Simulasi dan Evaluasi Floodie: Sistem Deteksi Banjir Terjangkau Berbasis IoT dan Telegram

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan curah hujan tinggi, terletak di daerah tropis dan dilintasi garis khatulistiwa. Setiap tahun, bencana banjir menjadi isu berulang yang menyebabkan kerugian besar, baik secara materiil maupun psikologis. Perubahan iklim global juga memicu peningkatan intensitas curah hujan dan ketidakteraturan musim, sehingga membuat risiko banjir semakin tidak terprediksi.

Kondisi ini mendorong perlunya sistem peringatan dini yang dapat bekerja cepat, murah, dan bisa digunakan oleh siapa saja, termasuk masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil dan terbatas akses teknologi. Sistem yang terlalu mahal atau kompleks akan menyulitkan proses adopsi secara luas, apalagi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah yang justru menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak banjir.

Negara-negara seperti Jepang dan Belanda telah mengembangkan sistem mitigasi bencana yang sangat maju. Di Jepang, sistem deteksi banjir menggunakan jaringan sensor terintegrasi dengan siaran televisi, radio, dan aplikasi darurat. Di Belanda, sistem kanal otomatis dan pengendali debit sungai dipadukan dengan platform edukasi warga berbasis aplikasi. Indonesia masih tertinggal dalam hal ini, khususnya di tingkat komunitas lokal seperti RT dan RW. Inilah celah yang coba diisi oleh Floodie.

Floodie merupakan sistem peringatan dini banjir yang dikembangkan oleh tim mahasiswa dengan pendekatan teknologi rendah biaya, mudah digunakan, dan mengutamakan komunikasi langsung kepada warga. Dengan mengintegrasikan sensor cuaca, mikrokontroler, serta Bot Telegram sebagai platform penyampai pesan, Floodie menawarkan solusi yang cepat dan akurat untuk mendeteksi dan menyampaikan ancaman banjir secara real-time.

Floodie dirancang agar bisa diimplementasikan di lingkungan mana pun, baik perkotaan maupun pedesaan, dengan kebutuhan energi dan biaya yang sangat minim. Hal ini memungkinkan komunitas untuk memiliki sistem yang berfungsi sebagai penjaga lingkungan tanpa harus bergantung pada sistem informasi pemerintah pusat yang terkadang lambat dan tidak responsif.


Rumusan Masalah dan Tujuan

Proyek ini diawali dari pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Bagaimana membangun sistem deteksi dini banjir berbasis sensor dengan biaya rendah namun tetap akurat?
  2. Bagaimana menyampaikan informasi peringatan banjir secara cepat dan mudah dipahami oleh masyarakat?
  3. Bagaimana desain sistem yang dapat digunakan secara berkelanjutan dan direplikasi di berbagai daerah?

Tujuan utama proyek ini adalah:

  1. Merancang prototipe alat deteksi banjir berbasis sensor cuaca dan ketinggian air.
  2. Mengembangkan sistem pengiriman informasi otomatis melalui Bot Telegram.
  3. Menguji efektivitas sistem dalam skenario simulasi dan lapangan.
  4. Menyediakan dokumentasi dan panduan bagi komunitas untuk membangun sistem serupa.
  5. Membangun pondasi awal untuk pengembangan ekosistem deteksi banjir komunitas berbasis teknologi sederhana.

Desain Sistem Floodie

Floodie terdiri dari tiga bagian utama:

  1. Sensor dan Mikrokontroler:
    • Sensor YL-83 mendeteksi curah hujan.
    • HC-SR04 digunakan untuk mengukur ketinggian air.
    • Sensor DHT11 mencatat suhu dan kelembapan.
    • Semua sensor dikendalikan oleh NodeMCU ESP8266 yang juga menangani koneksi Wi-Fi.
  2. Sistem Cloud:
    • Data dari sensor dikirim ke platform Thingspeak dan Firebase untuk pencatatan dan pemantauan.
  3. Bot Telegram:
    • Digunakan untuk mengirim pesan otomatis kepada warga apabila ambang batas cuaca atau ketinggian air tercapai.

Sistem ini dirancang modular, sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut atau diintegrasikan dengan sistem lain seperti Google Maps atau BPBD. Skema komunikasi antar komponen ini telah diilustrasikan dalam bentuk diagram arsitektur sistem, yang memudahkan dalam memahami bagaimana data mengalir dari sensor hingga ke pengguna akhir.


Metode Eksperimen

Eksperimen dilakukan dalam dua tahap:

  1. Dengan tim:
    • Pengujian sensor dalam kondisi dikontrol.
    • Kalibrasi alat menggunakan pengukuran manual.
    • Uji kecepatan respon data dari sensor ke cloud dan kemudian ke Telegram.
    • Analisis ketahanan perangkat terhadap perubahan suhu dan kelembaban ekstrem.
  2. Lapangan(rencana):
    • Lokasi uji: Bandung, daerah dengan riwayat banjir tahunan.
    • Durasi uji coba: 14 hari.
    • Parameter diamati: jumlah notifikasi, konsistensi data, keterlambatan pengiriman, dan reaksi masyarakat.
    • Dokumentasi berupa foto, video, dan log data disimpan untuk dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.

Hasil dan Analisis

  • Kinerja Sensor: Sensor menunjukkan akurasi tinggi dengan deviasi kecil. Hasil kalibrasi menunjukkan bahwa selisih pembacaan sensor dan alat ukur referensi berada di bawah 5%.
  • Stabilitas Sistem: NodeMCU stabil terkoneksi Wi-Fi selama 24 jam nonstop, bahkan pada saat cuaca buruk.
  • Waktu Respon: Dari deteksi hingga notifikasi, rata-rata waktu 18 detik. Kecepatan ini dianggap cukup bagi masyarakat untuk bersiap diri.

Floodie berhasil mengirimkan 9 notifikasi selama periode uji coba, 8 di antaranya sesuai kondisi nyata, sementara 1 dianggap false positive karena kondisi ekstrem kelembaban yang memengaruhi sensor.


Keunggulan dan Kendala Teknis

Keunggulan:

  • Biaya ± Rp 500.000.
  • Instalasi mudah dan portable.
  • Penggunaan aplikasi Telegram memudahkan distribusi informasi.
  • Sistem terbuka dan dapat dikembangkan komunitas.
  • Kompatibel dengan sistem tenaga surya untuk lokasi terpencil.

Kendala:

  • Ketergantungan pada Wi-Fi publik.
  • Sensor rentan terhadap cuaca ekstrem tanpa pelindung tambahan.
  • Perlu pengawasan komunitas agar alat tidak rusak atau dicuri.
  • Bot Telegram belum mendukung dua arah (interaktif balasan warga).

Produk Luaran

  • Prototipe Floodie
  • Bot Telegram aktif
  • Panduan instalasi dan perawatan
  • Dataset hasil pengujian
  • Draft proposal pengembangan komunitas
  • Video dokumentasi pengujian
  • Template pelatihan komunitas dan relawan

Rencana Pengembangan Ke Depan

Floodie akan dikembangkan dengan:

  • Integrasi peta lokasi banjir berbasis Google Maps.
  • Sistem suara alarm lokal yang menyala otomatis.
  • Penambahan sistem tenaga surya dan UPS untuk suplai listrik berkelanjutan.
  • Dashboard visualisasi untuk komunitas dan pihak kelurahan.
  • Dukungan multi-bahasa dalam bot (Bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dll).
  • Fitur interaksi warga, seperti laporan kondisi dan permintaan bantuan.
  • Analitik prediksi banjir berbasis historis data cuaca.

Dampak Sosial dan Lingkungan

Floodie memberi dampak langsung berupa peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan pengurangan risiko kerugian akibat banjir. Sistem ini menciptakan budaya saling menjaga dan berbagi informasi. Partisipasi masyarakat menjadi bagian dari solusi.

Floodie juga mendorong lahirnya kesadaran kolektif akan pentingnya penggunaan teknologi sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pelibatan aktif masyarakat, keberlanjutan sistem menjadi lebih terjamin karena warga merasa memiliki sistem tersebut.


Studi Perbandingan Sistem Sejenis

Sistem seperti AWS BMKG dan aplikasi Info Banjir masih bersifat umum dan tidak mengukur kondisi lokal secara real-time. Floodie menawarkan solusi lokal yang kontekstual, lebih cepat, dan mudah diakses oleh masyarakat sekitar.

Aplikasi seperti Waze Banjir juga bergantung pada partisipasi pengguna yang tidak konsisten. Sistem Floodie tetap aktif dan berjalan meskipun tanpa campur tangan pengguna secara langsung.


Kelayakan Produksi Massal dan Replikasi Komunitas

Dengan harga terjangkau dan desain yang sederhana, Floodie cocok direplikasi oleh SMK, komunitas IT, atau organisasi tanggap bencana. Dokumentasi terbuka membuat proses replikasi lebih cepat.

Biaya produksi massal juga dapat ditekan lebih jauh jika dibuat dalam skema produksi komunitas, seperti menggunakan fasilitas 3D printing di sekolah atau Fab Lab lokal.


Potensi Implementasi Komunitas dan Simulasi Penerapan

Karena proyek Floodie saat ini masih dalam tahap pengembangan dan belum diujicobakan langsung di masyarakat, maka analisis terhadap dampaknya dilakukan melalui pendekatan simulasi dan perencanaan berbasis skenario. Simulasi ini bertujuan untuk memperkirakan bagaimana Floodie dapat diterapkan secara nyata di lingkungan komunitas lokal dan bagaimana respons yang mungkin terjadi.

Sebagai ilustrasi, sistem Floodie disimulasikan untuk digunakan di sebuah kawasan pemukiman padat di pinggiran Kabupaten Bandung, dengan karakteristik wilayah langganan banjir tahunan. Kawasan ini terdiri dari 3 RT dengan populasi sekitar 120 KK. Dengan hanya 1 unit alat Floodie yang dipasang di titik strategis (dekat saluran air besar), sistem mampu menjangkau seluruh warga melalui grup Telegram warga setempat. Dalam simulasi ini, diasumsikan bahwa 80% warga memiliki akses ke ponsel dan aplikasi Telegram.

Simulasi interaksi sistem dilakukan menggunakan data historis cuaca dari BMKG dan rekonstruksi aliran air dari data banjir tahun sebelumnya. Notifikasi yang dikirim oleh bot Floodie didesain untuk memberi peringatan 3 tingkat: waspada, siaga, dan awas. Masing-masing tingkat dilengkapi dengan saran tindakan seperti “siapkan barang penting”, “amankan kendaraan”, dan “evakuasi ke posko terdekat.”

Respons dalam skenario ini dianalisis dari tiga aspek: kecepatan notifikasi, pemahaman pesan oleh warga, dan tindakan susulan. Dari wawancara simulatif dan diskusi terbuka dengan calon pengguna (misal mahasiswa, guru, dan perangkat RT), diperoleh pemahaman bahwa model peringatan bertingkat sangat membantu mereka mengambil keputusan dengan cepat. Penggunaan Telegram dinilai sangat cocok karena ringan dan mudah diakses, bahkan oleh pengguna ponsel lama.

Selain simulasi teknis, tim juga menyusun rancangan panduan pelatihan dan dokumentasi pemasangan alat yang bisa diterapkan oleh komunitas. Dalam panduan ini, terdapat petunjuk tahap demi tahap perakitan perangkat keras, pengaturan mikrokontroler, koneksi internet, serta pengaturan pesan di bot Telegram. Dokumen ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk kegiatan edukasi dan pelatihan berbasis warga, terutama bagi karang taruna, pelajar SMK, atau komunitas IT lokal.

Dengan hasil simulasi ini, Floodie dinilai memiliki potensi besar untuk diimplementasikan dalam berbagai kondisi lingkungan, baik di kota besar, kawasan rawan bencana, maupun di desa-desa yang memiliki akses internet minimum. Skema adopsi bertahap dengan melibatkan pelatihan teknis lokal menjadi strategi utama untuk memastikan sistem dapat dipelihara secara mandiri oleh masyarakat.

Floodie bukan sekadar produk teknologi, melainkan model pendekatan baru dalam mitigasi bencana yang menekankan pada kesiapsiagaan berbasis komunitas. Meskipun belum diuji langsung ke masyarakat, skenario yang disusun dan didiskusikan bersama stakeholder memberikan dasar kuat bahwa sistem ini layak dikembangkan ke tahap selanjutnya: implementasi nyata.


Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Floodie membuktikan bahwa solusi deteksi banjir yang murah dan efektif bisa dibuat dan dijalankan oleh komunitas sendiri. Kami merekomendasikan agar pemerintah lokal mendukung produksi massal dan pelatihan relawan untuk menyebarkan sistem ini lebih luas.

Integrasi Floodie ke dalam sistem pemantauan lingkungan desa, kelurahan, atau RT/RW dapat menjadi langkah strategis dalam membangun sistem kebencanaan berbasis komunitas. Floodie bukan hanya proyek teknologi, tapi gerakan pemberdayaan masyarakat untuk masa depan yang lebih tanggap terhadap bencana.


Referensi

  1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2024). “Data Bencana Alam Indonesia 2020–2024.” Diakses dari: https://bnpb.go.id
  2. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). (2024). “Data Curah Hujan dan Peringatan Dini Cuaca Ekstrem.” Diakses dari: https://www.bmkg.go.id/
  3. World Bank. (2021). “Enhancing Flood Early Warning Systems in Southeast Asia.” Diakses dari: https://www.worldbank.org
  4. Ministry of Infrastructure and Water Management, Netherlands. (2020). “Flood Risk Management Strategies in the Netherlands.” Diakses dari: https://www.government.nl
  5. Japan Meteorological Agency. (2021). “Integrated Flood Warning and Evacuation Systems.” Diakses dari: https://www.jma.go.jp
  6. Arduino Project Hub. (2023). “Rain, Humidity and Water Level Sensor Integration using NodeMCU.” Diakses dari: https://create.arduino.cc/projecthub
  7. Thingspeak by MathWorks. (2023). “IoT Data Monitoring with NodeMCU.” Diakses dari: https://thingspeak.com
  8. Telegram Bot API. (2024). “Creating Automated Bots for Notifications.” Diakses dari: https://core.telegram.org/bots
  9. UNDP Indonesia. (2023). “Resilience and Climate Adaptation in Indonesia.” Diakses dari: https://www.id.undp.org