Gara-Gara PKM-K, Kita Belajar Jadi Wirausahawan

Semester 6 itu… deg-degannya nggak kira-kira. Serius deh, rasanya tuh udah kayak mau masuk ke dunia skripsi padahal belum ya hehe. Awalnya kupikir cuma aku aja yang ngerasa gitu, tapi ternyata temen-temen juga banyak merasa hal yang sama. Salah satu yang bikin makin kerasa beratnya itu adalah ketika dapat mata kuliah Kewirausahaan.

Jujur, aku pikir Kewirausahaan itu cuma ada di kampusku aja (UNIKOM). Tapi ternyata setelah ngobrol sama temen dari kampus lain, mereka juga punya matkul yang sama. Mungkin dari namanya aja yang kadang beda atau sistemnya yang agak dimodifikasi. Intinya sih sama, kita diajak buat belajar berwirausaha.

Nah, di pertemuan pertama matkul ini kita langsung disuruh bikin kelompok berisi sekitar 3-4 orang. Katanya sih jumlah anggota disesuaikan sama program yang kita pilih. Kita dikasih 3 pilihan program, yaitu PKM, INBISKOM, dan DEC. Disinilah awal dilema kita dimulai.

Kelompokku udah kubentuk sih ada aku, Haris, dan Intan. Tapi kita masih bingung banget mau milih yang mana diantara PKM atau INBISKOM. Soalnya, dari teman lintas jurusan katanya PKM itu ribet banget karena harus bikin produk dan proposalnya panjang sedangkan INBISKOM katanya lebih santai. Tapi yaa… kita juga nggak punya usaha sama sekali buat dimasukin ke INBISKOM. Bener-bener nol pengalaman usaha.

Akhirnya setelah diskusi, kami putuskan buat ambil PKM-K, alias PKM Kewirausahaan. Alasannya? Karena setelah cari tahu lebih lanjut ternyata PKM-K ini bisa buat kita yang ingin berwirausaha dari nol. Walaupun ribet tapi kayaknya bisa jadi pengalaman baru yang seru juga.

Setelah milih PKM-K, tantangan berikutnya muncul yaitu bikin ide produk. Ini yang bikin kita semua nyerah duluan di awal. Kita bertiga tuh nggak ada yang pernah jualan atau buka usaha dari nol. Bener-bener polos. Jadi ketika disuruh bikin ide usaha, kita beneran mentok alias blank.

Kami kira PKM-K itu pilihan yang gampang dibanding PKM lain, tapi nyatanya… susah juga. Banyak banget aturannya. Salah satunya yang paling bikin kaget adalah nggak boleh produk dari makanan dan nggak boleh berbahan dasar kain. Waduh, padahal pas kita cari-cari refrensi produk PKM sebelumnya mayoritas itu makanan atau produk fashion dari kain. Jadi semua ide awal kami langsung gugur. Panik? Banget.

Awalnya kami kepikiran mau bikin sabun. Ya, mikirnya emang simpel aja karena sabun itu kan sehari-hari dipakai semua orang, lalu gampang diproduksi dan murah juga. Tapi waktu koor PKM tau ide kita, ternyata sabun kami itu nggak ada unsur ipteknya. Waduh, bingung lagi. Tapi ya sudahlah, kami coba brainstorming ulang.

Kami sempat sepakat buat mikir ide masing-masing dulu di rumah, lalu nanti baru dikumpulin dan didiskusikan. Jaki kayak bawa bekal ide gitu ke pertemuan selanjutnya. Selama proses itu, aku jadi mikir mungkin enaknya mulai dari target pasar dulu kali ya baru ide produknya nyusul.

Aku mikir siapa sih yang butuh bantuan dalam kehidupan sehari-hari? Siapa yang jadi target utama kalau ngomongin produktivitas dan motivasi belajar? Yap, jawabannya datang dari pengalaman pribadi. Aku ingat banget ketika masih SMA termasuk yang ambis banget, apalagi kalau udah deket UTS atau UAS. Nggak tau kenapa, mungkin karena tekanan dari orang tua juga. Tapi begitu kuliah dan mulai ngekos, ambisi itu berkurang drastis. Fokus belajar jadi buyar, gampang capek, dan sering merasa mentok padahal belum ngapa-ngapain. Gimana ada yang relate ngga nih?

Setelah kupikir-pikir, mungkin ini ada hubungannya sama kondisi lingkungan belajar. Dulu pas masih di rumah ada orang tua yang ngingetin terus. Tapi di kosan? Ya bebas mau belajar atau rebahan seharian. Tapi justru kebebasan itu kadang jadi bumerang buat kita yang belum bisa ngatur diri sendiri.

Nah dari situlah muncul ide awal, gimana kalau kita bikin sesuatu yang bisa bantu pelajar atau mahasiswa biar tetap fokus belajar. Aku sempat ngobrol ke Haris dan Intan pun mereka juga setuju. Target pasar kita berarti mahasiswa atau pelajar dan produk yang kita bikin harus bisa jadi “teman belajar”.

Aku sempat kepikiran buat bikin alat bantu belajar yang punya fitur timer dan lampu suasananya. Idenya sih dari teknik Pomodoro. Teknik Pomodoro itu teknik belajar dengan membagi waktu belajar jadi blok-blok tertentu biar nggak gampang lelah. Tapi bukan cuma timer aja, kita juga pengen ada unsur mood-nya. Jadi kayak lampu belajar yang warnanya bisa berubah sesuai kebutuhan biar suasananya mendukung dan nyaman. Kan kadang kita butuh semangat, kadang butuh tenang.

Waktu menyampaikan ide ini ke kelompok ternyata responnya cukup positif. Haris langsung kepikiran konsep desainnya sedangkan Intan mulai nyari referensi alat serupa. Kita diskusi cukup lama karena kita pengen produknya itu benar-benar punya manfaat dan bukan asal jadi. Kita juga mulai mikirin apakah alat ini bisa dipakai portabel, apakah butuh daya listrik besar, atau bisa diisi ulang. Pokoknya kita bikin sedetail mungkin.

Proses setelah punya ide ini masih panjang banget. Kita harus nyusun proposal, lengkap dengan latar belajar, analisis SWOT, strategi pemasaran, hingga perhitungan biaya produksi dan keuntungan. Jujur aja, kadang kami berasa kaya entrepreneur beneran dari ngitung modal awal, harga jual, untung bersih, bahkan mikirin packaging dan promosi.

Awalnya kami pikir proposal PKM itu yaa kayak bikin makalah biasa, ternyata beda banget. Formatnya udah ditentukan, terus bagian-bagiannya lumayan banyak dan harus sesuai pedoman dari Simbelmawa Kemdikbud. Kita sampai baca-baca proposal yang pernah lolos tahun-tahun sebelumnya biar ada bayangan harus kayak gimana.

Yang lumayan bikin pusing juga bagian rencana anggaran. Kita harus bikin perincian dana yang realistis, tapi tetap masuk akal. Mulai dari beli bahan, alat produksi, kemasan, sampai biaya pemasaran. Intan sempat usul pakai bahan A karena lebih murah, tapi ternyata dari segi kualitas kurang cocok. Jadi harus revisi lagi. Kita sempat diskusi lama banget cuma buat nentuin harga pokok dan proyeksi keuntungan.

Selama ngerjain ini, aku belajar banyak banget. Bukan cuma soal dunia wirausaha, tapi juga soal manajemen waktu, komunikasi tim, dan cara berpikir kreatif. Jadi ketua kelompok tuh rasanya campur aduk, antara seneng dipercaya tapi juga sering stres karena harus ngatur semuanya. Tapi beruntungnya, ada anggota kelompok Haris dan Intan yang support banget. Kita bagi tugas berdasarkan kemampuan masing-masing. Haris bagian desain dan teknis, Intan bantuin survei pasar dan nulis bagian strategi, dan aku ngurus alur keseluruhan dan proposal.

Kadang kami juga sempat beda pendapat. Tapi untungnya kita bisa saling mendengar dan akhirnya sepakat ambil jalan tengah. Proyek ini bikin aku makin ngerti pentingnya komunikasi dan saling percaya. Tanpa itu, kelompok bisa kacau.

Kami sempat stuck beberapa kali, terutama prototipe produknya. Tapi karena dibimbing juga sama dosen mentor, akhirnya pelan-pelan bisa jalan. Proposal kami belum sepenuhnya selesai dan masih banyak yang perlu direvisi. Untungnya kami selalu buat timeline tiap minggunya agar proposal beres sesuai waktunya. Walaupun belum tau akan lolos pendanaan atau tidak tapi perjuangan dari awal bener-bener kerasa.

Aku juga jadi lebih paham bahwa dalam PKM-K yang dinilai itu bukan cuma produk akhirnya aja, tapi juga proses berpikir, kreativitas, dan bagaimana kita menjawab kebutuhan pasar. Dan itu semua butuh waktu dan kerja keras.

Yang paling berkesan dari pengalaman ini adalah aku merasa belajar hal yang nggak bisa didapat cuma dari kelas. Kita diajarin langsung lewat bimbingan/mentoring dan itu yang bikin ilmunya nyangkut di kita. Aku jadi sadar bahwa dunia usaha itu bukan cuma soal “punya ide bagus” tapi juga soal cara kita mewujudkan ide itu jadi sesuatu yang nyata dan berguna.

Kalau ada yang tanya “Worth it nggak sih ikut PKM-K” Jawabanku, worth it banget. Apalagi buat yang belum punya pengalaman usaha sama sekali. Ini semacam simulasi nyata sebelum terjun ke dunia profesional. Kita belajar kerjasama tim, mikir out of the box, dan berani ambil keputusan.

Ada momen juga di mana kami kayak ngerasa “gini doang idenya, bisa nggak ya tembus?” Tapi di situ kami belajar buat nggak insecure sama ide sendiri. Soalnya kadang bukan tentang seberapa canggih idenya, tapi seberapa bermanfaat dan realistis buat direalisasikan. Itu yang bikin kami makin percaya diri buat lanjutin.

Jadi, buat kalian yang mungkin sekarang masih bingung milih antara PKM atau program lain yah coba aja dulu. Jangan pernah takut salah atau gagal. Kadang ide terbaik justru lahir dari pengalaman pribadi yang sederhana. Seperti aku, yang awalnya cuma mikir kenapa jadi males belajar sejak ngekos. Akhirnya bisa bikin alat bantu belajar buat orang-orang yang ngalamin hal sama.

Sekarang, setiap kali lihat progress ide ini rasanya seneng sendiri. Ada rasa bangga karena ternyata kami bisa. Bisa mulai dari nol, bisa berproses bareng, dan bisa menyelesaikan tantangan satu per satu. Buat aku pribadi ini bukan cuma soal tugas kuliah, tapi pengalaman hidup yang berharga banget.

Dan lucunya, sekarang aku malah jadi lebih peka sama sekitar. Setiap ngeliat masalah atau kebutuhan orang suka refleks mikir, “Eh ini bisa jadi produk ngga ya?” Rasanya kayak otak udah kebentuk ke arah kreatif dan problem-solving. Padahal dulunya, aku ngerasa nggak jago mikir kreatif sama sekali. Ternyata emang semua itu bisa dilatih, asalkan kita mau mulai.

Semoga nanti produk kita beneran bisa dikembangin dan jadi nyata ya, bukan cuma proposal doang. Kalau nggak sekarang, ya mungkin suatu hari nanti. Yang penting, kita udah mulai langkah pertamanya.