Bangkit Lewat Thrift: Strategi Wirausaha Kreatif Gen Z dalam Digitalisasi dan Branding Produk Fashion Bekas

Di tengah era digital yang serba cepat dan dinamis, generasi muda semakin terdorong untuk mencari peluang usaha yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga selaras dengan nilai keberlanjutan dan kreativitas. Salah satu bentuk usaha yang tengah naik daun adalah bisnis thrift—jual beli pakaian bekas berkualitas yang dikurasi secara menarik dan kekinian. Tren ini bukan sekadar gaya hidup hemat, tetapi telah berkembang menjadi bentuk kewirausahaan kreatif yang diminati kalangan muda, khususnya mahasiswa.
Sebagai pelaku usaha thrift, saya menyadari bahwa menjual produk secondhand membutuhkan lebih dari sekadar stok barang. Diperlukan strategi branding yang kuat, pemanfaatan digital marketing yang tepat sasaran, serta keberanian untuk terus berinovasi dalam menciptakan nilai tambah produk. Melalui pengalaman pribadi membangun usaha ini, saya juga berkesempatan mengikuti berbagai program seperti P2MW (Program Pembinaan Mahasiswa Wirausaha) yang membuka ruang pengembangan lebih luas melalui pelatihan, pendanaan, dan business matching.
Artikel ini akan mengulas perjalanan saya dalam merintis usaha thrift, strategi-strategi yang digunakan untuk membangun branding dan menjangkau pasar secara digital, serta bagaimana program wirausaha mahasiswa mendukung pertumbuhan bisnis yang saya jalani. Harapannya, kisah ini bisa menjadi inspirasi sekaligus gambaran nyata tentang bagaimana semangat wirausaha bisa tumbuh dari ide sederhana dan dijalankan secara konsisten dengan pendekatan kreatif dan digital.

1.Membangun Jiwa Kewirausahaan Melalui Bisnis Thrift
Ketertarikan saya pada dunia fashion menjadi awal mula munculnya ide untuk memulai usaha thrift. Berawal dari keinginan sederhana: bagaimana caranya mengisi waktu luang di hari Minggu—ketika saya libur kuliah dan pacar saya libur kerja—dengan kegiatan yang bermanfaat, menyenangkan, dan tetap menghasilkan cuan. Dari situlah lahir ide untuk memulai bisnis jual beli pakaian bekas berkualitas yang kami jalankan bersama.
Bagi kami, usaha ini bukan sekadar jualan barang bekas, tapi menjadi cara untuk membangun semangat produktif sambil tetap menikmati waktu bersama. Tanpa disadari, dari kegiatan santai di akhir pekan, kami mulai belajar tentang banyak hal penting dalam kewirausahaan: mengelola waktu, mengatur stok, melayani pelanggan, hingga mencari strategi agar usaha ini bisa dikenal lebih luas.
Seiring berjalannya waktu, berbagai tantangan pun muncul—dari stok yang tidak selalu sesuai tren, persaingan pasar yang ketat, hingga mencari cara agar produk terlihat menarik secara visual. Tapi justru dari tantangan-tantangan itu, kami belajar untuk terus berpikir kreatif, fleksibel, dan terbuka terhadap peluang. Jiwa wirausaha tumbuh dari kebiasaan mencoba hal baru, belajar dari kesalahan, dan terus mencari cara untuk memberi nilai tambah pada setiap produk yang kami jual.
Usaha thrift ini mengajarkan saya bahwa kewirausahaan tidak harus selalu dimulai dari sesuatu yang besar. Bahkan dari kegiatan sederhana sekalipun, jika dijalani dengan niat, konsistensi, dan semangat belajar, bisa berkembang menjadi bisnis yang berarti—baik secara finansial, emosional, maupun pengembangan diri.

2.kreasi Produk: Membentuk Gaya Lewat Thrift Bertema Dark Aesthetic
Salah satu kekuatan utama dalam usaha thrift yang saya jalani adalah pemilihan tema visual yang kuat dan konsisten, yaitu dark aesthetic. Saya memilih gaya ini karena sesuai dengan ketertarikan pribadi saya pada subkultur fashion seperti grunge, emo, goth, hingga nuansa Y2K edgy, yang belakangan ini kembali populer di kalangan anak muda. Dengan konsep yang spesifik ini, saya ingin thrift shop saya tidak hanya menjual pakaian bekas, tetapi juga menawarkan identitas gaya yang jelas dan berkarakter.
Untuk menarik perhatian pelanggan, saya menata produk thrift secara visual melalui pemotretan yang dikurasi dengan baik. Saya menggunakan manekin sebagai media styling, lalu melakukan mix and match outfit agar terlihat lebih hidup dan aplikatif—seolah-olah memberi inspirasi langsung kepada calon pembeli tentang cara memakainya. Setiap tampilan dilengkapi dengan berbagai aksesori penunjang seperti choker, harness, belt rantai, kacamata tinted, atau tas kecil yang mendukung konsep dark aesthetic tersebut.
Tidak hanya itu, saya juga melakukan sedikit rework atau modifikasi pada beberapa item agar tampil lebih menarik dan unik. Misalnya dengan menambahkan patch, menjahit ulang bagian tertentu, memotong lengan, atau memberikan aksen distress (sobekan) agar tampilan pakaian terlihat lebih otentik dan sesuai dengan gaya grunge atau punk. Upaya ini saya lakukan untuk meningkatkan nilai visual dan eksklusivitas produk—karena setiap item menjadi lebih personal dan berbeda dari produk thrift biasa di pasaran.
3.Strategi Digital Marketing: Promosi Kreatif di Media Sosial
Untuk memasarkan produk, saya mengandalkan Instagram dan TikTok dengan membagikan reels mix and match bergaya dark aesthetic sesuai konsep thrift shop saya. Konten visual ini membantu menarik perhatian dan membangun identitas brand.
Pemesanan dapat dilakukan melalui DM Instagram atau WhatsApp, dengan pilihan transaksi via Shopee maupun manual transfer. Saya juga rutin mengunggah testimoni pelanggan di Instagram Story untuk membangun kepercayaan.
Sebagai strategi tambahan, saya mengadakan giveaway untuk meningkatkan interaksi dan menjangkau audiens baru. Selain itu, saya juga memanfaatkan live TikTok sebagai media jualan langsung, yang cukup efektif dalam menarik pembeli secara real-time.

Usaha thrift yang saya jalani bukan hanya tentang menjual pakaian bekas, tetapi juga menjadi wadah untuk menyalurkan kreativitas, membangun jiwa kewirausahaan, dan memanfaatkan media digital secara maksimal. Dengan konsep dark aesthetic yang kuat, strategi promosi yang konsisten, dan semangat untuk terus berkembang, saya percaya bisnis kecil ini bisa terus tumbuh dan memberi inspirasi bagi orang lain.
Melalui perjalanan ini, saya belajar bahwa memulai usaha tidak harus menunggu semuanya sempurna. Yang terpenting adalah keberanian untuk mencoba, kepekaan melihat peluang, dan kemauan untuk terus belajar serta beradaptasi.
Menurut saya, usaha thrift sangat cocok untuk Gen Z yang baru ingin memulai langkah pertama dalam dunia wirausaha. Selain tidak membutuhkan modal besar, risikonya relatif rendah, namun tetap memiliki potensi keuntungan yang menjanjikan—terutama jika dipadukan dengan strategi branding dan pemasaran digital yang tepat.
Saya mengajak teman-teman yang tertarik di bidang fashion atau ingin memulai usaha mandiri untuk mempertimbangkan thrift sebagai pilihan. Karena dari ide sederhana sekalipun, jika dijalani dengan konsistensi dan kreativitas, bisa menjadi sesuatu yang bernilai dan berdampak besar.