Kelas Sosial dan Sosial Identitas di Jepang pascaperang

Pembahasan ini menceritakan saat Jepang berjuang untuk menemukan jalan keluar dari resesi, masalah-masalah kelas sosial memang menjadi relevan dalam literatur akademik dan fitur terkemuka dari pers populer yang ada. Sistem hierarkis yang disebut feudal sebelum Perang Dunia ke 2, Jepang dibangun kembali setelah kalah menjadi salah satu ekonomi terbesar di muka bumi. Banyak orang di dalam Jepang maupun yang di luar, salah satu fitur yang paling membedakan, bahkan penjelasan untukk, kenaikan ini adalah pola pikir Jepang untuk keluar menuai manfaat dari liberalisme kapitalis tetapi menghindari efek melemahkan dari konflik kelas yang begitu menganggu industri Barat. Dalam periode pascaperang ini, tabel telah berubah lagi. Setara seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama periode pascaperang seharusnya menjadi bukti manajemen Jepang yang teliti atas identitas budayanya yang bervariasi, yang menghasilkan masyarakat yang harmonis yang membawa individu ke pengorbanan pribadi yang besar untuk kebaikan kolektif yang lebih besar, kelesuan dalam kegiatan dagang saat pascaperang telah menghasilkan pembicaraan baru tentang Jepang sebagai masyarakat kelas ketidaksetaraan (kakusa shakai), Kakusa Shakai merujuk pada fenomena kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin lebar di Jepang, khususnya antara orang kaya dan orang miskin. Konsep ini telah banyak dibahas dalam dunia akademis, media, dan budaya populer Jepang sejak awal tahun 2000-an. Kakusa shakai yang menghasilkan perbedaan kelas antara “pemenang” dan “pecundang” (kachi-gumi dan make-gumi). Penjelasan sedikit tentang Kachi-gumi dan Make-gumi. Kachi-gumi yaitu sekelompok individu, terutama Jepang-Amerika, yang menolak untuk menerima kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Fenomena ini muncul di Hawaii dan daratan Amerika Serikat, khususnya di antara Issei (imigran Jepang generasi pertama) dan keturunan mereka. Make-gumi yaitu sekelompok individu yang menerima kekalahan untuk pengakuan bahwa Jepang kalah pada Peran Dunia ke 2. Kachi-gumi dan Make-gumi yang mempertanyakan keberadaan keanggotaan dan identitas kelas menengah yang tampak begitu aman bahkan 20 tahun yang lalu.

Modernisasi dan kelas sosial di Jepang yang diduduki

Dari akhir perang hingga akhir Pendudukan Jepang pada tahun 1952, terjadi sejumlah pergeseran penting dalam pola distribusi kekayaan dan mobilitas sosial, serta dalam konstruksi politik identitas kelas. Di Jepang sebelum perang, lebih dari 50 persen tenaga kerja berada di sektor pertanian, dan dua pertiga dari tanah disewa oleh petani namun dimiliki oleh tuan tanah, yang biasanya adalah tuan tanah absensi yang tinggal di daerah perkotaan yang jauh. Ladang-ladang itu kecil, dan para tuan tanah mengambil sepertiga dari hasil panen, yang memaksa banyak petani hidup dalam kemiskinan. Reformasi pertanahan pasca perang mendistribusikan tanah sehingga keluarga petani dapat memiliki tanah yang mereka garap. Di daerah perkotaan, ada dukungan kuat untuk serikat pekerja baik sebagai bagian dari rencana untuk “mendemokratisasi” maupun sebagai benteng terhadap kebangkitan fasisme Jepang. Serikat pekerja jarang ada sebelum perang, tetapi pada tahun 1949 hampir setengah dari semua pekerja industri tergabung dalam kelompok serikat pekerja. Ada pergeseran besar dari retorika perang yang menekankan pengorbanan pribadi untuk Jepang tradisional, yang dipahami sebagai tatanan moral, hierarkis, dan sosial-politik. Sebagai gantinya, Jepang yang “modern” dan demokratis dikembangkan melalui retorika politik tentang hak sipil dan perburuhan. Individu diharapkan untuk mengesampingkan ide-ide lama tentang bakti keluarga dan hierarki, dan sebaliknya diharapkan untuk bertindak demi kepentingan material terbaik mereka, bebas untuk mencari kesempatan kerja terbaik yang dapat mereka peroleh berdasarkan kemampuan dan usaha mereka. Struktur sosial baru yang diperkirakan akan berkembang secara alami dalam arena ini adalah bentuk yang paling “modern”: kelas sosial. Dalam struktur kelas baru ini, kesadaran kelas akan meningkat dan menjadi dasar bagi konstruksi identitas sosial yang didasarkan pada pencapaian pribadi dalam masyarakat yang diorganisasi sebagai meritokrasi. Dalam teori modernisasi versi 1950-an, pembentukan kelas dan bahkan kapitalisme itu sendiri tidak dipandang sebagai medan konflik atau eksploitasi, melainkan sebagai konsekuensi alami dari perkembangan ekonomi dalam masyarakat bebas, semacam “solidaritas organik.” Oleh karena itu, munculnya kelas sosial dianggap sebagai bukti bahwa Jepang tidak hanya melampaui masa feodalnya sendiri, tetapi juga semakin mendekati keanggotaan dalam kelompok “negara-negara modern.” Dan memang, hingga tahun 1960-an, Jepang tampaknya mengikuti jalur ini. Mendorong negara maju adalah pergeseran dari bisnis keluarga ke entitas korporat besar sebagai unit utama produksi, dari sanksi sosial ke hukum yang dikodifikasi sebagai mekanisme utama pengendalian sosial, dan dari status yang ditentukan oleh kelahiran ke status yang dicapai. Jepang baru ini dicirikan oleh terbukanya kesempatan, di mana pendidikan dasar universal menjadi mekanisme kemajuan sosial dan di mana kontak sosial yang impersonal menggantikan kewajiban turun-temurun. Jika kekalahan perang membawa periode kebingungan tentang isu identitas budaya nasional, pembangunan ekonomi dengan cepat menawarkan kesempatan baru untuk kemajuan material yang memungkinkan Jepang untuk meninggalkan masa lalu praperangnya. Namun, meskipun identitas kelas sosial mengimplikasikan struktur sosial tertentu, mereka juga memerlukan serangkaian bentuk budaya untuk mewakili identitas kelas ini. Seperti biasanya di mana pun, bentuk budaya tidak berubah secepat ekonomi. Meskipun terbentuknya serikat pekerja, dalam periode awal pertumbuhan ekonomi yang relatif tidak terhambat ini, ada kecenderungan untuk menganggap penyebutan “kelas sosial” sebagai sisa dari masa lalu feodal Jepang. Dalam salah satu etnografi terbaik pada waktu itu, Ronald Dore mengutip seorang informan yang mengatakan: “Tidak ada yang namanya kelas lagi. Saya hanya warga negara yang baik” (Dore 1958: 215). Di antara informannya, kelas sosial dipandang sebagai batasan bagi maksimisasi pasar bebas, yang melibatkan perbedaan status yang memerlukan kewajiban yang memberatkan dan tidak diinginkan. Gambaran tentang individu yang berdagang dan bertukar di pasar terbuka ini sesuai dengan penghargaan pasca haperang terhadap pemilik usaha kecil yang mandiri sebagai perwujudan kebebasan dan kemerdekaan, baik secara ekonomi maupun sosial. Sebaliknya, pekerja kantor bergaji, yang akan dirayakan pada dekade berikutnya sebagai “salaryman” Jepang, pada awalnya dianggap memiliki status ekonomi dan sosial yang lebih rendah daripada pengrajin terampil atau pemilik toko. Karena pemecatan mereka yang sering, pekerja bergaji memiliki keamanan pekerjaan yang lebih rendah daripada mereka yang bekerja untuk diri mereka sendiri, dan sering dianggap kurang memiliki ketekunan dibandingkan mereka yang bekerja sendiri. Lebih buruk lagi, pilihan mereka untuk menjual tenaga kerja mereka menunjukkan sikap sosial yang meragukan, sebuah upaya yang tidak sah untuk memposisikan diri mereka sebagai kelas menengah (chūryū atau chūsan) yang dianggap sebagai bukti usaha sosial yang berlebihan.

Kelas yang Bukan Kelas: Kelas Menengah

Untuk sebagian besar sejarah modern Jepang, ide-ide budaya yang dihargai, norma sosial, dan kebijakan negara telah bergeser antara polaritas Jepang vs. universal, tradisional vs. modern, kategori oposisi yang memiliki isi dan nilai yang berbeda dengan setiap pergeseran. Periode Pendudukan menekankan hal yang universal dan modern serta melihat dukungan dan retorika negara untuk serikat pekerja, dan dengan demikian kelas, sebagai tanda kemajuan dan demokrasi. Dalam “kursus terbalik” pada akhir Pendudukan, kita melihat pembatalan sejumlah reformasi awal, khususnya penolakan terhadap aktivisme serikat pekerja yang mungkin terkait dengan agenda sosialis (karena Perang Dingin sudah mulai terbentuk) dan apapun yang dapat mengalihkan perhatian dari tujuan nasional yang lebih besar, yaitu pemulihan ekonomi. Sementara dalam konteks politik dan sejarah lain, retorika kesatuan nasional mungkin akan menyebabkan penolakan terhadap citra kelas sosial, di Jepang muncul jenis kelas yang sangat berbeda: kelas menengah baru. Seperti padanannya di AS, kelas baru ini dianggap lebih menyatukan daripada bersifat oposisi, yang akan menyelaraskan kepentingan perusahaan, negara, dan individu dengan cara yang mencakup seluruh masyarakat Jepang. Ezra Vogel mengumumkan bahwa jalur perubahan sosial di Jepang telah berkembang ke titik di mana “mencapai tingkat industrialisasi dan urbanisasi negara-negara Eropa dan Amerika lainnya” (Vogel 1971: 3). Bahkan sebelum periode pertumbuhan tertinggi pada 1970-an, sudah jelas bahwa kemakmuran Jepang pasca perang berkembang dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan siapa pun, yang mengarah pada konsentrasi modal yang lebih cepat dalam konteks korporat, dan peningkatan produksi industri serta sektor jasa (hampir secara bersamaan). Sebagai bukti meningkatnya pola mobilitas sosial, lebih dari tiga perempat dari total cohort pada tahun 1960 melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah. Pada saat yang sama, penurunan keluarga besar (家) di tengah nuklealisasi keluarga melemahkan ikatan non-pasar (alianse geografis atau loyalitas berbasis kekerabatan) yang dulunya mengikat masyarakat Jepang dan menjadi dasar identitas sosial. Di pasar tenaga kerja, meskipun ada peningkatan jumlah karyawan terdidik yang cocok untuk pekerjaan kantoran bergaji, ekspansi ekonomi yang cepat menyebabkan penyempitan pasar, yang mengarah pada peningkatan keamanan bagi posisi pekerja kantoran yang dulunya rentan. Gaji yang dijamin, kenaikan yang teratur, dan janji (jika bukan kenyataan statistik) dari pekerjaan seumur hidup mengubah pekerjaan kantoran menjadi posisi yang sangat diinginkan, yang tidak hanya menunjukkan stabilitas sosial tetapi juga prestise dan status. Semua faktor ini mengarah pada terbentuknya kategori kelas menengah baru yang berkembang. Kelas menengah baru ini dilambangkan oleh seorang salaryman dengan kemeja putih yang rapi dan jas biru, bekerja di perusahaan besar atau kantor pemerintah modern, pulang ke rumah bersama pasangan idealnya, seorang ibu rumah tangga penuh waktu (sengyō shufu). Ibu rumah tangga adalah bagian yang sama pentingnya dalam identitas kelas menengah baru ini, karena dia adalah tokoh sentral dalam gaya hidup konsumen baru yang cerah, di mana status sosial relatif serta kemakmuran nasional diekspresikan melalui pasar massal yang baru. Salaryman bergaji dan istrinya adalah tanda kemakmuran ekonomi dan regulasi budaya. Namun, meskipun mereka merupakan perwujudan kelas menengah yang “baru” dan modern, sejak awal kita melihat upaya untuk kembali ke citra tradisional untuk menggambarkan sosok baru ini sebagai “Jepang” yang sesuai. Vogel mendokumentasikan penggunaan citra historis dan representasi “salaryman sebagai samurai” dengan cara ini: “Breefcase-nya dibandingkan dengan pedang samurai, perusahaannya dengan feodalisme” (Vogel 1971: 5). Serangkaian citra ini menggambarkan salaryman dalam cahaya yang jauh lebih positif, bahkan heroik, daripada pendaki sosial yang rentan dari generasi sebelumnya, dan juga menempatkannya dalam konteks institusional tertentu yang menekankan loyalitas dan pengabdian (karakteristik yang selalu menjadi bagian dari citra samurai). Dengan demikian, tidak seperti di beberapa negara Barat di mana karakteristik khas keanggotaan kelas menengah lebih pada superioritas ekonomi, penyempurnaan budaya, atau privilese sosial, di Jepang kita juga melihat citra normatif yang kuat tentang kewajiban institusional terhadap perusahaan dan negara. Dengan demikian, meskipun dia adalah samurai yang teguh, salaryman baru ini tidaklah “berani dan penuh keberanian [atau] mampu bertindak mandiri” (ibid: 5). Salaryman mungkin dianggap sebagai versi Jepang dari “organization man” dihormati dan dihargai, ikon pemulihan ekonomi dan kehormatan internasional, tetapi juga semacam pejuang yang dilemahkan. Meskipun beberapa mungkin mengejek analogi ini hari ini, keberadaannya yang meluas dan terus digunakan hingga tahun 1980-an dalam buku manual pelatihan manajemen, buku teks sekolah, dan pers populer menunjukkan daya tahan yang tidak dapat diabaikan hanya karena itu sedikit konyol. Justru citra inilah yang akan tumbuh begitu kuat hingga mendefinisikan budaya hegemoni di Jepang dan menakutkan hati perusahaan di seluruh dunia sebagai ujung tombak dari apa yang sering disebut nasionalisme ekonomi Jepang pada 1980-an.

Kelas yang Bukan Kelas: Kelas Menengah

Selama sebagian besar sejarah modern Jepang, nilai-nilai budaya, norma-norma sosial, dan kebijakan negara terus bergeser antara polaritas Jepang vs. universal, tradisional vs. modern kategori oposisi yang memiliki isi dan nilai berbeda setiap kali bergeser. Periode Pendudukan menekankan nilai-nilai universal dan modern, dengan dukungan negara dan retorika terhadap serikat pekerja, serta konsep kelas, yang dipandang sebagai tanda kemajuan dan demokrasi. Namun, pada “kursus balik” di akhir periode Pendudukan, banyak reformasi awal dibatalkan, terutama karena adanya penentangan terhadap aktivisme serikat pekerja yang berpotensi terkait dengan agenda sosialisme (karena Perang Dingin mulai terbentuk) dan segala hal yang dapat mengalihkan perhatian dari tujuan nasional yang lebih besar, yaitu pemulihan ekonomi. Dalam konteks politik dan sejarah lain, retorika persatuan nasional mungkin mengarah pada penolakan terhadap gambaran kelas sosial, tetapi di Jepang justru muncul jenis kelas yang sangat berbeda: kelas menengah baru. Seperti di Amerika Serikat, kelas baru ini dianggap mempersatukan daripada berlawanan, menyelaraskan kepentingan korporasi, nasional, dan individu dalam cara yang mencakup seluruh masyarakat Jepang. Ezra Vogel menyatakan bahwa jalur perubahan sosial di Jepang telah berkembang hingga mencapai tingkat industrialisasi dan urbanisasi yang setara dengan negara-negara di Eropa dan Amerika (Vogel 1971: 3). Bahkan sebelum periode pertumbuhan tertinggi pada tahun 1970-an, jelas bahwa kemakmuran Jepang pascaperang berkembang jauh lebih cepat daripada yang diharapkan, menghasilkan konsentrasi modal yang lebih cepat dalam konteks korporasi, serta peningkatan produksi industri dan sektor jasa (hampir bersamaan). Sebagai bukti pola mobilitas sosial yang meningkat, lebih dari tiga perempat total populasi pada tahun 1960 melanjutkan ke pendidikan menengah. Pada saat yang sama, penurunan struktur keluarga besar (家) akibat nuklearisasi keluarga melemahkan ikatan non-pasar (aliansi geografis atau loyalitas berbasis kekerabatan) yang sebelumnya menjadi dasar identitas sosial di Jepang. Di pasar tenaga kerja, meskipun terjadi peningkatan jumlah pekerja terdidik yang cocok untuk pekerjaan kantoran, ekspansi ekonomi yang pesat menyebabkan ketatnya pasar tenaga kerja, menghasilkan peningkatan keamanan bagi posisi pekerja kantoran yang sebelumnya rentan. Gaji yang dijamin, kenaikan reguler, dan janji (meskipun tidak selalu menjadi kenyataan statistik) kerja seumur hidup mengubah pekerjaan kantoran menjadi posisi yang sangat diinginkan, yang tidak hanya menunjukkan stabilitas sosial tetapi juga prestise dan status. Semua faktor ini mengarahkan individu ke dalam kategori kelas menengah baru yang terus berkembang. Kelas menengah baru ini dilambangkan oleh salaryman dengan kemeja putih bersih dan setelan biru, bekerja di perusahaan besar modern atau kantor pemerintah, dan pulang ke rumah menemui pasangan idealnya, seorang ibu rumah tangga penuh waktu (sengyo shufu). Ibu rumah tangga ini adalah bagian penting dari identitas kelas menengah baru, sebagai tokoh utama gaya hidup konsumen baru yang cerah, di mana status sosial relatif serta kemakmuran nasional diekspresikan melalui pasar massal baru. Salaryman dan istrinya menjadi simbol kemakmuran ekonomi dan normalisasi budaya. Meskipun mereka mewakili kelas menengah yang “baru” dan modern, sejak awal terlihat upaya untuk mengaitkan kembali citra tradisional guna menggambarkan sosok ini sebagai sesuatu yang cukup “Jepang.” Vogel mencatat penggunaan citra sejarah dan representasi salaryman sebagai samurai dengan cara ini: “Tas kerjanya dibandingkan dengan pedang samurai, perusahaannya dengan daerah feodal” (Vogel 1971: 5). Citra ini menggambarkan salaryman dalam cahaya yang jauh lebih positif, bahkan heroik, dibandingkan pendaki sosial yang rapuh dari generasi sebelumnya, dan juga menempatkannya dalam konteks institusi tertentu yang menekankan loyalitas dan pengabdian (sifat-sifat yang selalu menjadi bagian dari citra samurai). Dengan demikian, berbeda dengan beberapa negara Barat di mana karakteristik khas keanggotaan kelas menengah lebih didasarkan pada superioritas ekonomi, kehalusan budaya, atau privilese sosial, di Jepang juga terdapat citra normatif yang kuat tentang kewajiban institusional terhadap perusahaan dan negara. Jadi, meskipun dia adalah samurai yang setia, salaryman baru ini bukanlah “pemberani dan berani [ataupun] mampu bertindak secara independen” (ibid.: 5). Salaryman dapat dianggap sebagai versi Jepang dari “orang organisasi”: dihormati dan diberi penghargaan, menjadi ikon pemulihan ekonomi dan rasa hormat internasional, tetapi juga semacam prajurit yang kehilangan keberanian. Meskipun beberapa orang mungkin mengejek analogi ini hari ini (dan mungkin sudah ada yang mengejeknya saat itu), pervasivitasnya dan penggunaannya yang berlanjut hingga tahun 1980-an dalam manual pelatihan manajemen, buku pelajaran sekolah, dan pers populer menunjukkan daya tahan yang tidak dapat diabaikan hanya karena sedikit konyol. Justru citra inilah yang tumbuh begitu kuat sehingga mendefinisikan budaya hegemonik di Jepang dan menimbulkan rasa takut di hati korporasi di seluruh dunia sebagai ujung tombak dari apa yang sering disebut nasionalisme ekonomi Jepang pada tahun 1980-an.

Routledge Handbook of Japanese Culture and Society