Oleh : Albertha Sonia Martini Br. Tamba
Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Komputer Indonesia
Email : albertha.21223161@mahasiswa.unikom.ac.id
Pendahuluan
Dalam era modern yang dipenuhi oleh arus digital dan perubahan pola konsumsi masyarakat, membangun usaha bukan lagi sekadar tentang modal besar atau tempat strategis. Kini, ide yang kuat, eksekusi yang konsisten, dan strategi pemasaran yang tepat dapat menjadikan sebuah usaha kecil tumbuh menjadi merek lokal yang diperhitungkan.
Melalui mata kuliah Kewirausahaan Semester Genap 2024/2025 yang diselenggarakan oleh Universitas Komputer Indonesia, saya dan tim menjalankan tugas aktualisasi kewirausahaan sebagai bagian dari implementasi program INBISKOM (Inkubator Bisnis dan Kewirausahaan Mahasiswa UNIKOM). Artikel ini menjadi bentuk dokumentasi dari perjalanan kami dalam membangun Sate Michan, sebuah usaha kuliner yang kami mulai dari teras rumah, dengan semangat wirausaha dan komitmen kerja keras.
Artikel ini tidak hanya menjadi pemenuhan tugas akademik, tetapi juga merupakan cerminan dari proses belajar kami dalam dunia nyata: tentang mengelola tim, mengidentifikasi peluang pasar, membangun brand, hingga menghadapi tantangan nyata dalam berbisnis. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah mimpi kecil bisa tumbuh dengan niat besar.
Dari Obrolan Santai Menuju Usaha Nyata
Kisah ini bermula dari pertemuan santai antara kami empat orang mahasiswa dan lulusan baru yang sedang mencari arah. Di tengah kekosongan dan mencari pekerjaan, muncul keinginan untuk mencoba menciptakan sesuatu yang nyata dan berdampak. Kami menyadari bahwa menunggu kesempatan datang bukanlah pilihan satu-satunya. Justru, kami ingin menciptakan peluang sendiri, salah satunya melalui usaha kuliner.
Mengapa kuliner? Karena makanan adalah usaha yang berpeluang besar. Kami melihat tren masyarakat, khususnya anak muda, yang menyukai makanan cepat saji dengan rasa yang kuat dan harga terjangkau. Setelah melakukan observasi kecil di Bengkulu Selatan, kami menyadari bahwa varian makanan seperti sate taichan belum begitu dikenal luas, padahal tren makanan pedas dan praktis sedang naik daun. Ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan.
Dengan modal awal hanya Rp 500.000 hasil patungan, kami membeli bahan baku, arang, tusuk sate, dan keperluan dasar lainnya. Meja, kursi, dan alat-alat dapur kami pinjam dari rumah masing-masing. Kami pun memulai usaha ini secara sederhana—berjualan dari teras rumah. Tanpa spanduk besar, tanpa papan nama, hanya semangat yang kami punya.
Branding : Menciptakan Identitas Produk
Sesuai dengan arahan program INBISKOM yang menekankan pentingnya publikasi dan branding, kami menyadari bahwa produk kami harus memiliki identitas yang kuat. Maka, lahirlah nama Sate Michan nama yang unik, mudah diingat, dan terasa akrab. Nama ini menjadi pondasi utama kami dalam membangun kepercayaan pasar.
Langkah pertama kami dalam branding adalah membangun akun Instagram @warungsatemichann. Media sosial menjadi jendela utama untuk memperkenalkan produk, menjangkau pelanggan baru, serta membangun hubungan emosional dengan konsumen. Di sana, kami memposting bukan hanya foto produk, tetapi juga testimoni pelanggan, behin the scenes saat membakar sate, serta caption yang relevan dengan kehidupan anak muda.
Respons pasar sangat positif. Kami belajar bahwa dalam digital marketing, hal kecil seperti membalas DM dengan ramah atau mengunggah story yang lucu dapat menciptakan kesan mendalam dan mendorong loyalitas.
Inovasi Rasa dan Model Pelayanan
Kami menyadari bahwa produk kuliner tidak bisa hanya mengandalkan rasa yang “lumayan”. Harus ada pembeda. Maka, Sate Michan hadir dengan beberapa inovasi lokal, seperti:
• Sambal dengan beberapa level pedas yang bisa dipilih pelanggan.
• Taburan koya gurih khas yang memberi rasa unik.
• Menu pelengkap seperti mie taichan, lontong taichan, dan paket combo hemat.
• Kemasan praktis dan ramah lingkungan yang cocok untuk makan di tempat maupun dibawa pulang.
Dari sisi pelayanan, kami membuka sistem pre-order via WhatsApp, serta layanan delivery untuk area sekitar. Kami menyadari bahwa tidak semua pelanggan bisa datang langsung ke warung, sehingga fleksibilitas layanan menjadi nilai tambah tersendiri.
Aktivasi Komunitas : Warung Jadi Tempat Nongkrong
Salah satu ide promosi kreatif yang kami jalankan adalah nonton bareng (nobar) timnas. Kami menyediakan layar kecil dan tempat duduk bersama, menghadirkan suasana kekeluargaan di warung. Strategi ini membuat pelanggan tidak hanya datang untuk makan, tetapi juga untuk bersosialisasi dan bersenang-senang.
Dengan pendekatan ini, kami membangun komunitas kecil yang loyal. Beberapa pelanggan bahkan membantu mempromosikan produk kami melalui media sosial mereka tanpa diminta. Inilah kekuatan dari branding yang emosional, bukan sekadar transaksional.
Belajar dari Tantangan : Disiplin dan Tanggung Jawab
Perjalanan tidak selalu mulus. Kami menghadapi berbagai tantangan, seperti:
• Harga bahan baku yang naik turun, membuat margin keuntungan tidak stabil.
• Kesulitan logistik, terutama saat hujan deras yang membuat warung tidak bisa buka.
• Pembagian tugas yang tidak merata, sempat membuat tim kurang solid.
Namun justru dari situ kami belajar. Kami mulai mencatat seluruh transaksi harian, menyusun laporan keuangan sederhana, dan membagi peran secara adil. Setiap anggota memiliki tanggung jawab jelas: ada yang bertugas di dapur, bagian keuangan, promosi media sosial, hingga pengantaran.
Kami juga menerapkan sistem gaji mingguan berdasarkan pembagian keuntungan bersih. Ini membuat semua anggota merasa dihargai dan lebih bertanggung jawab terhadap kinerja usaha.
Dampak Akademik dan Profesional
Kegiatan ini bukan hanya berdampak pada kemampuan bisnis, tetapi juga memberikan efek positif terhadap pembelajaran akademik kami. Kami jadi lebih memahami materi seperti:
• Segmentasi pasar dan targeting (Kotler & Keller, 2016).
• Manajemen operasional dan keuangan mikro skala UMKM.
• Strategi pemasaran digital, khususnya melalui media sosial.
Lebih dari itu, usaha ini memberikan kami pengalaman nyata yang tidak bisa digantikan oleh teori semata. Kami belajar komunikasi interpersonal, pengambilan keputusan di bawah tekanan, serta pentingnya kerja sama dan empati dalam tim.
Pendekatan Branding Emosional : Membangun Ikatan, Bukan Sekadar Jualan
Selain menjual produk, kami belajar membangun brand yang punya kedekatan emosional dengan pelanggan. Kami tidak ingin Sate Michan dikenal hanya karena rasanya yang enak, tetapi juga karena pengalaman dan suasana yang kami tawarkan.
Warung kami tidak hanya menjadi tempat makan, tetapi juga tempat nongkrong yang menyenangkan, ruang pertemanan, bahkan tempat menonton bola bareng. Dari sini, kami membangun hubungan emosional yang kuat, sehingga pelanggan tidak hanya datang karena lapar, tapi juga karena ingin merasa “nyaman” di lingkungan yang akrab.
Kami percaya, di era sekarang, brand yang menyentuh sisi emosional konsumen lebih tahan lama dibandingkan hanya mengandalkan harga murah atau diskon. Itulah mengapa kami terus konsisten membalas komentar, menyapa pelanggan dengan sapaan unik, dan membagikan momen kecil yang hangat di media sosial kami.
Kesiapan Menghadapi Risiko dan Ketidak pastian
Dalam proposal, kami mencatat beberapa masalah potensial pelanggan, seperti ketidakstabilan harga bahan, kenyamanan tempat duduk, hingga keterbatasan akses untuk pelanggan di luar kota. Berdasarkan hal itu, kami juga mulai merancang langkah antisipasi risiko, antara lain:
• Menjalin lebih dari satu relasi supplier agar pasokan bahan tetap stabil saat harga naik
• Menggunakan kemasan insulasi panas untuk pesanan luar kota yang ingin dibawa pulang
• Menyediakan opsi kursi plastik dan meja tambahan saat ramai, agar pelanggan tetap nyaman
Kami menyadari bahwa usaha kuliner sangat bergantung pada kondisi pasar harian. Oleh karena itu, strategi fleksibel dan kesiapan menghadapi kemungkinan terburuk harus selalu menjadi bagian dari perencanaan kami.
Visi Menjadi Role Model Mahasiswa Wirausaha
Sebagai mahasiswa dari Program Studi Manajemen UNIKOM, saya pribadi memiliki harapan agar Sate Michan tidak hanya menjadi usaha yang menghasilkan, tetapi juga bisa menjadi percontohan untuk mahasiswa lain yang ingin memulai bisnis dari nol.
Saya berharap usaha ini bisa membuktikan bahwa:
• Mahasiswa bisa mulai dari modal kecil
• Tanpa menunggu lulus, kita bisa mandiri secara ekonomi
• Kegiatan bisnis bisa sejalan dengan tugas akademik
Membangun Soft Skill : Kepemimpinan, Negosiasi, dan Empati
Di luar aspek teknis, menjalankan Sate Michan juga menjadi sekolah kehidupan bagi saya dan tim. Kami tidak hanya belajar membuat sate, tetapi juga belajar memimpin, menyampaikan pendapat, menyelesaikan konflik, dan mendengar orang lain.
Beberapa pembelajaran penting yang kami alami:
• Kepemimpinan bukan tentang memberi perintah, tapi soal bisa diandalkan saat ada masalah.
• Negosiasi dengan supplier menjadi seni tersendiri. Kadang kami harus membeli dalam jumlah kecil namun tetap menjaga relasi baik agar tetap dipercaya.
• Empati terhadap pelanggan sangat penting. Ada kalanya pesanan telat atau rasa makanan tidak sesuai harapan. Belajar meminta maaf dengan tulus dan menawarkan solusi menjadi bagian dari pertumbuhan kami sebagai pelaku usaha.
Kami menyadari bahwa wirausaha adalah tempat menempah karakter, bukan hanya sekadar mencari keuntungan. Ini adalah bagian paling berharga dari perjalanan kami yang tidak akan pernah kami lupakan, dan mungkin tidak akan kami dapatkan di kelas perkuliahan sekalipun.
Mengangkat Nilai Budaya Lokal dalam Branding Produk
Meskipun menu utama kami, sate taichan, merupakan kuliner populer nasional yang identik dengan rasa modern, kami berupaya agar Sate Michan tetap memiliki sentuhan lokal Bengkulu Selatan dalam beberapa pendukungnya.
Beberapa pendekatan yang kami terapkan antara lain:
• Menggunakan bumbu dan rempah dari pasar lokal, bukan bahan instan dari luar daerah.
• Menyajikan sate dalam bungkus daun pisang untuk varian tertentu, agar terasa lebih autentik dan berakar pada tradisi kuliner lokal.
• Menyesuaikan rasa sambal khas Michan agar tidak sekadar pedas, tapi juga gurih dan beraroma khas, sesuai preferensi lidah masyarakat sekitar.
Dengan pendekatan ini, kami tidak hanya menjual makanan modern, tetapi juga memperkenalkan makanan kekinian. Ini menjadi referensi kuat di tengah banyaknya warung sate yang hanya meniru konsep urban Jakarta.
Harapan ke Depan: Usaha Mahasiswa yang Berkelanjutan
Publikasi artikel ini bukan hanya bentuk pertanggung jawaban akademik dalam mata kuliah Kewirausahaan dan program INBISKOM, tetapi juga sebagai pengingat bahwa usaha kecil bisa punya dampak besar. Kami berharap Sate Michan bisa terus bertumbuh menjadi:
• Usaha kuliner lokal yang dikenal luas di Bengkulu dan sekitarnya.
• Penyedia lapangan kerja bagi mahasiswa dan warga sekitar.
• Inspirasi bagi mahasiswa lain untuk berani memulai dari nol.
• Brand yang mendukung produk lokal, bahan segar, dan keunikan rasa nusantara.
Kami berencana untuk memperluas jangkauan dengan membuka cabang kecil di lokasi strategis, serta mengembangkan menu baru sesuai tren pasar. Jika memungkinkan, kami juga ingin mengikuti program pendanaan lanjutan seperti P2MW atau kompetisi bisnis mahasiswa lainnya.
Signature:
Albertha Sonia Martini Br. Tamba
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Komputer Indonesia
Email: albertha.21223161@mahasiswa.unikom.ac.id
Instagram: @warungsatemichann
Referensi:
• Proposal Usaha “Sate Michan” – P2MW 2025
• Materi Kewirausahaan Genap 2024/2025 – Program INBISKOM UNIKOM
http://lms.unikom.ac.id/
• Kotler, P. & Keller, K.L. (2016). Marketing Management. Pearson Education.