ABSTRAK
Konflik agraria di Dago Elos, Bandung, merupakan contoh nyata pertarungan antara kepastian hukum dan keadilan sosial dalam sistem agraria Indonesia. Sengketa ini bermula dari klaim keluarga Muller atas lahan seluas 6,3 hektare berdasarkan hak eigendom verponding warisan kolonial Belanda, yang bertentangan dengan hak-hak warga lokal yang telah lama menempati dan mengelola lahan tersebut. Proses hukum yang panjang hingga putusan Mahkamah Agung pada 2022 menguatkan hak keluarga Muller, menimbulkan ketidakadilan bagi warga Dago Elos. Artikel ini mengkaji aspek yuridis putusan tersebut serta dampaknya terhadap keadilan sosial, dengan pendekatan normatif dan analisis sosial. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun putusan memberikan kepastian hukum formal, namun tidak mengakomodasi keadilan substantif bagi warga, yang berujung pada ketimpangan sosial dan konflik berkepanjangan. Studi ini menegaskan perlunya reformasi agraria yang mengharmonisasikan kepastian hukum dengan keadilan sosial demi penyelesaian sengketa agraria yang berkelanjutan.
Kata kunci: konflik agraria, kepastian hukum, keadilan sosial, eigendom verponding, sengketa tanah Dago Elos.
ABSTRACK
The agrarian conflict in Dago Elos, Bandung, is a real example of the struggle between legal certainty and social justice in the Indonesian agrarian system. This dispute began with the Muller family’s claim to 6.3 hectares of land based on the Dutch colonial legacy of eigendom verponding rights, which conflicted with the rights of local residents who had long occupied and managed the land. The long legal process until the Supreme Court’s decision in 2022 strengthened the Muller family’s rights, causing injustice to the residents of Dago Elos. This article examines the legal aspects of the decision and its impact on social justice, using a normative approach and social analysis. The results of the study show that although the decision provides formal legal certainty, it does not accommodate substantive justice for residents, which leads to social inequality and prolonged conflict. This study emphasizes the need for agrarian reform that harmonizes legal certainty with social justice for the sake of sustainable agrarian dispute resolution.
Keywords: agrarian conflict, legal certainty, social justice, eigendom verponding, Dago Elos land dispute.
PENDAHULUAN
Konflik agraria merupakan isu kompleks di Indonesia, ditandai dengan tingginya jumlah kasus setiap tahunnya. Pada tahun 2023 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya 241 kasus konflik agraria yang berdampak pada 135,6 ribu kepala keluarga di area seluas 638,2 ribu hektare. Peningkatan jumlah kasus ini menunjukkan bahwa agenda reforma agraria yang telah dijanjikan belum berjalan efektif. Konflik agraria ini sering kali berakar pada masalah tumpang tindih kepemilikan lahan, ketidakadilan struktural, dan lemahnya penegakan hukum.
Konflik agraria di Dago Elos, Bandung, menjadi salah satu potret nyata pertarungan antara kepastian hukum dan keadilan sosial dalam sistem agraria Indonesia. Perseteruan ini melibatkan warga Kampung Dago Elos melawan klaim kepemilikan lahan oleh keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha, yang didasarkan pada hak eigendom warisan kolonial Belanda. Sengketa ini telah berlangsung sejak 2016 dan mencerminkan kompleksitas persoalan agraria nasional yang masih membayangi masyarakat hingga kini.
Klaim ini menimbulkan pertentangan sengit karena warga Dago Elos telah menempati lahan tersebut secara turun-temurun. Konflik ini tidak hanya berkutat pada aspek administratif dan legalitas kepemilikan, tetapi juga melibatkan dimensi sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas, mencerminkan pertentangan kepentingan antara kelas penguasa dan masyarakat yang tertindas. Meskipun Eigendom Verponding seharusnya telah dikonversi menjadi hak milik sesuai UUPA dalam batas waktu yang ditentukan hingga September 1980, keluarga Muller tidak melakukan konversi tersebut, sehingga secara hukum tanah tersebut seharusnya menjadi Tanah Negara.
Kasus Dago Elos menyoroti problematika dualisme sistem agraria di Indonesia, di mana hak-hak lama warisan kolonial masih dapat dijadikan dasar klaim kepemilikan, meski telah ada regulasi nasional yang mengatur konversi hak tersebut. Ketidakmampuan sistem hukum untuk mengakomodasi keadilan substantif bagi masyarakat yang telah lama bermukim di atas tanah sengketa menjadi kritik utama terhadap prinsip kepastian hukum yang cenderung formalistik.
Dari perspektif sosiologis, konflik ini mencerminkan dinamika konflik kelas antara warga sebagai kelompok tertindas dan pemilik modal yang didukung sistem hukum formal. Perlawanan warga Dago Elos menjadi simbol perjuangan masyarakat akar rumput dalam menuntut keadilan sosial di tengah dominasi kekuatan ekonomi dan politik.
PEMBAHASAN
Konflik bermula dari gugatan keluarga Muller yang mengklaim lahan seluas sekitar 6,3 hektare di Dago Elos sebagai warisan dari George Hendrikus Wilhelmus Muller, berdasarkan dokumen eigendom verponding dari era kolonial. Sementara itu, warga Dago Elos telah menempati, menggarap, dan bahkan memegang sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 2014, Pengadilan Agama Cimahi menetapkan keluarga Muller sebagai ahli waris. Gugatan kepemilikan tanah dilayangkan ke Pengadilan Negeri Bandung pada 2016 dan dikabulkan majelis hakim, yang mengakibatkan warga dinyatakan harus mengosongkan lahan. Namun, perjalanan hukum berlanjut hingga tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung, yang pada akhirnya memenangkan pihak keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 109 PK/Pdt/2022 menegaskan bahwa keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha berhak mendaftarkan tanah bekas eigendom verponding yang disengketakan. Sementara warga Dago Elos yang telah menempati lahan tersebut dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum. Putusan ini didasarkan pada pengakuan hak eigendom yang diakui sejak masa kolonial, meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 telah mengatur konversi hak-hak lama paling lambat tahun 1980. Jika tidak dikonversi, tanah tersebut seharusnya menjadi tanah negara. Namun, pelaksanaan eksekusi putusan menghadapi hambatan besar akibat perlawanan warga dan tumpang tindih sistem hukum kolonial dengan sistem agraria nasional. Hal ini menimbulkan dilema dalam implementasi prinsip kepastian hukum di tengah realitas sosial yang ada.
Analisis hukum terhadap kasus ini menunjukkan bahwa posisi hak Eigendom Verponding sebagai hak lama sangat lemah jika dibandingkan dengan hak milik yang diatur oleh UUPA. Namun, putusan pengadilan dalam beberapa kasus sengketa ini dinilai kurang tepat karena penerapan prinsip judex facti yang tidak sesuai, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan memperpanjang konflik. Selain itu, kasus Dago Elos mengungkap kelemahan sistem penanganan konflik agraria di Indonesia yang belum mampu menyelesaikan sengketa secara adil dan cepat. Ketiadaan lembaga khusus yang mengelola keadilan agraria secara efektif menyebabkan konflik-konflik seperti ini terus berlarut dan berdampak luas pada kehidupan sosial masyarakat.
Dari sisi keadilan sosial, konflik ini memperlihatkan ketimpangan akses terhadap alat produksi (tanah) antara warga Dago Elos yang telah menghuni dan menggantungkan hidup pada lahan tersebut selama puluhan tahun, dengan keluarga Muller dan korporasi yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses hukum lebih luas. Masyarakat Dago Elos membangun kesadaran kolektif dan melakukan berbagai bentuk perlawanan, baik melalui jalur hukum maupun aksi sosial, demi mempertahankan hak atas tanah dan kelangsungan hidup mereka.
Konflik ini juga berdampak pada ketidakpastian ekonomi, ancaman penggusuran, serta kerentanan sosial yang dialami warga. Ketegangan memuncak pada Agustus 2023 ketika terjadi kerusuhan antara warga dan aparat, menandai eskalasi konflik akibat kekecewaan warga terhadap proses hukum yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Selain itu konflik ini juga merupakan manifestasi dari konflik kelas dan perjuangan kolektif warga dalam mempertahankan hak atas tanah mereka. Warga Dago Elos melakukan berbagai aksi protes dan menggalang solidaritas untuk melawan upaya penggusuran dan klaim sepihak keluarga Muller. Diskusi dan pameran seni yang digelar oleh komunitas lokal dan akademisi, seperti pameran “Dago Melawan”, menjadi sarana penting untuk menyuarakan perjuangan warga dan menyebarkan kesadaran publik tentang konflik ini
KESIMPULAN
Konflik agraria di Dago Elos, Bandung, menggambarkan ketegangan yang tajam antara prinsip kepastian hukum formal dan tuntutan keadilan sosial substantif dalam sistem agraria Indonesia. Sengketa ini bermula dari klaim keluarga Muller atas lahan seluas 6,3 hektare berdasarkan hak eigendom verponding warisan kolonial Belanda, yang bertentangan dengan hak-hak warga lokal yang telah lama menempati dan mengelola lahan tersebut. Meskipun proses hukum panjang hingga putusan Mahkamah Agung pada 2022 menguatkan hak keluarga Muller, putusan tersebut tidak mengakomodasi keadilan substantif bagi warga Dago Elos, sehingga menimbulkan ketimpangan sosial dan konflik berkepanjangan. Kasus ini menyoroti problematika dualisme sistem agraria di Indonesia, di mana hak-hak lama warisan kolonial masih dapat menjadi dasar klaim kepemilikan meskipun telah ada regulasi nasional seperti Undang-Undang Pokok Agraria 1960 yang mengatur konversi hak tersebut. Ketidakmampuan sistem hukum nasional mengakomodasi keadilan sosial bagi masyarakat yang telah lama bermukim di atas tanah sengketa menjadi kritik utama terhadap prinsip kepastian hukum yang cenderung formalistik dan mengabaikan realitas sosial. Dari perspektif sosiologis, konflik ini mencerminkan dinamika konflik kelas antara warga sebagai kelompok tertindas dan pemilik modal yang didukung oleh sistem hukum formal, di mana warga Dago Elos melakukan perlawanan kolektif demi mempertahankan hak atas tanah dan kelangsungan hidup mereka. Dampak konflik ini tidak hanya berupa ketidakpastian hukum, tetapi juga ketidakpastian ekonomi, ancaman penggusuran, dan kerentanan sosial yang semakin memperburuk kondisi warga. Kasus Dago Elos menegaskan perlunya reformasi agraria yang mampu mengharmonisasikan kepastian hukum dengan keadilan sosial agar penyelesaian sengketa agraria dapat berlangsung secara berkelanjutan dan adil bagi seluruh pihak yang terlibat. Reformasi tersebut harus mampu mengatasi tumpang tindih sistem hukum kolonial dan nasional serta memberikan perlindungan hukum yang substantif bagi masyarakat yang telah lama mengelola dan bergantung pada tanah sengketa.
DAFTAR PUSTAKA
World Resources Institute Indonesia. (2018). Perjalanan Panjang dan Melelahkan Menuju Pengakuan Hak Tanah Adat. Diakses dari https://wri-indonesia.org/id/wawasan/perjalanan-panjang-dan-melelahkan-menuju-pengakuan-hak-tanah-adat pada 26 Juni 2025.
Pujiyanti, L. (2024, April 19). A-Z perjalanan warga Dago Elos hingga putusan pidana. Suaramahasiswa.info. Diakses tanggal 26 Juni 2025, dari https://suaramahasiswa.info/alternatif/artikel/a-z-perjalanan-warga-dago-elos-hingga-putusan-pidana/
Konflik Dago Elos. (2023). Di Wikipedia. Diakses tanggal 26 Juni 2025, dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konflik_Dago_Elos
Katadata.co.id. (2024). Jumlah Kasus Konflik Agraria Meningkat pada 2023. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/ekonomi-makro/statistik/a99ab58a6556e3c/jumlah-kasus-konflik-agraria-meningkat-pada-2023 pada tanggal 26 Juni 2025.
CNN Indonesia. (2024, 8 Mei). Awal Mula Sengketa Tanah Dago Elos hingga Muller Bersaudara Tersangka. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240508092600-12-1095270/awal-mula-sengketa-tanah-dago-elos-hingga-muller-bersaudara-tersangka pada tanggal 26 Juni 2025.
(1. MUKLIS EFENDI, 2025)
(THALIA DWI AISYAH PUTRI, 2023)
(Vidi Siami Mulyanti, 2025)