmoku dalam komunikasi masyarakat Jepang memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda, yang berasal dari nilai-nilai dasar Jepang budaya yang menentukan bagaimana keheningan muncul dan berfungsi dalam komunikasi masyarakat Jepang. Dalam percakapan sehari-hari, pertemuan bisnis, bahkan di ruang kelas sekolah, keheningan sangat umum terjadi. Ada sejumlah alasan mengapa keheningan terjadi dikomunikasi masyarakat Jepang dan penyebabnya dapat digolongkan menjadi dua faktor utama yaitu, sejarah dan dominasi kelompok di kehidupan masyarakat Jepang.
Faktor Sejarah
Orang Jepang telah lama memperlakukan chinmoku sebagai kebajikan yang mirip dengan “kejujuran.” Kata haragei dan ishin denshin melambangkan sikap orang Jepang terhadap interaksi manusia, dalam hal ini yang pertama berarti saling pengertian secara implisit, yang kedua menunjukkan bahwa orang dapat berkomunikasi satu sama lain melalui telepati. Jadi, apa yang penting dan benar di Jepang akan terjadi sering kali ada dalam keheningan, bukan dalam ekspresi verbal. Sikap ini berakar kuat pada cara berpikir orang Jepang yang dikenal dengan istilah uchi-soto atau dualitas lahir dan batin. Orang Jepang percaya bahwa kebenaran hanya terletak di alam batin yang secara simbolis terletak di hati atau perut. Sebaliknya, komponen diri seperti wajah, mulut, kata-kata yang diucapkan dikaitkan dengan kepalsuan moral. Kejujuran, ketulusan, keterusterangan, atau keandalan dikaitkan dengan sikap diam. Jadi, orang yang sedikit bicara lebih dipercaya daripada orang yang banyak bicara. Dalam esai tahun 1933 yang berjudul In Praise of Shadows karya novelis Jepang Junichiro Tanizaki percaya bahwa orang Jepang adalah orang-orang yang dirancang untuk hidup secara estetis dalam bayangan, sebuah dunia di mana tidak adanya kebisingan mengundang tingkat introspeksi yang kuat. Selain itu Buddhisme Zen diperkirakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan chinmoku di Jepang, praktik Zen dipahami pada tingkat intuitif yang lebih dalam melalui praktik terus-menerus yang menekankan pada meditasi, ketenangan, dan mengosongkan pikiran. Praktik Zen dirancang untuk mengajarkan kebenaran tidak dapat dijelaskan secara verbal tetapi hanya dapat dalam keheningan. Agama Buddha yang berkembang di Jepang pada abad ke-7, menekankan “enam akar persepsi:” penglihatan, suara, penciuman, rasa, sentuhan, dan pikiran. Keheningan memungkinkan akar persepsi ini berkembang. Walaupun Jepang saat ini dianggap sebagai salah satu negara yang paling tidak religius di dunia, agama Buddha masih memiliki pengaruh budaya yang besar sekali di Jepang.
Faktor Kesadaran Kelompok
Jepang adalah negara homogen dan suka berkelompok dalam kehidupan sehari hari yang dilambangkan dengan pepatah “Paku yang menonjol akan dihantam” 「出る杭は打たれる」(Deru kui wa utareru). Dimana masyarakat Jepang biasanya mengidentifikasi diri mereka terutama sebagai anggota kelompok tertentu, chinmoku memegang peran yang sangat penting dalam keharmonisan/wa (和) dan menghindari konflik langsung, karena orang Jepang memiliki karakteristik lebih mementingkan keharmonisan dan kedamaian dalam berinteraksi terutama dalam kelompok, orang Jepang juga cenderung tidak menyukai konflik. Jika dalam suatu kelompok ada yang berbeda pendapat mereka lebih memilih diam untuk menghindari perdebatan dan konflik, orang yang bersikeras pada pendapatnya sebelum kelompok mencapai kesepakatan dianggap egois, selain itu juga memamerkan kemampuan atau ilmu yang dimiliki secara terbuka memberi kesan yang buruk pada orang lain dan orang-orang seperti itu dianggap tidak bijaksana, tidak sopan, dan tidak dewasa. Karena seperti itu di Jepang sangat penting untuk melihat orang mana yang lebih tinggi atau lebih rendah posisinya, usia, jenis kelamin, status pekerjaan, dan sebagainya, tidak sopan jika seorang bawahan berbicara secara terbuka dan menentang seseorang yang berpangkat lebih tinggi.
Chinmoku Dalam Budaya Jepang
Antropolog Jepang yang bernama Takie Sugiyama Lebra mengembangkan konsep lebih jauh lagi dalam esainya yang berjudul The Cultural Signifikansi Keheningan dalam Komunikasi Jepang, “Penanaman budaya keheningan, paling baik diwujudkan dalam musik tradisional, di mana diam yang disebut ma adalah pusatnya sementara suara memainkan peran tambahan dalam menandai ma. Hal yang sama pentingnya dalam lukisan Jepang adalah kesadaran pelukis akan ekspresi ruang kosong dari keheningan baik di dalam atau di luar bingkai gambar, shodo (kaligrafi) dan kado (merangkai bunga) menekankan ketenangan dan suasana serius di mana sikap terkendali dalam keheningan menuntun pada pengembangan keterampilan dan keberhasilan, tarian teater, pertunjukan kabuki dan noh, atau film, gerakan diam dapat menunjukkan puncak intensitas emosional. Sikap terkendali yang terkandung dalam keheningan mengarahkan pada perkembangan keterampilan dan kesuksesan, sastra dan puisi jepang haiku yang menggunakan ringkasan dan kesederhanaan untung mengutarakan emosi dan gambaran yang sangat mendalam. Pembaca terlibat dalam imajinasi mereka dan menemukan maknanya sendiri yang tersirat. Upacara minum teh di Jepang sangat penting dan menjadi ikon wisata memperlihatkan keheningan dan dengan banyaknya diam tanpa komunikasi dan seni minum teh. Taman tradisional Jepang dirancang dengan mempertimbangkan keheningan, mengajak yang melihat untuk terlibat dalam keheningan dan ketenangan. Taman-taman di Jepang lebih dari sekedar tempat keindahan tetapi juga tempat perlindungan di mana seseorang dapat terhubung secara mendalam dengan alam melalui keheningan. Bentuk komunikasi dan budaya diam di Jepang melalui kata-kata dan keindahan pada tingkat emosional yang mendalam. Agama Buddha mengundang banyak kebudayaan yang mengandung chinmoku seperti meditasi Zazen wilayah para biksu yang menjalani kehidupan pertapa, praktik ini menghabiskan waktu lama setiap hari dengan duduk dalam posisi tenang membawa yang melihat kedalam suasana yang tenang dan hening, Shinrin-yoku, atau “mandi di hutan,” adalah tradisi biksu Jepang menikmati kicauan burung di atas dan suara patahan ranting pohon yang diinjak di bawah menikmati keheningan dengan angin yang menerpa, cahaya matahari pagi, dan embun di pagi hari.
Fungsi Chinmoku
Diam memiliki banyak sekali arti dan makna, kita harus bisa mengetahui kapan orang diam saat komunikasi, bisa karena orang tersebut tidak tau atau tidak ada yang mau diutarakan, atau orang tersebut ingin mengutarakan sesuatu tetapi memilih tetap diam untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan. Kebanyakan orang Jepang menggunakan chinmoku untuk keharmonisan, meskipun ingin mengatakan sesuatu mereka mungkin tidak mengatakannya, mengungkapkan semua yang ada dalam pikiran mereka dan mungkin meninggalkan niat mereka yang sebenarnya, ini dikenal sebagai enryosasshi(遠慮・察し). Enryo(遠慮)adalah ungkapan yang diutarakan oleh pembicara secara tersirat atau samar dengan memikirkan keadaan fisik dan psikologis lawan bicara, diam merupakan salah satu bentuk ungkapan tersirat atau samar. Sedangkan Sasshi(察し)adalah kepekaan lawan bicara dalam memahami maksud tersirat tersebut, bahkan sebelum pembicara mengatakannya. Dengan komunikasi sasshi ini masyarakat Jepang dapat memahami maksud dan tujuan dari keterdiaman lawan bicaranya. Enryo yang membuat orang Jepang tampak diam, samar, dan canggung saat berkomunikasi dengan atasan, orang asing, dan orang-orang dari budaya yang berbeda. Dalam budaya Jepang konteks tinggi, komunikasi verbal terutama bentuk komunikasi negatif seperti kemarahan, kebencian, penolakan, ketidak sepakatan, dan pembangkangan sangat dihindari. Ide dan perasaan yang mungkin akan menyakiti orang lain atau merugikan orang lain diungkapkan dengan hati-hati, hanya ide-ide yang dinilai aman dan jelas yang dianggap aman diperbolehkan untuk diungkapkan.
Chinmoku bisa terjadi diberbagai situasi dalam kehidupan sehari hari orang Jepang tidak hanya terjadi di depan umum tetapi juga dalam interaksi pribadi seperti khususnya dalam hubungan suami istri. Suami istri di Jepang kebanyakan tidak menggunakan komunikasi verbal secara terang-terangan, mereka berusaha memahami antara satu sama lain melalui komunikasi non verbal terutama ketika ingin mengutarakan emosi yang lembut, mencerminkan perasaan malu yang disebabkan oleh kedekatan dan keintiman. Chinmoku juga berfungsi untuk mengatasi kesulitan atau situasi rumah tangga dengan cara yang tenang dan tidak tergesa-gesa sehingga keharmonisan tetap terjadi antara satu sama lain. Ada pandangan dimana diamnya seorang perempuan akan menunjukkan ekspresi yang lembut, penuh kasih sayang, dan sikap feminim yang ideal. Perempuan Jepang biasanya diam dan tidak melakukan kontak mata ketika berbicara dengan orang lain, kecuali berbicara dengan wanita yang sebaya dan memiliki derajat yang sama dengannya.
Di sisi lain, walaupun banyak masyarakat Jepang menggunakan chinmoku untuk menjaga keharmonisan dan konflik, chinmoku tetap memiliki dampak negatif dalam komunikasi seperti menimbulkan berbagai masalah karena kesalahpahaman karena kenyataannya bukan hal yang aneh jika orang merasa jengkel dan tidak sabar ketika mereka tidak dapat memahami satu sama lain. Chinmoku juga dipakai oleh masyarakat Jepang untuk menyakiti hati seseorang atau menjaga jarak dengan seseorang, ketika kesalahpahaman terjadi mereka tidak akan mengungkapkannya secara langsung melainkan hanya diam dan mengabaikan seperti mengintimidasi lawan bicara. Karena chinmoku banyak masyarakat Jepang kehilangan rasa empati dan kepedulian seperti disaat mereka mengetahui ada orang yang sedang dibuly atau terjadi pelecehan seksual di tempat umum ataupun secara diam diam, mereka akan memilih diam tutup mulut karena takut akan terbawa masalah. Bagi pemerintah dan orang yang memiliki jabatan tinggi budaya masyarakat Jepang chinmoku ini sangat menguntungkan untuk melindungi posisi, jabatan, nama baik, dan kejahatan yang dilakukan. Seperti jika ada kasus pembullyan antar siswa di sekolah, guru dan kepala sekolah memilih untuk diam tidak mengkomunikasikan secara langsung dengan orang tua siswa yang bersangkutan untuk melindungi jabatan dan nama baik sekolah, sikap ini mencerminkan nilai Jepang yang disebut “kusai mono niwa futa”.
Chinmoku tentu saja menjadi masalah dan penghambat lintas budaya jepang. Terkadang antar orang Jepang saja sulit untuk mengartikan dan memaknai chimonku, ini menjadi masalah yang serius bagi jepang untuk berkomunikasi dengan orang-orang asing untuk memahami antar budaya. Masyarakat Jepang harus bisa memposisikan diri dan berfikir bahwa tidak semua orang di dunia ini sama seperti dirinya. Diamnya orang Jepang dapat mengisaratkan berbagai hal seperti pertimbangan, rasa simpati, kesopanan, persetujuan, kesabaran, rasa malu, kebencian, dan intimidasi, hal tersebut akan membuat bingung orang asing yang khususnya tidak memiliki budaya tersebut, karena terkadang sikap orang jepang dan negara lain sangat berlawanan. Secara umum terutama orang Barat menggunakan komunikasi verbal untuk mengutarakan emosi dan pendapatnya secara langsung dan terbuka. Banyak negara luar yang menganggap chinmoku Jepang sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu, berbeda dengan budaya barat di Barat lebih menekan pada individual sehingga waktu yang dihabiskan dalam komunikasi tidak langsung mungkin dianggap tidak terlalu produktif dan efektif. Tetapi dalam beberapa waktu orang Jepang akan menanyakan hal-hal tertentu yang bersifat pribadi seperti usia atau status seseorang, ini merupakan budaya Jepang yang terbiasa untuk bergantung kepada orang lain dan informasi seperti tersebut perlu untuk dekat dengan orang lain. Dalam budaya luar terutama Barat menanyakan hal tersebut dianggap tidak sopan karena menganggapnya sebagai privasi. Ada banyak jumlah budaya dan perbedaan gaya komunikasi orang dan mungkin tidak menyadarinya akan menilai atau mengkritik orang lain berdasarkan nilai atau standar mereka sendiri, ini bisa menjadi salah satu kendala yang paling menyusahkan
pemahaman antar budaya.
Kesimpulan
Komunikasi adalah cara penyampaian informasi, ide, pikiran, dan perasaan antara individu dan kelompok melalui berbagai media, seperti lisan, tulisan, dan gerakan tubuh. Tujuan komunikasi adalah agar orang bisa memahami satu sama lain dan menghindari kesalahpahaman. Komunikasi dibagi menjadi dua jenis yaitu verbal dan non-verbal.Komunikasi verbal menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tulisan, sementara komunikasi non-verbal menyampaikan informasi tanpa kata, keduanya memiliki peran penting dalam interaksi manusia. Di Jepang, terdapat budaya komunikasi yang disebut Chinmoku, yang berarti keheningan. Istilah ini mengandung arti bahwa diam dapat menjadi bentuk komunikasi yang efektif. Dalam peribahasa Jepang, ada ungkapan yang menunjukkan nilai keheningan: “Chinmoku wa Kin, Yuuben wa Gin,” yang berarti diam lebih baik daripada banyak bicara. Chinmoku memiliki karakteristik seperti menjaga keharmonisan dan menghargai keheningan. Dalam budaya Jepang, keheningan seringkali dianggap sebagai kebajikan dan memiliki makna yang dalam.
Faktor sejarah dan dominasi kelompok memainkan peran penting dalam penerimaan Chinmoku. Orang Jepang menganggap keheningan sebagai kebenaran yang lebih dalam daripada kata-kata, berakar dari cara berpikir uchi-soto atau dualitas antara lahir dan batin, mereka percaya bahwa kejujuran dan ketulusan dapat ditemukan dalam keheningan. Selain itu, dalam situasi kelompok, orang Jepang menjaga keharmonisan dan menghindari konflik dengan memilih untuk diam dalam perbedaan pendapat, hal ini mencerminkan budaya yang mementingkan kesatuan dan menghormati pihak yang lebih tinggi dalam struktur sosial.
Chinmoku juga terdapat dalam banyak sekali budaya tradisonal ataupun modern Jepang, seperti musik, lukisan, shodo kado, kabuki, noh, haiku, upacara minum teh, taman, dan bahkan budaya yang diturunkan dari biksu buddha. Diam memiliki banyak makna dalam komunikasi, Banyak orang Jepang menggunakan chinmoku untuk menciptakan keharmonisan. Meskipun mereka ingin mengungkapkan sesuatu, mereka mungkin memilih untuk tidak mengatakannya, yang dikenal sebagai enryo. Enryo melibatkan komunikasi yang tersirat, sementara sasshi adalah kemampuan lawan bicara untuk memahami maksud tersebut sebelum diungkapkan. Orang Jepang sering kali tampak diam dan canggung ketika berbicara dengan atasan atau orang asing. Budaya Jepang cenderung menghindari komunikasi negatif, seperti kemarahan, untuk tidak menyakiti perasaan orang lain. Namun, chinmoku juga bisa berdampak negatif, seperti menyebabkan salah paham dan ketegangan karena orang tidak bisa memahami satu sama lain. Dalam situasi-situasi sulit, orang Jepang mungkin memilih untuk diam sebagai cara untuk menjaga keseimbangan. Meskipun chinmoku mendukung keharmonisan, ini juga membuat banyak orang kehilangan rasa empati terhadap situasi yang lebih serius seperti perundungan. Chinmoku menjadi tantangan dalam komunikasi lintas budaya, membuat orang asing kesulitan memahami makna diam orang Jepang. Berbeda dengan budaya Barat yang lebih terbuka dalam ekspresi, orang Jepang cenderung mengandalkan interpretasi tersirat. Hal ini menciptakan kesulitan dalam komunikasi antar budaya, sehingga penting untuk memahami perbedaan ini agar dapat berkomunikasi dengan baik.
Referensi
- https://deeperjapan.com/journal/in-praise-of-silence-japans-ancient-relationship-to-the-absence-of-noise
- https://mahasiswaindonesia.id/chinmoku-konsep-diam-beragam-makna-dalam-komunikasi-jepang/#google_vignette
- https://www.tanukistories.jp/post/silent-communication-in-japan
- THE JAPANESE MIND Understanding Contemporary Japanese Culture (Roger J. Davies & Osamu Ikeno)