Di era digital yang semakin berkembang, sektor kuliner bukan hanya soal rasa dan resep, tetapi juga tentang strategi dan pengalaman yang dibangun melalui brand. Produk makanan ringan seperti brownies dan cookies memiliki tempat khusus di hati konsumen Indonesia. Teksturnya yang lembut, manisnya yang menggoda, serta tampilannya yang menggiurkan membuat produk ini tidak lekang oleh waktu. Namun di tengah lautan kompetitor, produk sejenis tidak hanya bersaing pada rasa, tapi juga pada kekuatan branding dan strategi pemasaran digital yang digunakan.
Kesadaran konsumen terhadap identitas produk semakin tinggi, terutama pada generasi muda yang akrab dengan media sosial dan informasi yang melimpah. Generasi ini tidak hanya menilai dari cita rasa, melainkan juga dari nilai-nilai yang dibawa produk tersebut. Misalnya, konsumen akan lebih tertarik dengan brownies yang menyuarakan keberlanjutan, menggunakan bahan organik, atau mendukung petani lokal. Sebuah studi oleh Istiqomah dan Wibowo (2021) dalam Jurnal Riset Ekonomi dan Bisnis menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan dan keunikan sosial pada produk UMKM memiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas konsumen milenial dan Gen Z. Dengan demikian, penciptaan identitas brand yang sesuai dengan nilai-nilai konsumen menjadi aspek strategis yang tidak bisa diabaikan.
Tidak hanya itu, digitalisasi juga mengubah cara konsumen menggali informasi dan membuat keputusan. Konsumen saat ini cenderung melakukan riset terlebih dahulu melalui Google Review, media sosial, atau testimoni pelanggan sebelum membeli produk. Oleh karena itu, citra yang ditampilkan secara online menjadi sangat menentukan. Brownies dan cookies dengan foto menggoda, cerita inspiratif di balik proses pembuatannya, hingga ulasan positif dari pelanggan memiliki peluang lebih besar untuk dipilih. Inilah alasan mengapa pemasaran digital harus berjalan beriringan dengan kualitas produk dan pelayanan yang prima. Ketiganya saling menguatkan untuk menciptakan persepsi positif dan kredibel di mata konsumen.
Masyarakat modern saat ini lebih selektif dalam memilih produk yang mereka konsumsi. Mereka tidak sekadar membeli makanan, melainkan membeli pengalaman dan nilai dari produk tersebut. Ini menciptakan tantangan tersendiri bagi pelaku UMKM makanan. Seperti yang dikemukakan Kotler dan Keller (2016), keberhasilan pemasaran kini bergantung pada seberapa jauh sebuah brand bisa membangun hubungan emosional dan psikologis dengan konsumennya. Dengan kata lain, jika Anda hanya menjual brownies atau cookies, maka Anda hanya menjual produk. Namun jika Anda menyertakan cerita, keunikan, dan pengalaman, maka Anda sedang menjual brand.
Branding yang kuat untuk produk makanan rumahan dimulai dari mengenali keunikan produk yang dimiliki. Apakah brownies Anda memiliki tekstur fudgy yang khas? Apakah cookies Anda menggunakan bahan lokal dari petani Indonesia? Atau mungkin ada kisah sentimental di balik produk, seperti resep warisan nenek? Cerita-cerita semacam ini dapat menjadi pembeda utama yang tidak bisa ditiru oleh kompetitor. Dalam penelitian oleh Sari dan Yuliati (2020) di Jurnal Komunikasi Indonesia, ditemukan bahwa storytelling dalam konten digital dapat meningkatkan keterikatan emosional konsumen terhadap produk lokal, yang berdampak langsung terhadap loyalitas jangka panjang.
Media sosial hadir sebagai panggung utama bagi pelaku usaha kuliner untuk menunjukkan jati diri brand-nya. Instagram, TikTok, dan YouTube adalah media efektif untuk membangun identitas visual dan memperkenalkan produk secara lebih dekat. Dengan visual yang menggugah selera dan narasi yang kuat, konten digital mampu mempengaruhi keputusan pembelian konsumen secara signifikan. Sebuah studi oleh Purwana, Rahmi, dan Aditya (2017) dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis menegaskan bahwa media sosial bukan hanya alat promosi, tetapi juga sarana membangun kredibilitas brand dan menciptakan hubungan dua arah dengan konsumen.
Visualisasi yang konsisten adalah kunci dalam pemasaran makanan. Tidak hanya soal tampilan foto produk, tetapi juga gaya editing, tone warna, dan cara penyampaian pesan yang selaras dengan identitas brand. Misalnya, jika brand Anda menonjolkan nuansa “homemade premium,” maka konten sebaiknya menampilkan dapur rumahan, proses handmade, serta detail bahan baku berkualitas tinggi. Konsistensi ini juga mencakup penggunaan font, warna logo, hingga cara menyapa konsumen di caption atau DM. Konsumen secara tidak sadar akan mengenali dan mengingat brand Anda berdasarkan konsistensi visual ini.
Namun, pemasaran digital yang efektif tidak berhenti pada konten menarik. Penting untuk memahami siapa target pasar Anda. Apakah Anda menyasar remaja penggemar tren makanan kekinian? Pasangan muda yang ingin camilan sehat untuk anak mereka? Atau pekerja kantoran yang mencari cemilan premium? Pemahaman terhadap demografi dan psikografi target pasar akan menentukan arah strategi konten. Rangkuti (2014) menyatakan dalam Manajemen Pemasaran Modern bahwa segmentasi yang tajam akan menghasilkan pesan yang lebih tepat sasaran dan efisien dalam biaya promosi.
Kehadiran fitur iklan berbayar (ads) juga bisa menjadi jalan cepat memperluas jangkauan pasar. Facebook Ads dan Instagram Ads memungkinkan pelaku usaha menyasar pengguna dengan kriteria yang sangat spesifik, seperti usia, lokasi, hingga minat. Dalam Digital Marketing Outlook 2023 oleh MarkPlus Insight, disebutkan bahwa UMKM yang memanfaatkan iklan berbayar dengan target pasar yang jelas mengalami peningkatan penjualan 20–35% dalam waktu kurang dari 6 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa investasi kecil dalam ads bisa menghasilkan keuntungan besar jika dikelola dengan strategi yang tepat.
Tak hanya dari sisi promosi, kekuatan pemasaran digital juga terletak pada kemampuannya membangun hubungan jangka panjang. Ketika konsumen merasa diperhatikan dan dihargai, mereka akan lebih mudah percaya dan loyal. Balasan cepat di WhatsApp Business, ucapan terima kasih setelah transaksi, hingga testimoni yang dibalas dengan tulus adalah bentuk interaksi sederhana yang punya dampak besar. Dalam Jurnal Administrasi Bisnis (Yuliana & Nugroho, 2020), dinyatakan bahwa faktor pelayanan dan komunikasi personal menjadi kunci dalam mempertahankan pelanggan di sektor makanan.
Pelaku usaha juga bisa menciptakan komunitas yang aktif dan loyal melalui fitur seperti grup WhatsApp pelanggan, newsletter via email, atau kampanye #BagiRasa melalui Instagram. Aktivitas seperti lomba membuat resep dengan produk Anda, tantangan foto produk, atau program referral pelanggan setia dapat menciptakan keterlibatan yang tinggi. Konsumen tidak lagi menjadi sekadar pembeli, tetapi bagian dari perjalanan brand Anda. Strategi ini dikenal sebagai community-based branding, yang menurut penelitian Firmansyah dan Syah (2021), sangat efektif meningkatkan brand awareness dan konversi pada UMKM kuliner lokal.
Dalam konteks yang lebih luas, digitalisasi juga memberi peluang kolaborasi. Pelaku usaha brownies bisa bekerja sama dengan coffee shop lokal untuk bundling produk, atau menggandeng food influencer untuk mencicipi dan mereview produk. Kolaborasi ini membuka peluang pasar baru dan menumbuhkan persepsi bahwa brand Anda aktif, dinamis, dan bersahabat. Bahkan, berkolaborasi dengan UMKM lain seperti penjual teh, susu segar, atau perlengkapan hampers bisa memperluas daya tarik produk Anda, khususnya untuk segmen pasar kado dan hantaran.
Evaluasi berkala menjadi aspek penting dalam keberlanjutan strategi digital. Data dari insight Instagram, laporan penjualan Shopee/Tokopedia, dan hasil polling pelanggan dapat digunakan untuk memahami tren pasar dan menyesuaikan strategi. Misalnya, jika penjualan brownies meningkat saat ada konten behind-the-scenes, maka frekuensi konten semacam itu bisa ditingkatkan. Jika banyak pelanggan menginginkan rasa baru atau opsi vegan, maka inovasi dapat dilakukan tanpa kehilangan arah brand. Evaluasi ini sebaiknya dilakukan minimal bulanan untuk mengukur efektivitas promosi, engagement rate, serta feedback pelanggan.
Yang sering terlupakan oleh pelaku UMKM adalah pentingnya investasi pada kualitas layanan dan kemasan. Dalam bisnis makanan ringan, kemasan tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus, tapi juga sebagai media komunikasi brand. Packaging yang menarik, informatif, dan ramah lingkungan akan memperkuat citra positif. Dalam konteks branding digital, unboxing experience yang menyenangkan juga mendorong pelanggan membagikan pengalaman mereka di media sosial secara organik, menjadi promosi gratis yang sangat berharga. Seperti yang dikemukakan oleh Pine dan Gilmore (1998) dalam konsep Experience Economy, konsumen tidak lagi membeli produk, tetapi membeli pengalaman menyeluruh yang melekat di hati.
Pemasaran digital adalah perjalanan jangka panjang. Tidak semua strategi akan berhasil dalam waktu singkat. Oleh karena itu, pelaku usaha harus terbuka pada eksperimen, belajar dari kesalahan, dan konsisten dalam membangun identitas brand. Kegigihan dalam menjaga kualitas rasa, pelayanan, dan narasi brand akan menjadi fondasi yang membuat bisnis tetap bertahan, bahkan tumbuh di tengah persaingan yang semakin kompleks. Brownies dan cookies Anda mungkin mirip dengan ratusan produk lain, tetapi jika dibungkus dengan cerita, pengalaman, dan strategi yang tepat, maka produk itu akan punya tempat khusus di hati konsumen.
Sebagai penutup, strategi pemasaran digital untuk brownies dan cookies bukanlah tentang seberapa canggih alat promosi yang digunakan, tetapi seberapa tulus dan cerdas brand Anda membangun hubungan dengan konsumen. Buatlah setiap gigitan terasa personal, buat pelanggan merasa terhubung, dan bangun merek Anda dengan identitas yang kuat. Karena pada akhirnya, konsumen akan lupa siapa yang paling murah, tetapi tidak akan lupa siapa yang paling berkesan.
DAFTAR PUSTAKA
Kotler, P., & Keller, K. L. (2016). Marketing Management (15th ed.). Pearson Education.
Rangkuti, F. (2014). Manajemen Pemasaran Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Purwana, D., Rahmi, R., & Aditya, S. (2017). Strategi Digital Marketing untuk UMKM di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 5(1), 22–30.
Firmansyah, M., & Syah, R. (2021). Preferensi Konsumen dalam Membeli Produk UMKM Kuliner di Era Digital. Jurnal Ilmu Ekonomi, 12(2), 45–55.
Yuliana, E., & Nugroho, A. (2020). Manajemen Komunikasi Digital dalam Pelayanan UMKM. Jurnal Administrasi Bisnis, 9(2), 88–96.
Sari, D. P., & Yuliati, Y. (2020). Storytelling dan Loyalitas Konsumen Brand Lokal Makanan Ringan. Jurnal Komunikasi Indonesia, 8(1), 57–66.
MarkPlus Insight. (2023). Digital Marketing Outlook Indonesia 2023. Jakarta: MarkPlus Inc.
Pine, B. J., & Gilmore, J. H. (1998). Welcome to the Experience Economy. Harvard Business Review, 76(4), 97–105.