Epilepsi adalah gangguan neurologis kronis yang ditandai oleh kejang berulang akibat pelepasan muatan listrik berlebihan di otak. Kondisi ini dapat menyebabkan perubahan kesadaran, gerakan tidak terkendali, dan masalah kesehatan lain seperti disabilitas. Di tingkat global, diperkirakan sekitar 70 juta orang hidup dengan epilepsi, dengan insiden tahunan sebesar 50 per 100.000 orang. Di Indonesia, prevalensi epilepsi aktif mencapai antara 0,5-0,6 % dari populasi, hingga sekitar 1,5-1,8 juta orang, dengan peningkatan signifikan dari 1,5 juta pada 2021 menjadi 1,8 juta pada 2024.
Salah satu komplikasi paling tragis dari epilepsi adalah Sudden Unexpected Death in Epilepsy (SUDEP), yaitu kematian mendadak dan tak terduga pada penderita epilepsi yang tidak disebabkan oleh trauma atau kondisi medis lain, sering terjadi saat tidur dan tanpa saksi. SUDEP bertanggung jawab atas sekitar 7-17 % dari kematian terkait epilepsi, dengan insidensi rata-rata global sekitar 1-1,65 per 1.000 pasien epilepsi setiap tahun. Risiko ini meningkat tajam pada pasien dengan kejang tonik-klonik berkepanjangan, epilepsi resisten terhadap obat, atau kejang malam hari.
Di Indonesia, meskipun data SUDEP tidak selalu terdokumentasi secara lengkap, tingginya prevalensi epilepsi serta risiko kematian 2–3 kali lipat dibanding populasi umum menunjukkan bahwa SUDEP merupakan isu kesehatan masyarakat yang perlu diwaspadai. Kurangnya kesadaran masyarakat dan akses layanan juga memperburuk situasi, membuat pentingnya intervensi dini semakin mendesak.
Karena SUDEP sering terjadi tanpa tanda klinis yang jelas dan sangat cepat, kemampuan untuk memprediksi peristiwa tersebut sebelum terjadi menjadi sangat penting. Jika gejala seperti perubahan fisiologis bisa dikenali, tenaga medis atau sistem otomatis dapat merespons dengan cepat, misalnya pemberian stimulan, panggilan ke perawat, atau tindakan medis lain, yang potensial menyelamatkan nyawa pasien epilepsi.
Metode terbaru dalam mendeteksi sinyal prediktif SUDEP adalah dengan memantau parameter fisiologis seperti detak jantung, variabilitas detak jantung (HRV), saturasi oksigen (SpO₂), suhu kulit, serta pola gerakan menggunakan sensor gyroscope dan accelerometer. Banyak penelitian menunjukkan bahwa selama fase pre-iktal (sebelum kejang) dan peri-iktal (selama kejang), terjadi peningkatan detak jantung (tachycardia), penurunan HRV, sampai hipoksemia. Semua ini merupakan indikator potensial risiko SUDEP.
Dalam studi interdisipliner, perangkat wearable yang mengkombinasikan sensor accelerometer dan PPG (untuk heart rate dan SpO₂) serta sensor suhu kulit dan gerakan, berhasil mencatat perubahan pola fisiologis saat fase pre-iktal. Sebuah jurnal melakukan riset untuk mengembangkan algoritma real-time yang mengenali lonjakan akselerasi ≥ 23,4 m/s², detak jantung naik ≥ 10 bpm dari baseline, SpO₂ turun < 90%, serta getaran tubuh di frekuensi tertentu dapat mendeteksi ini menunjukkan potensi solid untuk peringatan dini kejang dan risiko SUDEP.
Sistem SeiZen dengan wearable smartband, setiap data fisiologis dikirim ke aplikasi mobile lewat BLE dan diproses oleh algoritma Machine Learning (ML). Machine Learning ini dilatih pada kumpulan data longitudinal pasien epilepsi, untuk mempelajari pola karakteristik fase sebelum kejang dan risiko kardiorespirasi. Model ML tersebut menggabungkan fitur-fitur seperti durasi akselerasi abnormal, penurunan HRV, saturasi oksigen rendah, dan peningkatan suhu kulit, yang semuanya dikaitkan dengan gangguan otonom dan gangguan pernapasan pasca kejang serta faktor-faktor kunci dalam mekanisme SUDEP.
Hasil eksperimen awal menunjukkan bahwa model prediksi ini mampu memberikan peringatan risiko SUDEP hingga beberapa menit sebelum fase kritis. Dalam uji coba simulasi, sensitivitas mencapai > 90 % dan spesifisitas mendekati 88–92 %, selaras dengan performa algoritma prediksi kejang multimodal dari riset terkini . AI juga mampu mengidentifikasi pola Ictal tachycardia dan bradycardia (bila detak jantung turun drastis) sebagai ciri khas perubahan otonom pada pasien berisiko tinggi.
Selanjutnya, embedding LLM dalam aplikasi mobile memperkaya sistem dengan rekomendasi respons berbasis skenario seperti memposisikan pasien miring-samping, memastikan jalan napas terbuka, atau memberitahu kontak darurat. Ini mirip dengan manfaat alarm automatis yang didapati di studi Nightwatch, Empatica, dan Epi-Care yang membantu mengurangi cedera terkait kejang hingga sekitar 30 % .
Kesimpulannya, integrasi sensor fisiologis dalam sistem SeiZen yang memantau detak jantung, SpO₂, suhu kulit, dan gerakan real-time, digabungkan dengan algoritma AI canggih dan sistem terbukti memungkinkan prediksi dini SUDEP. Hal ini bukan hanya meningkatkan potensi intervensi cepat oleh keluarga atau tenaga medis, tapi juga mampu mengurangi kematian mendadak serta cedera serius akibat kejang, khususnya di negara dengan akses terbatas seperti Indonesia. Validasi klinis skala besar terhadap sistem ini menjadi langkah awal yang esensial untuk memastikan keamanannya dan mempercepat implementasi nasional.