Kepatuhan Perpajakan untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

Negara berwenang dalam pemungutan pajak pada rakyatnya karena terdapat justifikasi (pembenaran). Justifikasi tersebut terdapat dalam Undang-undang Negara yang menjadi dasar negara untuk memiliki wewenang memungut pajak pada rakyatnya. Justifikasi timbul berdasarkan pada adanya asas pemungutan pajak yang mencakup asas keadilan, asas yuridis, asas ekonomis, dan asas finansial.

Pemerintah menetapkan Kebijakan Perpajakan untuk pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagai usaha dalam mendorong Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela (Voluntary Tax Compliance) dan mendorong kontribusi realisasi dalam penerimaan pajak dari sektor UMKM. Kebijakan ini berupa aplikasi Presumptive Regim Models dalam perpajakan, atau merupakan pendekatan pengenaan pajak untuk Wajib Pajak yang berada pada level perekonomian menengah kebawah dan memiliki kemampuan yang kurang memadai dalam pengelolaan proses administrasi pencatatan dan proses pembukuan. Rancangan pengenaan pajak ini bertujuan untuk perolehan tarif yang rendah, penyederhanaan pemenuhan kewajiban pajak, serta meminimalisir biaya kepatuhan (compliance cost) juga meminimalisir biaya administrasi perpajakan (administration cost) pemerintah.

UMKM memiliki peran yang signifikan dalam mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi secara makro di indonesia, UMKM juga dianggap sebagai tulang punggung perekonomian nasional secara makro saat krisis moneter terjadi. Meski UMKM mampu bertahan disaat krisis moneter namun pertumbuhannya tidak begitu pesat setelah krisis moneter. Porsi terbesar bisnis dilakukan dalam sektor UMKM, perkembangannya di Indonesia mencapai 99,9% dari total usaha di Indonesia yang terkonsentrasi pada sektor perdagangan, pangan, olahan pangan, tekstil dan garmen, kayu dan produk kayu, serta produksi mineral non-logam. Secara keseluruhan, UMKM memberikan kontribusi >50% untuk PDB (kebanyakan berada di sektor perdagangan dan pertanian). UMKM berkontribusi dalam memberikan kesempatan kerja sebesar 96,99%, penambahan devisa negara dalam bentuk penerimaan ekspor sebesar 15% terhadap total ekspor.

UMKM berperan penting bagi perekonomian ASEAN hingga saat ini 96% dari perusahaan ASEAN merupakan UMKM. Tetapi UMKM di Indonesia masih belum mampu menghadapi persaingan MEA, dikarenakan masih perlu penguatan kestabilan UMKM di lingkup nasional. Adanya kebijakan MEA belum dapat memberikan peluang bagi UMKM di Indonesia.

Kebijakan Perpajakan untuk UMKM di Indonesia menggunakan presumptiven regime model. Model ini digunakan karena mayoritas Wajib Pajak di Indonesia sulit untuk sukarela membayar pajak, dan sumber daya administrasinya yang tidak memadai. Selain itu, umumnya Wajib Pajak belum transparan dalam penyajian Laporan Keuangan untuk pengenaan pajak secara efektif oleh pemerintah. Dengan itu, pemerintah menetapkan perkiraan atau presumsi atas batasan pendapatan yang tepat untuk dikenai pajak. Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasila atas Penghasilan dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto pajak yang memiliki peredaran tertentu dapat menyelenggarakan pembukuan sebelum dikenai pajak penghasilan dengan ketentuan umum sehingga lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan tujuan sebagai berikut:

  1. Mendorong masyarakat berperan dalam kegitan ekonomi formal dengan cara memberikan kemudahan dan kesederhanaan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan diberikan jangka waktu tertentu.
  2. Memberikan keadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan, sehingga Wajib Pajak dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-undang Pajak Penghasilan.
  3. Tarif PPh yang dikenakan dalam Peraturan Pemerintah ini adalah sebesar 0,5% dan bersifat final.

Sehingga berdasarkan tujuan tersebut menimbulkan keuntungan berupa:

  1. Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan cara yang mudah dan sederhana, karena pajak yang dikenakan adalah PPh Final. Perhitungan dengan menjumlahkan Peredaran Bruto sebulan dikalikan Tarif PPh Final.
  2. Beban pajak pelaku UMKM dapat berkurang. Tarif lebih murah, dimana sisa omzet bersih setelah dipotong pajak dapat digunakan pelaku UMKM mengembangkan usahanya.
  3. Tarif pajak yang cukup rendah memotivasi masyarakat untuk berwirausaha.
  4. Tarif rendah dapat mendorong kepatuhan UMKM dalam membayar pajak.
  5. Meningkatkan basis dara Wajib Pajak.
  6. Meningkatkan profesionalisme pelaku UMKM dalam pembukuan, kepatuhan membayar pajak, sebagai syarat memperoleh akses permodalan melalui bank atau Lembaga finansial lain.

Tarif PPh Final sebesar 0,5% hanya berlaku untuk:

  1. UMKM yang memiliki peredaran bruto (omzet) tiak melebihi Rp. 4,8 M dalam satu tahun pajak. Antara lain usaha dagang, industri jasa seperti toko/kios/los kelontong, pakaian, elektonik, bengkel, penjahit, warung atau rumah makan, salon, dan usaha lainnya.
  2. Berlaku untuk UMKM konvensional atau offline maupun yang berjualan di toko online (marketplace dan media sosial).

Dalam model presumptive regime regime maka penetuan batasann (threshold) kelompok yang memang layak untuk mendapatkan kemudahan dan kesederhanaan adalah penting. Batasan ini untuk menghindari adanya kelompok yang sudah mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban perpajakan dalam standard regime, berpindah dengan sengaja untuk mendapatkan kemudahan atau keringanan yang diberikan dalam presumptive regime. Di dalam Undang-undang PPh sendiri tidak mengenal batasan UMKM, namun demikian batasan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4,8 M adalah batasan wajib pajak yang mendapatkan keringanan dalam model standard regime- simplified/reduced rate, yang selama ini diterapkan di Indonesia. Untuk itu maka batasan peredaran bruto Rp. 4,8 M dapat digunakan sebagai premise UMKM, yang perlu diberikan kemudahan dan kesederhanaan pengenaan pajak.

Peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. Peredaran bruto adalah seluruh imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjulalan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.

Jangka waktu yang diberikan oleh Pemerintah bagi Wajib Pajak dengan tarif final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini adalah:

  1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah paling lama 7 (tujuh) Tahun Pajak.
  2. Bagi Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma adalah paling lama 4 (empat) Tahun Pajak.
  3. Bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas adalah paling lama 3 (tiga) Tahun Pajak.

Pencatatan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang merupakan objek pajak penghasilan. Pencatatan harus diselenggarakan secara teratur dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya dengan menggunakan huruf latin, angka, arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia. Pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan secara kronologis. Catatan atau dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan di tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kegiatan usaha dilakukan selama 10 tahun.

Pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Prinsip taat asas pada pembukuan adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.

Kepatuhan pajak (tax compliance) sendiri dibutuhkan karena sebagian besar aktivitas dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh Wajib Pajak (dilakukan sendiri atau dibantu tenaga ahli misalnya praktisi perpajakan) bukan fiskus selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan perpajakan menjadi motor penggerak utama dalam menentukan efektivias pelaksanaan Self Assesment system. Kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan ketentuan perpajakan yang berlaku. Kepatuhan perpajakan meliputi Kepatuhan Perpajakan Formal dan Kepatuhan Perpajakan Material.

  1. Kepatuhan Perpajakan Formal merupakan ketaatan Wajib Pajak dalam memenuhi ketentuan formal perpajakan yang mencakup hal: a). Tepat waktu dalam mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP maupun untuk ditetapkan memperoleh NPPKP. b). Tepat waktu dalam menyetorkan pajak yang terutang, c). Tepat waktu dalam melaporkan pajak yang sudah dibayar dan melaporkan perhitungan perpajakannya.
  2. Kepatuhan Perpajakan Material merupakan ketaatan Wajib Pajak dalam memenuhi ketentuan material perpajakan yang terdiri dari: a). Tepat dalam menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perpajakan, b). Tepat dalam memperhitungkan pajak terutang sesuai dengan peraturan perpajakan, c). Tepat dalam memotong maupun memungut pajak (Wajib Pajak sebagai pihak ketiga).

Secara teknis Wajib Pajak disebut patuh apabila memenuhi persyaratan (PMK Nomor.192/PMK.03/2007) sebagai berikut:

  1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT): SPT Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terkahir, SPT masa yang terlambat dalam tahun terkahir untuk masa pajak januari sampai november tidak lebih dari 3 masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut dan telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT masa pada masa pajak berikutnya.
  2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Pada keadaan tanggal 31 desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak patuh dan tidak termasuk Utang Pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan.
  3. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau Lembaga Pengawasan Keuangan Pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3 tahun berturut-turut. Laporan yang dimaksud disusun dalam bentuk panjang dan menyajikan rekonsiliasi Laba Rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang wajib menyampikan SPT Tahunan. Pendapat Akuntan atas LK yang diaudit ditandatangani oleh Akuntan Publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawasan Akuntan Publik.
  4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 tahun terakhir.

Wajib pajak patuh dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada DJP. DJP akan melakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak Wajib Pajak yang bersangkutan dengan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima atas PPN apabila telah dilakukan penelitian dengan hasil terdapat pengembalian pajak. Penelitian dilakukan oleh DJP atas:

  1. Kelengkapan SPT dan lampirannya.
  2. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak.
  3. Kebenaran Kredit Pajak atau Pajak Masukan berdasarkan hasil konfirmasi dalam sistem aplikasi DJP atau konfirmasi dengan menggunakan surat.
  4. Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
  5. Kebenaran alamat pada SPT.

Tentunya dengan penekanan penerimaan pajak sebagai kontribusi terbesar penerimaan negara diharapkan semua wajib pajak di Indonesia berpredikat patuh, yang akan berimplikasi pada optimalisasi penerimaan pajak, pengurangan biaya wajib pajak (compliance cost) dan biaya bagi pemerintah (administrative cost) dalam kewajiban administrasi perpajakan. Dalam pelaksanaan pemungutan pajak yang berlaku saat ini adalah adanya kendala yang selalu timbul yaitu kurangnya penciptaan kondisi yang kondusif, saling pengertian dengan baik antara masyarakat sebagai pembayar pajak dengan aparat pemungut pajak dan dengan negara selaku pemungut dan sekaligus pengguna pajak yang telah dikumpulkan.

Key Performance Indicator (KPI) yang digunakan dalam mengukur Kepatuhan Wajib Pajak (Lampiran SE 18/PJ.22/200):

  1. Key Performance Indicator (KPI) Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) mengukur tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Badan dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar dalam satu periode tertentu. Perhitungannya dipisahkan untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan SPT Tahunan PPh Badan. Rumus perhitungan PPh Orang Pribadi = (SPT Tahunan PPh OP : WP OP Terdaftar) x 100%, sedangkan untuk PPh Badan = (SPT Tahunan PPh Badan : WP Badan terdaftar) x 100%.
  2. Key Peformance Indicator (KPI) Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengukur tingkat kepatuhan pengusaha kena pajak dalam menyampaikan SPT masa PPN dibandingkan dengan jumlah Pengusaha Kena Pajak dalam suatu periode tertentu. Rumus perhitungan PPN = (Rata-rata masa PPN/Bulan : Jumlah PKP Terdaftar) x 100%.

Penegakan hukum perpajakan (Tax Law enforcement) dalam Self Assesment system merupakan hal yang penting. Dalam sistem perpajakan juga dipentingkan adanya voluntary compliance dari Wajib Pajak. Karena tuntutan peran aktif dari Wajib Pajak dalam pemenuha kewajiban perpajakannya, maka kepatuhan dari Wajib Pajak sangatlah penting didorong dengan ditegakkanya Tax Law Enforcement.

Output yang diharapkan dari Kebijakan perpajakan ini adalah rendahnya cost of compliance bagi UMKM dan rendahnya cost of collection bagi pemerintah. Rendahnya cost of compliance dapat diminimalisir dengan ketentuan bahwa Wajib Pajak cukup melakukan pencatatan (record-keeping) untuk dapat mentaati ketentuan yang berlaku. Cost of compliance, juga dikurangi dengan penerapan model presumptive regime-single tariff. Dengan model ini, wajib pajak dapat menghitung pajaknya dengan sangat mudah, yaitu cukup dengan hanya mengalikan tarif berlaku dengan nilai bruto penjualannya tiap bulan. Selain itu cost of compliance juga dapat ditekan dengan kemudahan administrasi pelaporan dan pembayaran bagi wajib pajak. Di sisi lain, model ini juga akan berdampak pada minimalisasi cost of collection bagi pemerintah.

Outcomes utama kebijakan ini adalah terciptanya voluntary compliance. Kelompok UMKM di Indonesia merupakan kelompok terbawah pada piramida Attitude to Compliance, maka dengan memberikan kemudahan dan kesederhanaan perpajakan diharapkan akan menimbulkan kemauan suka rela untuk memenuhi kewajibannya dengan benar. Dalam hal voluntary compliance telah tercipta, dampak selanjutnya adalah peningkatan penerimaan pajak dari UMKM. Peningkatan penerimaan ini diharapkan timbul dari pembayaran yang benar dari UMKM yang sudah terdaftar, dan tambahan UMKM baru yang bersedia memasuki jalur formal, dengan mendaftarkan diri sebagai wajib pajak dan melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dengan voluntary compliance tersebut, maka UMKM telah memasuki jalur informal, yang berdampak pada kemampuan UMKM untuk menjangkau akses finansial perbankan dan berujung pada pengembangan UMKM itu sendiri.