Kadang ide usaha datang dari tempat yang nggak terduga misalnya dari TikTok. Dari sekadar menonton video jajanan viral ala Korea dan Jepang, aku dan teman-teman mulai terpikir, “kenapa nggak coba bikin sendiri aja?” Awalnya cuma iseng, cuma obrolan ringan sambil scroll video dan nonton orang lain masak. Tapi dari sana, rasa penasaran muncul. Kami mulai ngebayangin gimana kalau jajanan ala Korea dan Jepang itu bisa kami bikin sendiri, dengan bahan yang lebih sederhana tapi tetap menggoda? Akhirnya, dari iseng itu kami mulai serius merintis usaha kecil-kecilan yang menjual sushi dan kimbab versi kami sendiri.
Usaha ini kami beri nama Kitasaca Shusi. Nama ini bukan sekadar asal comot, tapi gabungan dari nama kami teman-teman yang ikut terlibat dalam usaha ini. Buat kami, nama itu jadi identitas, jadi pengingat bahwa usaha ini bukan milik satu orang, tapi milik bersama. Kami memilih bahan-bahan yang gampang didapat dan disukai banyak orang, seperti telur, sosis, nugget, sayuran, dan crab stick. Semuanya dibungkus dengan nasi dan rumput laut, diberi saus racikan kami sendiri yang rasanya gurih, pedas, dan bikin nagih. Harganya juga kami buat semurah mungkin, mulai dari Rp2.000 sampai Rp5.000 per potong. Kenapa segitu murah? Karena kami tahu target utama kami adalah teman-teman mahasiswa, dan mahasiswa pasti mikir dua kali sebelum beli makanan yang mahal. Kami sendiri juga mahasiswa, jadi kami paham betul gimana rasanya pengen jajan tapi harus hemat.
Sistem penjualannya pun kami buat fleksibel. Untuk teman-teman dekat, kami membuka pre-order via chat. Mereka tinggal pilih menu dan jumlahnya, dan kami buatin sesuai pesanan. Tapi buat pembeli umum, kami lebih sering jualan langsung di tempat-tempat strategis seperti event kampus atau lokasi ramai saat weekend. Strategi ini cukup efektif karena hemat biaya operasional dan tetap menjangkau banyak orang. Dengan sistem ini, kami bisa menyesuaikan jumlah produksi dengan permintaan, dan itu membantu kami mengurangi risiko makanan terbuang.
Tapi di balik semua proses itu, ada satu hal penting yang belum kami lakukan, yaitu branding. Iya, branding. Kata yang sering banget disebut di kelas kewirausahaan, tapi jujur aja, awalnya kami belum terlalu paham apa maksud sebenarnya. Kami belum punya logo resmi, belum aktif di media sosial, belum punya packaging khusus, apalagi tagline atau warna identitas. Semuanya masih berwujud niat. Tapi justru karena itu, aku ingin menulis artikel ini sebagai catatan awal tentang bagaimana kami memulai perjalanan branding dari nol.
Dari pengalaman kecil ini, aku mulai belajar bahwa branding itu bukan cuma soal tampilan luar. Branding lebih dalam dari sekadar logo lucu atau kemasan menarik. Dalam buku Kotler dan Keller (2016), branding didefinisikan sebagai “the process of designing and building a brand and managing brand equity.” Artinya, branding adalah proses mendesain dan membangun merek sekaligus mengelola nilai dari merek tersebut. Tapi kalau ditanya lebih jauh, menurutku branding juga soal bagaimana kita menciptakan persepsi di benak pembeli. Bukan cuma biar mereka kenal nama produk kita, tapi juga biar mereka merasa terhubung, merasa percaya, dan punya alasan buat balik lagi beli.
Contohnya, kenapa banyak orang mau beli kopi yang lebih mahal dari brand tertentu padahal di luar sana ada kopi instan yang harganya jauh lebih murah? Karena mereka nggak cuma beli kopi, mereka beli suasana, beli cerita, beli rasa percaya. Mereka beli nilai. Nah, itulah yang disebut sebagai brand value nilai yang dirasakan konsumen, bukan sekadar harga jual.
Di era digital seperti sekarang, branding jadi makin penting. Satu produk bisa viral hanya karena tampilannya unik atau ceritanya menyentuh. Tapi viral bukan tujuan utama kami. Yang kami kejar adalah kepercayaan. Kami ingin ketika orang melihat Kitasaca Shusi, mereka nggak cuma mikir, “Oh ini sushi murah,” tapi lebih dari itu. Mereka tahu bahwa ini produk yang dibuat dengan semangat, dengan kerja sama, dan dengan cerita di baliknya. Mungkin itu bisa jadi daya tarik tersendiri. Cerita bahwa ini bukan produk pabrikan, tapi hasil tangan-tangan mahasiswa yang lagi belajar mandiri.
Branding juga bukan pekerjaan instan. Nggak bisa dibentuk dalam sehari dua hari. David A. Aaker (1996) bilang bahwa branding melibatkan empat elemen utama: brand identity, brand meaning, brand response, dan brand relationship. Semuanya saling terhubung. Kami harus tahu siapa diri kami sebagai merek, apa makna yang ingin kami sampaikan, bagaimana konsumen merespons produk kami, dan bagaimana kami menjaga hubungan jangka panjang dengan mereka. Itu semua butuh proses.
Proses itu mulai kami jalani pelan-pelan. Kami mulai dengan bikin logo sederhana di Canva. Warnanya cerah, tipenya fun, dan menggambarkan keceriaan khas mahasiswa. Kami juga mulai mikir konten untuk TikTok dan Instagram. Bukan konten jualan murni, tapi lebih ke behind the scenes. Proses bikin sushi, cerita lucu saat salah potong, momen rame saat jualan, dan ekspresi pembeli pertama kami. Konten kayak gitu justru lebih relatable dan bisa membangun kedekatan emosional. Selain itu, kami juga mulai eksperimen dengan kemasan. Kami coba pakai kertas nasi yang dilapisi plastik bening, ditempeli stiker nama brand, dan dikasih pesan kecil seperti “Terima kasih sudah beli!” Semua itu kami buat sendiri, manual, tapi dari hati.
Selain memikirkan konten dan tampilan visual, kami juga mulai mencoba memahami audiens kami lebih dalam. Siapa sih sebenarnya pembeli potensial Kitasaca Shusi? Awalnya kami kira semuanya adalah mahasiswa. Tapi setelah beberapa kali jualan di event, kami sadar ternyata banyak juga orang tua dan anak-anak yang tertarik. Mereka penasaran, tanya-tanya, bahkan ada yang datang kembali. Dari situ kami mulai mikir, mungkin segmen pasar kami lebih luas dari yang kami kira. Ini pelajaran penting karena ternyata branding juga erat kaitannya dengan siapa target pasarnya. Kami jadi lebih sadar untuk menggunakan bahasa yang lebih umum saat promosi, dan memastikan visual produk kami nggak terlalu ‘anak muda banget’, biar bisa diterima lebih luas.
Kami juga pernah punya ide untuk membuat varian menu baru, tapi belum kami realisasikan karena masih dalam tahap eksperimen. Tapi dari situ, kami mulai memahami bahwa branding juga bisa membantu dalam inovasi produk. Kalau brand kami sudah kuat, konsumen akan lebih terbuka menerima varian baru, karena mereka sudah percaya. Sama seperti ketika brand makanan besar mengeluarkan rasa baru, banyak orang langsung tertarik coba, karena ada rasa penasaran yang dibangun dari kepercayaan sebelumnya. Meskipun kami masih kecil, tapi belajar dari brand besar tetap penting sebagai inspirasi.
Menariknya, sejak kami mulai serius merancang branding, ada banyak hal yang terasa lebih terarah. Kami jadi punya alasan untuk mendokumentasikan proses produksi, membuat konten yang lebih rapi, dan berpikir dua kali sebelum posting sesuatu. Kami mulai menyusun folder khusus untuk menyimpan foto produk, testimoni pembeli, hingga catatan keuangan sederhana. Semua itu mungkin terdengar sepele, tapi perlahan membentuk kebiasaan profesional yang sebelumnya belum kami miliki. Branding ternyata bukan cuma soal tampil keren di depan, tapi juga membentuk kebiasaan rapi di balik layar.
Kami juga diskusi soal kemungkinan kerjasama ke depan. Misalnya, bagaimana kalau suatu saat kami ingin menitipkan produk kami di kantin kampus, atau di warung kopi teman? Bagaimana caranya agar produk kami tetap punya ciri khas meskipun dijual orang lain? Di sinilah branding berperan besar. Kalau kemasan kami kuat, logo kami mudah dikenali, dan cerita di balik produk kami jelas, maka kemungkinan untuk berkembang akan lebih besar. Karena mitra pun akan lebih percaya kalau melihat kami serius membangun identitas brand, bukan sekadar jualan dadakan.
Yang paling membekas dalam proses ini adalah rasa percaya diri yang mulai tumbuh. Di awal, kami sempat ragu untuk menyebut diri kami ‘pengusaha’ atau ‘brand’. Tapi setelah melalui berbagai proses, mulai dari produksi, jualan, diskusi, gagal, lalu bangkit lagi, akhirnya kami berani bilang, ya kami sedang membangun brand kami sendiri. Meski kecil, meski masih dalam tahap belajar, tapi usaha ini nyata. Dan itu membuat kami lebih semangat, karena ternyata rasa memiliki itu tumbuh dari proses, bukan dari hasil langsung.
Buatku pribadi, pengalaman membangun Kitasaca Shusi ini jadi salah satu pelajaran paling berharga selama kuliah. Aku belajar cara kerja tim, mengelola waktu, berkomunikasi dengan pembeli, dan menghadapi tantangan nyata di lapangan. Lebih dari itu, aku belajar untuk berani memulai meski belum sempurna. Branding yang saat ini masih berwujud niat perlahan berubah jadi langkah nyata. Kami mulai dari hal-hal kecil, dari apa yang kami bisa, dan melangkah setahap demi setahap.
Aku tahu perjalanan ini masih jauh dari selesai. Bahkan mungkin, ini baru permulaan. Tapi menurutku, di sinilah letak keindahan sebuah proses wirausaha. Di masa-masa awal yang penuh percobaan, salah strategi, tawa, dan juga lelah. Setiap produk yang kami jual adalah bukti bahwa kami mencoba. Setiap pembeli yang datang, kami anggap sebagai teman yang ikut mendukung mimpi kecil kami. Dan setiap langkah kecil menuju branding yang lebih baik, kami jalani dengan semangat, bukan karena ingin cepat sukses, tapi karena ingin belajar lebih banyak.
Kami tidak tahu akan sejauh apa Kitasaca Shusi melangkah. Mungkin akan tumbuh jadi usaha besar, mungkin juga tetap kecil tapi penuh makna. Tapi kami tahu satu hal kami berjalan bersama. Kami memulai dengan hati. Dan mungkin, itu juga bagian penting dari branding. Bukan sekadar menjual produk, tapi menyampaikan rasa.
Referensi:
Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing Management (15th ed.). Pearson.
Aaker, D. A. (1996). Building Strong Brands. The Free Press.