Tanah memainkan peran yang sangat penting dalam menyediakan sumber daya alam bagi manusia. Lebih dari itu, tanah juga merupakan elemen krusial dalam menyokong kehidupan manusia, termasuk sebagai lokasi untuk tempat tinggal. Selain itu, tanah memiliki nilai ekonomis, dimana semakin banyak permintaan dan kebutuhan akan tanah, maka semakin tinggi nilai dari tanah.
Perubahan yang signifikan mengenai tanah terjadi ketika Negara Indonesia berhasil membuat hukum tanah nasional yaitu Undang-Undang Republik Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai UUPA) yang diundangkan dan disahkan pada tanggal 24 September 1960. Tujuan dari UUPA tersebut adalah untuk menciptakan keadilan bagi rakyat menyangkut masalah pertanahan, mengadakan unifikasi dalam hukum pertanahan dan memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah untuk seluruh rakyat Indonesia sehingga sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan hal tersebut diselenggarakan pendaftaran tanah.

Pada Pasal 16 Ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah antara lain sebagai berikut: hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak sewa; hak membuka tanah; dan hak memungut hasil hutan. Fenomena hukum yang muncul akibat sengketa, perselisihan, dan permasalahan pertanahan di masyarakat adalah hasil dari situasi dan kondisi yang melibatkan hak, kewajiban, serta pembatasan yang tidak selalu dipatuhi secara benar terhadap hak atas tanah yang dimiliki oleh pihak tertentu.
Di Indonesia terdapat beberapa jenis sertifikat berdasarkan hak yang melekat, diantaranya:
- Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah hak tertinggi dan bersifat permanen serta dapat diwariskan, dijual, atau diagunkan ke bank tanpa batas waktu.
- Hak Guna Bangunan (HGB) memberikan hak mendirikan bangunan di atas tanah milik negara atau milik orang lain untuk jangka waktu tertentu (biasanya dapat diperpanjang 20–30 tahun)
- Hak Guna Usaha (HGU) berlaku untuk pengusahaan pertanian, peternakan atau perkebunan atas tanah negara, dengan masa awal sekitar 25–35 tahun dan opsi perpanjangan
- Hak Pakai (SHP) memberikan izin memakai tanah milik negara atau orang lain untuk keperluan tertentu (umumnya 25 tahun dan bisa diperpanjang)
- Hak Pengelolaan (HPL) ditujukan untuk instansi pemerintah atau perusahaan dalam mengelola tanah negara, umumnya untuk pengembangan publik atau kerjasama proyek
- Selain itu ada SHM Satuan Rumah Susun (SHMSRS) untuk kepemilikan unit apartemen, Sertifikat Hak Masyarakat Adat, serta dokumen tradisional seperti girik atau letter C yang bukan sertifikat resmi tetapi bisa jadi dasar untuk sertifikasi kemudian
Terselenggaranya pendaftaran tanah memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah dapat dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tetap mempertahankan tujuan dan sistem yang digunakan dalam Pasal 19 UUPA jo PP Nomor 10 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sehingga banyak terdapat tambahan, hal ini terlihat dari jumlah Pasal yang lebih banyak dan isi Peraturan Pemerintah tersebut yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum dalam hal kepemilikan tanah. Salah satunya terdapat dalam Pasal 32 yang mengatur bahwa :
(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, menyatakan sertifikat tanah yang diterbitkan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Namun ketentuan ini belum dapat menjamin karena dalam sistem negatif yang dianut dalam UUPA senantiasa memberikan kesempatan kepada seseorang yang merasa mempunyai hak yang lebih kuat untuk menggugat ke pengadilan dengan mengemukakan bukti-bukti hak yang dimilikinya. Hal ini berarti sertifikat tanah yang diterbitkan bukanlah alat bukti yang mutlak, sehingga sertifikat bisa dibatalkan sepanjang ada pembuktian yang menyatakan ketidakabsahan sertifikat atas tanah.
Dalam hal adanya dua sertifikat atas sebidang tanah atau sertifikat ganda, maka ada kemungkinan bahwa kedua sertifikat tersebut sama-sama memiliki kekuatan yang sah menurut undang-undang. Sehingga dalam hal ini, hanya hakim lah yang dapat
memutus pihak mana yang berhak atas hak atas tanah dari salah satu pihak yang memegang sertifikat ganda yang bersangkutan. Namun, kewenangan hakim dalam menentukan pemegang sah hak atas tanah dengan adanya sertifikat ganda dapat
menimbulkan putusan disparitas sehingga dapat menimbulkan kecemburuan antara pemegang sertifikat ganda hak atas tanah.
Hak milik adalah hak yang sangat asasi dan merupakan hak dasar yang dijamin konstitusi. Kepastian hukum tanah yang bagi yang belum sertifikat terhadap hak tanah bersertifikat, apabila dihubungkan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD1945, yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan berdasarkan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 mengatur bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”.
Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechts cadaster. Rechts cadaster artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya.

Negara memiliki kekuasaan untuk menguasai tanah yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Hal ini dipertegas bahwa negara tidak hanya menguasai tanah tetapi juga memiliki wewenang untuk mengatur peruntukkan tanah-tanah itu.
- Badan Pertanahan Nasional (BPN)/ATR-BPN adalah instansi utama yang bertugas melakukan pendaftaran, penerbitan, pengukuran serta pemeliharaan database sertifikat berdasarkan UUPA No. 5/1960 dan PP No. 24/1997.
- Untuk tercapainya legalitas, PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) berperan dalam membuat Akta Jual Beli (AJB), akta hibah, atau akta balik nama sebelum sertifikat diterbitkan.
- Pejabat berwenang (menteri atau gubernur ATR‑BPN) mengesahkan pemberian hak seperti HGU, HGB, dan HPL.
- Dalam beberapa kasus, notaris atau instansi lokal juga mendukung proses pendaftaran khususnya untuk transaksi tertentu.
Suatu sertifikat dapat dikatakan berkekuatan hukum tentunya apabila telah dilegalkan oleh pejabat yang berwenang. Hal yang membuat terjadinya sengketa adalah apabila para pihak saling menyalahi dan berseteru dalam memperebutkan suatu hak atas tanah. Secara umum, sengketa hak atas tanah terjadi dimulai pada saat proses awal pembuatan sertifikat, yaitu pada saat pengukuran tanah.
Guna meminimalkan sengketa tersebut, dalam hukum agraria dikenal suatu asas yang disebut dengan Asas Contradictoire Delimitatie. Asas ini dalam Pendaftaran Tanah menjadikan prinsip musyawarah mufakat yang terkandung dalam sila ke-4 Pancasila sebagai landasan dalam penerapannya di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas letak dan batas objek pendaftaran tanah serta menghindari terjadinya sengketa dan konflik pertanahan yang akan terjadi di kemudian hari.
Sementara itu, pada persidangan perdata apabila terjadi sengketa keperdataan antara warga negara, maka tentunya diperlukan pembuktian yang kuat. Kecenderungan peradilan perdata lebih mengaktualisasikan surat sah sebagai alat bukti. Menurut sistem HIR dan RBg hakim terkait dengan alat-alat bukti sah yang diatur dengan undang-undang.
Peran Sertifikat Hak Atas Tanah Bagi Masyarakat:
- Sebagai bukti kepemilikan yang sah dan kuat
Sertifikat tanah adalah kekuatan utama dalam pembuktian kepemilikan tanah di Indonesia. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997, dokumen ini berlaku sebagai alat bukti yang kuat mengenai keabsahan data fisik dan yuridis tanah, selama masih sesuai dengan buku tanah dan surat ukur. Selain itu, Undang‑Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 Pasal 19 ayat (2) huruf c juga menegaskan bahwa sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat.
- Memberi perlindungan hukum dan kepastian jangka panjang
Selain menjadi bukti hukum, sertifikat juga mendatangkan perlindungan bagi pemilik dengan adanya aturan bahwa jika tidak ada klaim terhadap sertifikat selama lima tahun sejak diterbitkan, maka tidak ada pihak lain boleh menuntut tanah tersebut, kecuali muncul bukti yang sah. Ketentuan ini menjadi semacam “hak mutlak” meski hanya dalam sistem publikasi negatif yang dianut Indonesia.
- Mempermudah transaksi dan akses pembiayaan
Dengan adanya sertifikat, tanah menjadi aset yang sah digunakan dalam berbagai transaksi legal seperti jual‑beli, sewa, atau gadai. Lembaga keuangan pun menggunakannya sebagai jaminan untuk pemberian kredit dan pinjaman. Hal ini menjadikan sertifikat penting dalam memperluas akses modal dan peluang ekonomi bagi pemilik tanah.
- Meningkatkan nilai ekonomi dan perencanaan administratif
Sertifikat memberikan nilai tambah pada tanah karena membawa legalitas yang diakui. Informasi tentang luas, lokasi, dan status hak juga membantu penilaian, pajak (seperti PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), serta perencanaan pemanfaatan wilayah oleh negara maupun investor.
- Mengurangi risiko sengketa dan klaim pihak ketiga
Karena kekuatan pembuktiannya, sertifikat menurunkan peluang pihak ketiga untuk mengklaim tanah secara sah setelah lima tahun tanpa gugatan. Sementara tantangan sengketa masih bisa muncul, keberadaan sertifikat tetap memperkuat posisi pemilik dalam menyelesaikan konflik secara hukum.
Dengan demikian, masyarakat bisa memilih jenis sertifikat sesuai kebutuhan: kepemilikan penuh (SHM), penggunaan sementara (HGB/HGU/SHP), manajemen tanah negara (HPL), atau properti vertikal (SHMSRS). Proses pendataan dan penerbitan dikelola oleh dan pejabat terkait, sementara teknologi digital seperti e‑sertifikat semakin mempersingkat dan mengamankan sistem pertanahan nasional.
Referensi:
- PENGARUH SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENCAPAI KEPASTIAN HUKUM – Jurnal Ilmu Syariah, Perundang-undangan dan Ekonomi Islam – Abdul Muthallib
- KEPASTIAN HUKUM SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH DALAM HUKUM PERTANAHAN INDONESIA – Jurnal Ilmiah Hukum – Helena Sumiati, Ardiansah, Bagio Kadaryanto
- Sertifikat Hak Atas Tanah oleh Adrian Sutedi, S.H., M.H.