Pada sekitar 150 tahun yang lalu, Jepang adalah negara feodal yang dikontrol oleh samurai. Namun, ketika Restorasi Meiji terjadi, Jepang mulai bertransformasi menuju negara yang terindustrialisasi. Restorasi Meiji menandai dimulainya Jepang modern. Banyak negara berkembang mencoba mengadopsi teknologi dari negara maju untuk mempercepat modernisasi mereka, seperti yang dilakukan Jepang. Tetapi, keberhasilan Jepang jauh lebih signifikan dibandingkan negara-negara lain, terutama di Asia seperti Korea dan Taiwan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Jepang bisa lebih cepat beradaptasi dan sukses dalam proses modernisasi dibandingkan negara lain? Salah satu alasannya adalah Jepang memiliki dasar yang kuat untuk menerima teknologi Barat karena selama periode Tokugawa, industri rumahan dan sistem keuangannya sudah berkembang dengan baik. Namun, alasan lain yang sama pentingnya adalah iitoko-dori, yakni tradisi mengadopsi elemen budaya asing secara selektif, yang berakar pada sejarah keagamaan Jepang dan kemampuan masyarakat untuk menyelaraskan kepercayaan Shinto dan Buddhisme.
Lalu apa itu Iitoko-Dori? Secara harfiah, Iitoko-dori berarti “mengambil bagian yang baik.” Ini adalah proses mengadopsi elemen-elemen terbaik dari budaya asing dan mengintegrasikannya ke dalam budaya Jepang. Yang menarik adalah bahwa iitoko-dori tidak hanya mengambil secara mentah elemen dari luar, tetapi juga mengubah dan menyesuaikannya agar sesuai dengan konteks lokal. Tradisi ini telah ada sejak lama, salah satunya berakar dari penerimaan dua agama besar di Jepang, yaitu Shinto dan Buddhisme. Ketika Buddhisme pertama kali diperkenalkan pada abad ke-6, ada kekhawatiran bahwa agama baru ini akan bertentangan dengan Shinto, agama asli Jepang. Tokoh sejarah seperti Pangeran Shotoku memainkan peran besar dalam memadukan kedua agama ini dengan analogi: Shinto adalah batang, Buddhisme adalah cabang, dan Konfusianisme sebagai daun. Dengan pendekatan ini, masyarakat Jepang bisa menerima nilai-nilai baru tanpa kehilangan jati diri asli mereka.
Proses Iitoko-Dori: Keunikan Shinto, agama Shinto adalah kepercayaan asli masyarakat Jepang yang didasarkan pada penyembahan terhadap “kami” atau dewa-dewa yang bersemayam dalam berbagai elemen alam. Konsep “kami” ini mencakup hal-hal seperti gunung, air terjun, batu, pohon, dan fenomena alam seperti petir dan angin. Bahkan, leluhur yang telah meninggal juga dapat dianggap sebagai kami yang dihormati. Berbeda dari agama-agama besar seperti Kristen atau Islam yang memiliki kitab suci dan aturan-aturan ketat dari Tuhan, Shinto tidak mengenal konsep aturan absolut. Tidak ada “firman Tuhan” yang harus dipatuhi tanpa pertanyaan. Sebaliknya, kepercayaan Shinto lebih fleksibel dan berorientasi pada keharmonisan dengan alam dan sesama manusia. Sifat Shinto yang tidak memiliki nilai mutlak memungkinkan agama ini untuk beradaptasi dengan berbagai kepercayaan atau nilai baru dari luar. Masyarakat Jepang tidak memandang ajaran dari luar sebagai ancaman yang harus ditolak. Sebaliknya, mereka terbuka untuk menyerap dan menyesuaikan elemen-elemen yang mereka anggap berguna. Karena fleksibilitas ini, Shinto memberikan ruang bagi budaya Jepang untuk menerima pengaruh eksternal tanpa adanya konflik besar atau penolakan terhadap identitas lokal mereka. Harmonisasi dengan Buddhisme dan KonfusianismeProses penerimaan elemen luar pertama kali terlihat jelas pada abad ke-6 ketika Jepang mulai berinteraksi dengan Buddhisme yang berasal dari India melalui Tiongkok dan Korea. Agama ini menawarkan ajaran yang jauh lebih kompleks dan filosofis dibandingkan Shinto, terutama dalam hal pandangan hidup, moralitas, dan pandangan tentang kehidupan setelah mati. Meskipun banyak orang Jepang tertarik pada nilai-nilai Buddhisme, muncul satu masalah besar: ajaran Buddhisme tidak mendukung sistem kekaisaran yang dianggap suci di Jepang. Dalam mitologi Shinto, keluarga kekaisaran dianggap sebagai keturunan langsung dari dewi matahari, Amaterasu, yang memberikan mereka status khusus di masyarakat. Oleh karena itu, muncul kekhawatiran bahwa jika masyarakat terlalu mendalami ajaran Buddhisme, legitimasi kekaisaran akan dipertanyakan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi stabilitas politik dan sosial Jepang pada waktu itu. Pangeran Shotoku, seorang tokoh penting dalam sejarah Jepang dan keponakan dari Kaisar Suiko, memainkan peran sentral dalam menyelesaikan konflik ini. Ia memperkenalkan sebuah analogi yang menjelaskan bagaimana Shinto, Buddhisme, dan Konfusianisme dapat hidup berdampingan: “Shinto adalah batang, Buddhisme adalah cabang, dan Konfusianisme adalah daun.” Melalui analogi ini, Pangeran Shotoku mengajarkan bahwa Shinto tetap menjadi dasar kepercayaan bangsa Jepang, sementara Buddhisme dan Konfusianisme dapat memberikan kontribusi dalam aspek spiritual dan moral masyarakat tanpa mengganggu kepercayaan asli mereka. Buddhisme memberikan panduan tentang kehidupan dan kematian, sementara Konfusianisme, yang berasal dari Tiongkok, menyumbang nilai-nilai etika yang mengatur hubungan sosial, seperti hormat terhadap orang tua dan pentingnya hierarki sosial. Dengan mengintegrasikan kedua ajaran ini, Jepang tidak hanya menerima filosofi luar tetapi juga memperkuat stabilitas sosial dan politik mereka. Harmonisasi ini menjadi fondasi awal dari proses iitoko-dori, di mana Jepang mengadopsi elemen-elemen terbaik dari budaya luar, mengadaptasinya sesuai kebutuhan lokal, dan menciptakan keseimbangan tanpa mengorbankan identitas budaya mereka. Tradisi ini terus berkembang dan memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir masyarakat Jepang hingga masa kini.
Contoh Iitoko-Dori dalam Teknologi: Pabrik Tomioka sebagai Salah satu contoh paling mencolok dari penerapan iitoko-dori di bidang teknologi adalah Pabrik Pemintalan Sutra Tomioka yang didirikan pada tahun 1872, tidak lama setelah Restorasi Meiji. Pada masa itu, Jepang sedang berusaha keras untuk bertransformasi dari masyarakat agraris menjadi negara industri modern. Sutra adalah salah satu komoditas ekspor utama Jepang, tetapi kualitas dan kuantitas produksi sutra Jepang masih tertinggal dibandingkan negara-negara Barat. Untuk memperbaiki hal ini, Jepang memutuskan untuk mengadopsi teknologi pemintalan sutra dari Prancis yang saat itu dianggap paling maju. Proses pembangunan Pabrik Tomioka adalah cerminan sempurna dari prinsip iitoko-dori. Jepang tidak hanya mengimpor mesin-mesin pemintalan dari Prancis, tetapi juga mengundang teknisi dan ahli dari sana untuk melatih pekerja lokal. Bangunan pabrik, desain arsitektur, hingga bahan bangunan sebagian besar diimpor dari Prancis untuk memastikan standar tinggi. Namun, setelah menerima pelatihan dan memahami proses produksi, para pekerja Jepang mulai menyesuaikan teknik-teknik tersebut agar lebih efisien dan cocok dengan kondisi lokal.Proses Adaptasi dan InovasiDalam kurun waktu kurang dari empat dekade, Jepang tidak hanya mampu mengejar teknologi pemintalan Prancis, tetapi juga berhasil mengembangkan inovasi mereka sendiri yang meningkatkan kualitas sutra yang dihasilkan. Teknologi yang awalnya diimpor ini disesuaikan dengan kebutuhan dan sumber daya lokal, seperti penggunaan bahan bangunan lokal yang lebih murah serta penyesuaian mesin agar lebih tahan lama di lingkungan Jepang. Hasilnya, sutra Jepang menjadi produk yang sangat diminati di pasar internasional, dan Jepang mulai mengekspor sutra dalam skala besar.Pabrik Tomioka pun menjadi simbol transformasi ekonomi Jepang dari negara agraris yang bergantung pada produksi tradisional menuju negara industri yang mampu bersaing di pasar global. Keberhasilan ini menunjukkan bagaimana tradisi iitoko-dori memungkinkan Jepang untuk tidak hanya meniru teknologi dari luar, tetapi juga memperbaikinya sehingga sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini adalah salah satu faktor kunci yang mempercepat modernisasi Jepang dan menjadikannya kekuatan industri utama di dunia dalam waktu singkat. Contoh Pabrik Tomioka ini menjadi cerminan bagaimana iitoko-dori diterapkan secara praktis, menunjukkan bahwa Jepang memiliki kemampuan unik untuk mengadopsi teknologi asing dan mengubahnya menjadi bagian integral dari identitas dan kekuatan ekonomi mereka.
Dampak Positif dari Iitoko-Dori: Modernisasi Ekonomi JepangTradisi iitoko-dori telah menjadi salah satu faktor kunci yang mendorong modernisasi ekonomi Jepang secara pesat. Dengan kemampuan untuk mengadopsi elemen terbaik dari budaya asing dan menyesuaikannya dengan kebutuhan lokal, Jepang berhasil mempercepat proses industrialisasi dan modernisasi mereka. Pada era Restorasi Meiji, Jepang mulai mengimpor teknologi Barat secara besar-besaran, dari infrastruktur kereta api hingga mesin-mesin industri. Namun, Jepang tidak sekadar meniru. Mereka menyesuaikan teknologi tersebut agar lebih efisien dan sesuai dengan konteks geografis, sosial, serta ekonomi lokal mereka.Hal ini dapat dilihat pada perkembangan industri manufaktur. Misalnya, dalam sektor otomotif, Jepang awalnya mempelajari teknik produksi dari Amerika Serikat dan Eropa. Namun, mereka mengembangkan konsep Just-in-Time (JIT) dan kaizen yang meningkatkan efisiensi produksi dan kualitas produk, sehingga membuat industri otomotif Jepang seperti Toyota menjadi pemimpin global. Penerapan iitoko-dori juga terlihat dalam bidang elektronik, di mana perusahaan seperti Sony dan Panasonic mengembangkan inovasi dari teknologi Barat, tetapi dengan desain dan fungsi yang lebih sesuai untuk pasar global.Selain teknologi, sektor pendidikan juga mengalami perubahan signifikan. Jepang mengadopsi sistem pendidikan Barat dengan struktur sekolah modern, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional seperti kerja keras, kedisiplinan, dan penghormatan terhadap guru. Ini menciptakan generasi yang tidak hanya kompetitif di tingkat nasional tetapi juga di panggung internasional.Secara keseluruhan, iitoko-dori mendorong Jepang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Dengan memadukan inovasi luar dengan tradisi lokal, Jepang berhasil mempertahankan identitas budaya mereka sambil tetap menjadi negara yang adaptif dan kompetitif di era globalisasi. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam mengadopsi dan mengembangkan budaya asing dapat menjadi kekuatan besar dalam menghadapi perubahan zaman.
Dampak Negatif dari Iitoko-Dori: Masalah Lingkungan salah satu sisi gelap dari penerapan Iitoko-dori adalah kurangnya perhatian terhadap dampak lingkungan saat mengadopsi teknologi asing. Seiring dengan pesatnya industrialisasi Jepang selama era Meiji dan pasca-Perang Dunia II, banyak teknologi dari Barat diadopsi secara cepat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, adopsi ini sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan. Misalnya, penggunaan teknologi manufaktur berat, bahan bakar fosil, serta pengelolaan limbah industri yang kurang ketat, mengakibatkan terjadinya polusi udara, pencemaran air, dan degradasi tanah.Salah satu contoh nyata adalah tragedi Minamata pada tahun 1950-an, di mana limbah merkuri dari pabrik kimia yang tidak dikelola dengan baik mencemari perairan setempat, menyebabkan ribuan penduduk terkena penyakit yang dikenal sebagai Minamata Disease. Kasus ini menjadi peringatan keras bahwa modernisasi teknologi tanpa pengawasan ketat dapat menimbulkan bencana ekologis yang serius. Para kritikus menilai bahwa jika pendekatan ini terus berlanjut tanpa adanya kebijakan lingkungan yang ketat, Jepang berisiko menghadapi tantangan ekologis yang semakin kompleks di masa depan. Selain masalah lingkungan, iitoko-dori juga membawa dampak pada nilai-nilai etika di masyarakat Jepang. Karena budaya ini mendorong adopsi elemen terbaik dari berbagai sumber, nilai-nilai etika menjadi lebih fleksibel dan sering kali berubah-ubah tergantung pada situasi. Berbeda dengan budaya yang memegang teguh prinsip-prinsip absolut, seperti kebenaran universal dalam agama Kristen, masyarakat Jepang cenderung menyesuaikan etika mereka dengan konteks sosial demi menjaga keharmonisan kelompok. Fenomena ini dapat dilihat dalam kasus ijime atau bullying di sekolah. Banyak siswa yang menjadi korban memilih untuk tidak melawan karena takut merusak keharmonisan kelompok atau dianggap berbeda. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai relatif dapat menyebabkan ketidakmampuan untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan, terutama ketika tekanan sosial menjadi faktor dominan. Dalam dunia kerja, etika relatif ini juga dapat terlihat ketika para pekerja merasa sulit menentang kebijakan yang tidak etis karena takut dianggap tidak loyal terhadap perusahaan. Meskipun fleksibilitas etika ini sering kali memudahkan proses adopsi budaya asing, hal tersebut juga memunculkan tantangan dalam menciptakan masyarakat yang berani mempertahankan prinsip keadilan dan kebenaran, terutama dalam menghadapi tekanan sosial yang kuat. Dampak ini menunjukkan perlunya keseimbangan antara fleksibilitas dan prinsip yang kokoh untuk menjaga keadilan dan keutuhan sosial di Jepang.
Iitoko-Dori dalam Nilai Etika: Kemampuan Jepang untuk Mengadopsi Konsep Baru Tradisi iitoko-dori memberikan fleksibilitas yang luar biasa bagi masyarakat Jepang dalam menerima konsep atau nilai baru dari budaya asing tanpa banyak gesekan. Salah satu contohnya adalah ketika agama Kristen mulai diperkenalkan di Jepang pada abad ke-16. Meskipun Kristen membawa nilai-nilai dan ajaran yang berbeda dari keyakinan tradisional Jepang seperti Shinto dan Buddhisme, masyarakat Jepang tidak serta-merta menolak kehadirannya. Sebaliknya, mereka mengadopsi beberapa elemen positif, seperti nilai kasih sayang dan solidaritas, sambil tetap mempertahankan identitas budaya mereka. Pendekatan ini mencerminkan keunggulan iitoko-dori dalam menciptakan harmonisasi antara nilai tradisional dan modern. Dalam konteks yang lebih luas, kemampuan ini juga terlihat dalam penerapan konsep manajemen Barat di perusahaan Jepang, yang diadaptasi dengan nilai-nilai kerja sama tim dan loyalitas khas Jepang. Kelemahan dalam Prinsip Absolut Namun, pendekatan fleksibel ini juga memiliki kelemahan, terutama dalam hal mempertahankan prinsip etika absolut. Karena masyarakat Jepang cenderung menyesuaikan nilai etika dengan situasi untuk menjaga keharmonisan sosial, sering kali muncul kesulitan dalam menentang ketidakadilan atau mempertahankan pendirian yang kuat ketika dihadapkan pada tekanan sosial.Misalnya, dalam kasus ijime (bullying) di sekolah atau lingkungan kerja, banyak individu yang memilih diam karena takut dianggap mengganggu keharmonisan kelompok. Prioritas terhadap kohesi sosial ini kadang menyebabkan nilai-nilai seperti keadilan dan keberanian untuk melawan ketidakadilan menjadi terabaikan. Meskipun fleksibilitas etika ini memungkinkan penerimaan budaya asing dengan mudah, hal tersebut juga dapat melemahkan fondasi moral masyarakat jika tidak diimbangi dengan prinsip yang kokoh.
Kesimpulan
Iitoko-dori telah menjadi salah satu kunci utama dalam membentuk identitas budaya dan kemajuan Jepang. Kemampuan untuk mengadopsi dan mengadaptasi elemen asing tanpa kehilangan jati diri memungkinkan Jepang berkembang pesat dalam berbagai aspek, mulai dari teknologi, industri, hingga etika sosial. Praktik ini tidak hanya mempercepat modernisasi Jepang sejak Restorasi Meiji, tetapi juga memperkuat posisi negara tersebut sebagai kekuatan ekonomi dan budaya global. Namun, fleksibilitas yang menjadi kekuatan iitoko-dori juga menghadirkan tantangan, seperti degradasi lingkungan dan relativitas etika. Ketidakhadiran prinsip absolut terkadang menghambat upaya menentang ketidakadilan atau menjaga nilai moral di tengah tekanan sosial. Oleh karena itu, meskipun iitoko-dori menjadi sumber daya budaya yang berharga, Jepang perlu memastikan keseimbangan antara penerimaan nilai baru dan penegakan prinsip-prinsip yang kokoh demi keberlanjutan masyarakatnya di masa depan.
Fauzan, A. (2023). Iitokodori: Menyerap Inspirasi Jepang untuk Membangun Indonesia. Kumparan. Diakses dari https://kumparan.com/fauzan-anggie-1698055457059511027/iitokodori-menyerap-inspirasi-jepang-untuk-membangun-indonesia-23gkiYMJjlX
Ael, A. (2023). Iitoko-Dori: Adaptasi Elemen Budaya Asing. Kumparan. Diakses dari https://kumparan.com/ael-ah/iitoko-dori-adaptasi-elemen-budaya-asing-21OrEYauJ3e
Indonesiana Team. (2022). Peran Iitoko-dori dalam Modernisasi Budaya Tradisional Jepang. Indonesiana. Diakses dari https://www.indonesiana.id/read/175725/peran-iitoko-dori-dalam-modernisasi-budaya-trdisional-jepang
Dale, P. (2017). Japanese Cultural Studies: A New Perspective on Iitoko-Dori. Journal of Japanese Studies, 43(2), 215-230.
Tanaka, Y. (2019). Cultural Borrowing in Japan: The Concept of Iitoko-Dori. Asian Cultural Studies, 12(1), 45-60.
Matsumoto, H. (2020). The Influence of Foreign Cultures on Japanese Society: The Role of Iitoko-Dori. Tokyo University Press.
Smith, R. (2021). Cultural Integration and Adaptation in Japan: Understanding Iitoko-Dori. Journal of Asian Studies, 80(3), 345-362.