Deteksi Kantuk Pengemudi Berbasis Sinyal EEG (Elektroensefalografi): Sebuah Tinjauan Sistematis terhadap Metode Ekstraksi Fitur dan Klasifikasi

Kecelakaan lalu lintas akibat pengemudi mengantuk menjadi salah satu masalah serius dalam keselamatan transportasi. Teknologi deteksi kantuk secara real-time menawarkan solusi preventif yang menjanjikan. Di antara berbagai pendekatan, sinyal Elektroensefalografi (EEG) dianggap sebagai standar emas karena kemampuannya merefleksikan aktivitas otak secara langsung. Tinjauan sistematis ini bertujuan untuk mengupas tuntas berbagai metode yang digunakan dalam sistem deteksi kantuk berbasis EEG, dengan fokus utama pada dua tahapan krusial: ekstraksi fitur dan klasifikasi. Artikel ini mengidentifikasi, membandingkan, dan membahas metode-metode yang paling umum dan paling efektif yang dilaporkan dalam literatur ilmiah terkini. Hasil tinjauan menunjukkan bahwa metode berbasis analisis spektral seperti Power Spectral Density (PSD) dan metode time-frequency seperti Transformasi Wavelet dominan digunakan untuk ekstraksi fitur. Di sisi klasifikasi, Support Vector Machine (SVM) masih menjadi pilihan populer, namun model Deep Learning seperti Convolutional Neural Networks (CNN) menunjukkan performa superior dalam beberapa penelitian terbaru. Artikel ini diakhiri dengan diskusi mengenai tantangan yang ada dan arah penelitian di masa depan.

1. Pendahuluan: Masalah Klasik di Balik Kemudi

    Siapa sih yang tidak pernah merasa lelah atau mengantuk saat berkendara, apalagi saat perjalanan jauh atau setelah seharian beraktivitas? Rasa kantuk ini bukan sekadar rasa tidak nyaman, tapi juga ancaman serius. Data dari berbagai lembaga keselamatan lalu lintas dunia menunjukkan bahwa microsleep tidur singkat selama beberapa detik tanpa disadari adalah salah satu penyebab utama kecelakaan fatal. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) di Indonesia juga seringkali menyoroti faktor kelelahan sebagai kontributor signifikan dalam investigasi kecelakaan, terutama pada angkutan umum dan logistik.

    Saat mengantuk, kemampuan kognitif kita menurun drastis. Waktu reaksi melambat, kewaspadaan berkurang, dan pengambilan keputusan menjadi tidak akurat. Untuk mengatasi ini, para peneliti mengembangkan berbagai sistem deteksi kantuk. Ada yang berbasis perilaku (misalnya, melacak frekuensi kedipan mata atau posisi kepala dengan kamera), ada pula yang berbasis fisiologis.

    Nah, di antara metode fisiologis, sinyal EEG (Elektroensefalografi) memegang peranan istimewa. EEG merekam aktivitas listrik di otak kita. Karena rasa kantuk adalah sebuah kondisi neurologis, perubahan pada sinyal otak adalah indikator yang paling akurat dan sulit untuk dipalsukan. Ketika kita mulai mengantuk, pola gelombang otak kita berubah secara signifikan. Inilah yang membuat deteksi berbasis EEG sangat menjanjikan.

    Artikel ini akan menjadi pemandu bagi kamu yang tertarik pada topik ini. Kita akan melakukan tinjauan sistematis untuk membedah “jeroan” dari sistem deteksi kantuk berbasis EEG, khususnya pada dua langkah paling penting: bagaimana cara kita “mengambil” informasi penting dari sinyal EEG (ekstraksi fitur) dan bagaimana mesin “memutuskan” apakah seseorang mengantuk atau tidak (klasifikasi).

    2. Memahami Sinyal EEG dan Kantuk

    Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu kenalan dulu dengan “bahasa” otak yang terekam oleh EEG. Sinyal EEG dikelompokkan ke dalam beberapa pita frekuensi, dan masing-masing punya cerita sendiri:

    • Delta (delta, 0.5-4 Hz): Dominan saat kita tidur nyenyak.
    • Theta (theta, 4-8 Hz): Muncul saat kita dalam kondisi relaksasi mendalam, meditasi, atau kantuk.
    • Alpha (alpha, 8-13 Hz): Terlihat saat mata tertutup dan kondisi mental rileks namun terjaga. Peningkatan aktivitas alpha sering kali menjadi penanda awal datangnya kantuk.
    • Beta (beta, 13-30 Hz): Dominan saat kita terjaga, waspada, dan aktif berpikir atau berkonsentrasi.
    • Gamma (gamma, >30 Hz): Terkait dengan pemrosesan informasi tingkat tinggi.

    Ketika seorang pengemudi mulai merasa mengantuk, terjadi pergeseran daya pada pita frekuensi ini. Secara umum, kekuatan sinyal di pita Theta dan Alpha akan meningkat, sementara kekuatan sinyal di pita Beta akan menurun. Perubahan inilah yang menjadi dasar bagi algoritma untuk mendeteksi kantuk.

    Tahap 1: Ekstraksi Fitur Menggali Informasi Tersembunyi

    Sinyal EEG mentah itu sangat kompleks dan “berisik” (noisy). Kita tidak bisa langsung memberikannya ke mesin untuk dianalisis. Kita perlu mengekstrak “fitur” atau informasi yang paling relevan yang menandakan kantuk. Bayangkan kita sedang mencari jarum di tumpukan jerami; ekstraksi fitur adalah proses menggunakan magnet untuk menarik jarum tersebut.

    Berikut adalah beberapa metode ekstraksi fitur yang paling populer dalam literatur:

    a. Metode Domain Waktu (Time-Domain)

    Metode ini menganalisis sinyal berdasarkan perubahannya terhadap waktu. Caranya relatif sederhana dan cepat secara komputasi. Contohnya termasuk menghitung nilai statistik seperti:

    • Mean (rata-rata)
    • Variance (variansi)
    • Standard Deviation (deviasi standar)
    • Kurtosis & Skewness (mengukur bentuk distribusi sinyal)
    • Meskipun cepat, metode ini kadang kurang sensitif terhadap perubahan halus yang terkandung dalam frekuensi sinyal.

    b. Metode Domain Frekuensi (Frequency-Domain)

    Metode ini mengubah sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi, biasanya menggunakan Fast Fourier Transform (FFT). Dari sini, fitur yang paling umum diekstraksi adalah Power Spectral Density (PSD). PSD pada dasarnya memberitahu kita seberapa besar “kekuatan” atau energi pada setiap pita frekuensi (Alpha, Beta, Theta, dll.). Banyak penelitian sukses menggunakan rasio dari kekuatan pita-pita ini, misalnya (alpha+theta)/
    beta, sebagai fitur yang sangat andal untuk mendeteksi kantuk.

    c. Metode Domain Waktu-Frekuensi (Time-Frequency Domain)

    Metode ini adalah gabungan dari keduanya, memberikan informasi frekuensi pada titik waktu tertentu. Sangat cocok untuk menganalisis sinyal non-stasioner seperti EEG. Metode yang paling terkenal adalah Transformasi Wavelet (Wavelet Transform). Wavelet mampu memecah sinyal menjadi komponen frekuensi yang berbeda dengan resolusi waktu yang baik, sehingga bisa menangkap perubahan kantuk yang terjadi secara tiba-tiba, seperti saat microsleep.

    d. Metode Non-Linear

    Otak adalah sistem yang sangat kompleks dan dinamis. Metode non-linear mencoba menangkap kompleksitas ini. Fitur seperti Approximate Entropy (ApEn) dan Sample Entropy (SampEn) digunakan untuk mengukur tingkat keteraturan atau prediktabilitas sinyal EEG. Sinyal dari otak yang waspada cenderung lebih kompleks (entropi tinggi) dibandingkan otak yang mengantuk.

    Tahap 2: Klasifikasi – Sang Pengambil Keputusan

    Setelah fitur-fitur berhasil diekstrak, langkah selanjutnya adalah memberikannya kepada sebuah model machine learning yang disebut classifier (pengklasifikasi). Tugas classifier adalah belajar dari data yang sudah diberi label (misalnya, data EEG saat subjek “terjaga” dan saat “mengantuk”), lalu menggunakan pengetahuan itu untuk mengklasifikasikan data baru secara otomatis.

    Berikut adalah beberapa classifier yang sering bertarung di arena ini:

    a. Support Vector Machine (SVM)

    SVM adalah “legenda” di dunia machine learning. Algoritma ini bekerja dengan cara mencari garis atau hyperplane terbaik yang memisahkan dua kelas data (misalnya, kelas “waspada” vs. “mengantuk”) dengan margin sebesar mungkin. SVM dikenal sangat efektif, terutama jika data tidak terlalu banyak dan fiturnya sudah diekstraksi dengan baik.

    b. k-Nearest Neighbors (k-NN)

    Ini adalah salah satu algoritma paling intuitif. Untuk mengklasifikasikan data baru, k-NN hanya melihat ‘k’ tetangga terdekatnya dalam ruang fitur. Jika mayoritas tetangganya adalah kelas “mengantuk”, maka data baru itu juga akan diklasifikasikan sebagai “mengantuk”. Sederhana namun seringkali cukup efektif.

    c. Linear Discriminant Analysis (LDA)

    LDA adalah metode klasifikasi statistik yang mencoba menemukan kombinasi fitur linier yang paling baik dalam memisahkan dua atau lebih kelas. LDA sangat cepat dan bekerja dengan baik pada banyak masalah, termasuk deteksi kantuk.

    d. Deep Learning: Convolutional Neural Networks (CNN)

    Inilah “bintang baru” dalam beberapa tahun terakhir. Keunggulan utama CNN adalah kemampuannya untuk mempelajari fitur secara otomatis langsung dari data mentah atau data yang minim pemrosesan (seperti spektogram hasil FFT atau Wavelet). Artinya, CNN bisa menemukan pola-pola relevan yang mungkin tidak terpikirkan oleh manusia. Beberapa penelitian menunjukkan CNN mampu mengungguli metode-metode tradisional dalam hal akurasi, meskipun membutuhkan data yang lebih banyak dan komputasi yang lebih berat.

    Tantangan dan Arah Penelitian Masa Depan

    Meskipun sudah banyak kemajuan, jalan menuju sistem deteksi kantuk EEG yang sempurna dan praktis masih panjang. Beberapa tantangannya adalah:

    • Kepraktisan Perangkat: Helm EEG dengan banyak kabel tentu tidak nyaman dipakai untuk berkendara sehari-hari. Penelitian kini bergerak ke arah sensor EEG yang lebih minimalis, nirkabel, dan bahkan terintegrasi ke dalam aksesoris seperti topi atau headband.
    • Variabilitas Individu: Pola sinyal EEG setiap orang itu unik. Sebuah model yang dilatih pada data satu orang mungkin tidak akan bekerja dengan baik pada orang lain. Sistem di masa depan perlu lebih adaptif atau terpersonalisasi.
    • Real-Time Processing: Semua proses, dari akuisisi sinyal, ekstraksi fitur, hingga klasifikasi, harus terjadi dalam hitungan detik untuk bisa memberikan peringatan yang efektif. Ini menuntut algoritma yang efisien.
    • Ketahanan terhadap Artefak: Sinyal EEG sangat rentan terhadap “gangguan” atau artefak, seperti gerakan mata, kedipan, atau ketegangan otot. Metode pra-pemrosesan yang canggih sangat diperlukan untuk membersihkan sinyal ini.

    10122409
    Panji Wijaya
    Teknik Informatika – 11 (2022)

    Kesimpulan

    Deteksi kantuk pengemudi berbasis sinyal EEG adalah bidang penelitian yang sangat aktif dan menjanjikan. Melalui tinjauan sistematis ini, kita melihat bahwa tidak ada satu “resep” tunggal yang sempurna. Kombinasi antara metode ekstraksi fitur dan klasifikasi harus dipilih dengan cermat.

    Metode ekstraksi fitur berbasis frekuensi (PSD) dan waktu-frekuensi (Wavelet) terbukti sangat efektif dalam menangkap perubahan neurologis yang terkait dengan kantuk. Sementara itu, di sisi klasifikasi, SVM tetap menjadi pilihan yang solid dan andal, namun arsitektur deep learning seperti CNN menunjukkan potensi luar biasa untuk mencapai akurasi yang lebih tinggi dengan kemampuan belajar fitur secara otomatis.

    Ke depannya, fokus penelitian akan terus bergeser ke arah pengembangan sistem yang tidak hanya akurat, tetapi juga nyaman, adaptif, dan cukup cepat untuk penggunaan di dunia nyata. Dengan begitu, kita selangkah lebih dekat untuk menciptakan perjalanan yang lebih aman bagi semua orang.

    Referensi :

    Aboalayon, K. A. I., Faezipour, M., Almuhammadi, W. S., & Moslehpour, S. (2016). Sleep Stage Classification Using EEG Signal Analysis: A Comprehensive Survey and New Investigation. Entropy, 18(9), 272.


    Wei, C. S., Wang, Z. Z., Lin, C. T., & Jung, T. P. (2021). EEG-based drowsiness detection using convolutional neural networks. Frontiers in Neuroinformatics, 15, 664147.


    Picot, A., Charbonnier, S., & Caplier, A. (2012). On-line detection of drowsiness using a single EEG channel. In 2012 Annual International Conference of the IEEE Engineering in Medicine and Biology Society (pp. 2044-2047). IEEE.


    Chai, R., Naik, G. R., Nguyen, T. N., Ling, S. H., Tran, Y., Craig, A., & Celler, B. (2017). Driver fatigue classification with independent component by entropy rate in a driving simulator. Expert Systems with Applications, 88, 203-211.


    National Safety Council. (2023). Fatigue: What You Don’t Know Can Kill You. Itasca, IL.
    Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). (Berbagai Tahun). Laporan Investigasi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. [Diakses dari situs resmi KNKT, di mana laporan sering menyebutkan kelelahan sebagai faktor penyebab].