Cerdas Layaknya Manusia

MIMICKING THE BRAIN

Kalimat “Connectionism is an approach to AI in which informations represented by patterns of connection and activity in a network” menggambarkan bahwa manusia telah membuat sebuah program yang cara kerjanya hampir sama dengan otak manusia. AI merepresentasikan konsep atau pola yang kompleks pada setiap neuron dalam jaringan seperti otak manusia dan juga bisa memproses banyak informasi dalam waktu yang sama, sedangkan rata-rata manusia hanya bisa melakukannya dengan satu informasi saja. Jika misal manusia memiliki Informasi-1 kemudian kehilangan Informasi-1.a maka Informasi-1.b, 1.c, 1.d, 1.e manusia masih akan bisa memproses keseluruhan Informasi-1 tanpa adanya Informasi-1.a, dan kecerdasan buatan hebatnya juga bisa melakukan hal serupa yang dinamakan ‘Fault Tolerance’.

LEARN

Seorang bayi dilahirkan, yang 2-3 tahun kemudian bayi akan mempelajari sebuah kata yang didengar di sekitarnya. Dan sampai menjadi orang tua, bayi itu akan terus mempelajari atau memahami sebuah data yang diterimanya. Sama halnya dengan program AI yang akan melakukan tindakan apa saja yang diberikan oleh sang pemrogram, kemudian melakukan tindakan yang di luar dari perintah si pemrogram. Tindakan yang di luar perintah itu disebut algoritma ‘Machine Learning’, menggunakan sampel data yang sudah dimiliki untuk melakukan pilihan tindakan selanjutnya.

CALCULATE THE FUTURE

Kembali pada peradaban kuno seperti Mesir, Yunani, dan Romawi. Manusia bisa memprediksi cuaca dengan memperhatikan tanda-tanda alam seperti perubahan langit, angin, dan pola awan, kemudian manusia mencatat hasil pengamatannya untuk memperkirakan cuaca yang akan datang. Dengan banyak data yang sudah dikumpulkan, AI juga bisa memprediksi makhluk hidup seperti manusia yang contoh simpelnya; pada saat manusia membaca artikel tentang Cuaca-1.C maka pada halaman artikel selanjutnya AI akan merekomendasikan artikel tentang Cuaca-1.A “If this condition is true for the current facts, then do this; if it is false, do nothing”.

HUMAN-LIKE

Dengan banyak data yang sudah dimilikinya, AI hampir bisa melakukan apa yang manusia biasa lakukan. Meski terdengar sempurna, AI juga memiliki salah satu kemampuan manusia yang sangat penting yaitu sebuah ‘kesalahan’. Di pandangan manusia kalau komputer itu sangat pintar dan tidak memiliki kesalahan, lain halnya dengan AI yang memiliki kesalahan dan bahkan sebuah kesalahan yang AI lakukan akan menjadi sebuah tanda ‘warning’ untuk tidak dilakukannya lagi. Tapi AI ini mengetahui sebuah ‘kesalahan’ bukan karena mengetahuinya sendiri, melainkan ada sebuah feedback yang mengatakan kalau sesuatu itu memiliki kesalahan. Mengutip dari “The AI learns that succeeding is good and failing is bad”.

SIGHT

Seluruh manusia secara umum setuju bahwa jika mendengar kata ‘kucing’, pasti akan terbayangkan seekor kucing. Dengan menggabungkan pendengaran dan penglihatan manusia dalam prosesnya, sebuah gambaran yang awalnya hanya didengar akan menjadi sempurna saat melihat dan mendengar kucing tersebut. Proses visual pada komputer bekerja mirip dengan cara kerja manusia. Para engineers menggunakan ‘deep learning’ untuk mengotomatisasi tugas yang biasanya dilakukan oleh sistem visual biologis, seperti mata manusia dan bagian-bagian sistem sarafnya. Di bidang ‘Visi Komputer’, mereka menciptakan model yang cara kerjanya meniru penglihatan mata manusia dengan membuat sebuah objek menjadi bagian dari ‘mata’ untuk komputer melihatnya. Sebuah komputer diberikan input berupa gambar kucing ke dalam sistemnya yang kemudian diubah menjadi bentuk piksel (matriks angka). Input tersebut kemudian melewati beberapa lapisan dalam jaringan saraf tiruan di mana setiap lapisannya bertugas untuk mengekstrak bagian tertentu dari gambar tersebut. Setelah melewati beberapa lapisan, sistem akan menghasilkan output yang menunjukkan bahwa inputan tersebut termasuk ke kategori kucing.

MAKE THINGS DIFFICULT

Berawal dari para scientist yang berdebat tentang bagaimana pikiran berinteraksi dengan sang tubuh, dan disamakan kalau pikiran itu adalah sebuah ‘software’ yang tertanam di otak manusia. Kemudian munculah pertanyaan “Apakah mesin bisa berpikir?”. Edsger Dijkstra sebagai Scientist Computers, yang berkata, “Pertanyaan tentang apakah komputer dapat berpikir, sama seperti pertanyaan tentang apakah submarine itu berenang atau tidak”. Dengan kata lain, apakah AI bisa ‘berpikir’ atau tidak hanyalah masalah kesepakatan bahasa, bukan penemuan ilmiah. Para ilmuan ini hanya berdebat pada sesuatu apa yang bisa dilakukan sebuah ‘fungsi’ ini, daripada apa sebenarnya fungsi itu, dan jika submarine itu ‘berenang’ maka submarine memang ‘berenang’. Di sisi lain, Alan Turing menyatakan bahwa, kalau berdebat tentang pertanyaan itu sangatlah percuma.

DUPLICATATING MIND

Para Scientist yang memperdebatkan antara cara kerja manusia dan cara kerja mesin, di sini terdapat kaum komputasionalis yang berpendapat kalau pemikiran manusia bisa dihitung dengan direalisasikan oleh mesin maupun otak. Jika segampang itu untuk merealisasikannya, maka seharusnya mungkin untuk menulis program yang mereplikasi pikiran manusia yang kemudian bisa disalin dan dipindahkan seperti program lainnya. Itu berarti pikiran seseorang bisa diunggah ke server jarak jauh, diunduh, dan bahkan diduplikasi dengan jumlah yang tak terbatas.

AI = DISASTER?

Gambaran semua orang terhadap AI terkadang digunakan untuk membuat klaim yang berlebihan tentang potensi ancaman atau manfaat dari ‘Machine Learning’. Beberapa mitos tentang AI ini memicu ketakutan, seperti ramalan tentang robot yang tertanam AI canggih menjadi ‘mesin pembunuh’, algoritma mengerikan, dan eksistensial yang beresiko lainnya. Mitos lainnya melebih-lebihkan kamampuan machine learning ini, dengan menyatakan kalau AI itu katanya bersifat objektif, dan bahkan bisa berpikir sendiri. Pada kenyataannya, AI ini hanya mampu melakukan tugas yang sudah diprogramkannya saja. Kemampuan AI akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu, AI akan menjadi ancaman bagi umat manusia jika manusia itu sendirinya membuat kemungkinan itu terjadi. Ancaman yang sebenarnya hanyalah bias, niat, dan keterbatasan para pemrogramnya, serta data yang digunakan untuk melatih AI ini.

FUN FACT: ALGORITHM

Pada tahun 1948, Alan Turing dan seorang matemtaikawan bernama David Champernowne berusaha membuktikan kalau dengan algoritma yang tepat, sebuah mesin bisa memainkan catur. Tapi pada saat itu belum ada mesin yang bisa menjalankan sebuah algoritma, jadi Alan Turing sendiri berusaha menjadi peran sebagai ‘komputer’ untuk melakukan setiap langkah algoritma secara manual di atas kertas. ‘Turochamp’, adalah nama yang mereka berikan untuk algoritmanya, ini menjadi bukti lebih lanjut kalau komputer bisa melakukan perhitungan kompleks tanpa memahami apa yang mereka lakukan, tapi hanya mengikuti serangkaian instruksi.

ARTIFICIAL INTELLIGENCE

Mesin yang bisa melakukan instruksi sederhana, seperti kalkulator yang menerapkan aturan matematika, telah ada selama beberapa dekade. Membuat mesin yang bisa ‘belajar’, adalah dasar dari AI modern yang artinya jauh lebih baru dan kompleks. Untuk melakukannya, sang pemrogram menggunakan algoritma yang berulang kali disesuaikan melalui proses trial and error untuk meningkatkan akurasinya. Seperti evolusi alami, peningkatan yang terjadi ini bisa bersifat bertahap. Ketika AI menjadi lebih canggih, AI bisa berkontribusi pada proses pembelajaran mereka sendiri, walaupun saat ini AI masih membutuhkan bantuan manusia. Dengan kata lain, mengajarkan AI untuk belajar hanya berarti membuat AI menjadi lebih akurat dan handal.

Referensi: Claire Quigley, Simply Artificial Intelligence