Di dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah tidak asing melihat berbagai macam bentuk tulisan, baik di media cetak atau pun media digital. Orang-orang biasa menyebut semua tulisan itu sebagai font. Dalam dunia desain, font lebih dikenal sebagai Tipografi. Selain visual, tipografi juga menjadi pilar penting dari komunikasi visual. Susunan yang terdiri dari huruf ini lebih dari sekadar tulisan, tipografi memiliki kekuatan untuk membuat sebuah desain memiliki nyawa, memiliki emosi, dan pada akhirnya akan memengaruhi audiens.
Tipografi adalah elemen penting dalam desain yang berfungsi untuk menyampaikan nuansa dan pesan dalam karya komunikasi visual. Dalam konteks ini, tipografi tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga sebagai elemen estetika yang dapat mempengaruhi persepsi dan emosi audiens. Menurut Ellen Lupton dalam bukunya Thinking with Type, “tipografi adalah seni dan teknik pengaturan jenis huruf yang berkontribusi pada pengalaman visual dan komunikasi”. Adapun salah satu tipografer terkenal, Massimo Vignelli, berkata “Tipografi adalah suara visual. Ketika digunakan dengan benar, itu (tipografi) berbicara tanpa memerlukan kata tambahan.” Yang mana ia menyampaikan apa esensi dari sebuah tipografi, tak hanya membangun pesan, tetapi juga menentukan penerimaan audiens saat menerima pesan tersebut. Dengan kata lain, tipografi adalah bahasa visual yang penuh kekuatan.
Setiap jenis tipografi memiliki kesan dan arti yang berbeda. Mulai dari jenis Serif yang klasik dan bersahabat khas tulisan tangan manusia, sampai jenis Sans-Serif yang sederhana dan bersih, sekaligus adaptif di berbagai tema. Berbicara mengenai Sans-Serif, jenis ini populer dan memiliki sub-jenis lain yang bermacam-macam. Namun di balik kepopuleran tersebut, terdapat jenis Sans-Serif yang cukup dihindari di kalangan desainer, jenis tersebut Bernama Comic Sans. Di antara beragam jenis Sans-Serif yang sederhana dan adaptif, font bertema komik ini berhasil menciptakan pembelahan pendapat yang cukup tajam.
Mungkin orang yang belum mengetahui hal ini bertanya-tanya mengapa Comic Sans memiliki isu tersendiri. Hal ini dipengaruhi berbagai faktor yang sebelumnya harus diresapi dengan baik untuk mengambil kesimpulan yang bijak sebelum pada akhirnya menyelami isu ini lebih dalam. Bermula dari latar belakang mengapa Comic Sans tercipta hingga kepopulerannya yang membawa pada penggunaan kurang tepat pada media tertentu.
Terciptanya Comic Sans
Comic Sans diciptakan oleh Vincent Connare pada tahun 1995 saat ia bekerja di Microsoft. Font ini dirancang untuk memberikan nuansa yang santai dan informal, terinspirasi oleh gaya tulisan tangan yang sering ditemukan dalam komik. Connare menciptakan Comic Sansdengan tujuan agar font ini dapat digunakan/diaplikasikan ke dalam media yang ditujukan untuk anak-anak, sehingga dapat memberikan kesan jenaka yang hangat dan akrab dalam desain. Namun, seiring berjalannya waktu, Comic Sans mulai mendapatkan reputasi negatif di kalangan desainer grafis dan profesional lainnya, yang menganggapnya tidak pantas untuk penggunaan formal.

Awalnya, Comic Sans dirilis sebagai bagian dari sistem operasi Windows 95 pada tahun 1995 dan segera menjadi populer karena kemudahan keterbacaan terutama di layer komputer dan desainnya yang ramah. Akses yang mudah untuk penggunaan font ini juga memungkinkan banyak orang untuk menggunakannya dalam dokumen sehari-hari. Dalam konteks Pendidikan, font ini seringkali digunakan untuk materi yang ditujukan kepada anak-anak. Kesan ceria dan keterbacaan menjadi faktor yang besar mengapa font ini sering digunakan dalam materi Pendidikan seperti buku pelajaran, poster, dan media edukasi lain.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Connare menciptakan font ini setelah melihat penggunaan font lain yang tidak cocok untuk konteks komik dalam aplikasi Microsoft Bob (sebuah program antarmuka pengguna grafis). Ia ingin menciptakan font yang lebih sesuai dengan tema komik dan lebih menarik bagi anak-anak. Pada tahun 1994, terciptalah Comic Sans dari Vincent Connare.
Penerapan Comic Sans Pada Media
- Media Pendidikan
Comic Sans telah digunakan dalam banyak media pendidikan dan e-learning karena ramah dan mudah dibaca. Dengan desainnya yang santai, font ini sering dipilih untuk materi yang ditujukan kepada siswa. Ini karena dapat menciptakan suasana yang lebih santai dan menarik. Comic Sans dapat membantu siswa menghindari materi pelajaran yang mungkin dianggap sulit atau membosankan.
Dalam penelitian dari Hikari Dwi Saputro dan Mohammad Ali Rustaminezhad, berjudul “Development of E-Learning Media Using Adobe Flash Program in a Contextual Learning Model to Improve Students’ Learning Outcomes in Junior High School Geographical Research Steps Materials” penulis menunjukkan bahwa pemilihan font yang tepat sangat penting dalam pengembangan media pembelajaran. Penelitian ini menekankan bahwa font yang mudah dibaca dapat meningkatkan pemahaman dan retensi informasi siswa. Comic Sans, dengan bentuk hurufnya yang sederhana dan jelas, dapat membantu siswa untuk lebih cepat memahami konten yang disajikan.
- Media Sosial
Menurut Smith (2018), penggunaan Comic Sans dalam meme sering kali menciptakan kesan yang ceria dan mengundang tawa, yang merupakan elemen penting dalam komunikasi visual di platform media sosial. Dalam artikel tersebut, Smith menyoroti bahwa Comic Sans sering dipilih oleh pembuat meme karena kemampuannya untuk menambah nuansa humor pada gambar atau teks. Font ini memberikan kesan bahwa pesan yang disampaikan tidak terlalu serius, sehingga lebih mudah diterima oleh audiens. Hal ini sangat penting dalam konteks media sosial, di mana pengguna sering mencari hiburan dan konten yang menghibur.
Smith juga mencatat bahwa penggunaan Comic Sans dalam meme dapat menciptakan keterhubungan emosional antara pembuat dan audiens. Font ini mampu menyampaikan perasaan santai dan akrab, yang membuat pengguna merasa lebih terlibat dengan konten tersebut. Dalam dunia media sosial yang penuh dengan berbagai jenis konten, kemampuan Comic Sans untuk menarik perhatian dan menciptakan suasana yang menyenangkan menjadikannya pilihan yang efektif bagi banyak kreator.
- Media Kreatif
Karakteristik Comic Sans yang bulat dan tidak formal menjadikannya pilihan ideal untuk berbagai jenis komik, baik cetak maupun digital. Font ini mampu menciptakan suasana yang menyenangkan dan menghibur, yang sangat penting dalam penyampaian cerita visual. Dalam dunia komik, di mana ekspresi dan emosi sangat penting, Comic Sans dapat membantu memperkuat pesan yang ingin disampaikan oleh ilustrator.
Banyak Content Creator menggunakan Comic Sans untuk menambah daya tarik visual pada karya mereka karena popularitas media sosial dan platform digital lainnya, yang mencerminkan tren modern di mana elemen visual dan tipografi bekerja sama untuk menarik perhatian audiens. Ini sejalan dengan gagasan Connare bahwa font ini dibuat untuk menjadi “ramah” dan “menyenangkan”, sehingga sesuai untuk digunakan di lingkungan di mana komedi dan keakraban menjadi topik utama.
Media kreatif lainnya, dapat berupa komik. Contohnya, penggunaan Comic Sans dalam komik digital dapat mempengaruhi interaksi pembaca dengan cara yang signifikan, terutama dalam menciptakan atmosfer yang ramah dan menyenangkan. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian mengenai aplikasi komik digital Webtoon, “komik memberikan hiburan tersendiri bagi para pembacanya,” dan penggunaan tipografi yang tepat seperti Comic Sans dapat memperkuat pengalaman membaca dengan meningkatkan keterhubungan emosional dan memfasilitasi pemahaman cerita. Dengan demikian, Comic Sans tidak hanya berfungsi sebagai elemen tipografi, tetapi juga sebagai alat untuk memperkaya interaksi pembaca dengan komik digital melalui suasana yang lebih akrab dan menyenangkan.
Kontroversi Comic Sans
Asal-usul Comic Sans sendiri cukup unik. Diciptakan oleh Vincent Connare, seorang desainer di tim Microsoft, font ini awalnya dirancang untuk panduan komputer berbasis kartun untuk anak-anak. Yang terinspirasi dari komik Batman dan Watchmen, Connare menciptakan huruf yang memiliki karakter ringan, tidak kaku, dan terkesan spontan. Ironisnya, meskipun dibuat untuk antarmuka digital anak-anak, font ini kemudian merembet ke berbagai penggunaan yang jauh dari target awalnya.
Kepopuleran dari font ini berakhir pada penggunaan yang di luar konteks yang sesuai. Misalnya, penggunaan pada teks atau dokumen formal dan presentasi professional. Hal ini membuat dokumen dan presentasi yang seharusnya merepresentasikan keresmian acara dan isi, justru menghilangkan citra professional di dalamnya. Penggunaan Comic Sans jelas tidak cocok untuk konteks formal, akibatnya Comic Sans menimbulkan perdebatan.
Desainer profesional kerap mengkritiknya karena dianggap tidak memenuhi standar desain tipografi yang baik. Huruf-huruf dalam Comic Sans tampak tidak konsisten, dengan ketebalan garis yang berubah-ubah dan bentuk yang seolah-olah digambar secara asal-asalan. Prinsip-prinsip desain huruf yang ideal haruslah mencakup keseimbangan, proporsi, dan keharmonisan. Namun, font ini sering kali dinilai gagal dalam hal ini, sehingga membuatnya kurang nyaman dipandang mata.
Selain itu, kritik lainnya datang dari sudut pandang estetik. Para ahli tipografi biasanya menghargai rasio antara tinggi dan lebar huruf, serta hubungan antara huruf individu dengan huruf lainnya. Sebaliknya, Comic Sans cenderung melenceng dari aturan tersebut, yang membuatnya terlihat tidak elegan dan kurang professional.

Hal ini menyebabkan marginalisasi terhadap pengguna font ini, di mana mereka sering kali dianggap tidak memiliki pemahaman desain yang baik. Mengutip dari tulisan M. Gumelar (2018), banyak para designer sepakat bahwa penggunaan font Comic Sans MS harus dilenyapkan di muka Bumi ini. Kebencian dan pemarginalan terhadap font Comic Sans MS seolah tiada akhir, apalagi yang menggunakan font tersebut adalah seorang comic artist, dipastikan walaupun cerita dan gambarnya di atas rata-rata, tetapi saat komik karyanya menggunakan font Comic Sans MS, habis sudah dijadikan sasaran pemarginalan dan kebencian melalui system hegeformaslavery ini.
Menariknya, kontroversi Comic Sans telah melahirkan gerakan anti-font yang unik. Pada tahun 2009, didirikan situs “Ban Comic Sans” yang mengkampanyekan penghentian penggunaan font ini. Para desainer profesional bergabung dalam kritik pedas, menganggap Comic Sans sebagai simbol ketidakprofesionalan dan keburukan desain. Efek dari gerakan ini meluas hingga ke ranah akademis dan profesional. Beberapa institusi pendidikan bahkan melarang penggunaan Comic Sans dalam dokumen resmi, karena menganggapnya sebagai bentuk ketidakseriusan. Universitas dan lembaga pemerintahan mulai membuat pedoman tipografi yang secara tegas melarang font berkarakter komik ini, mempertegas standar profesionalisme dalam komunikasi visual.
Namun, Vincent Connare sendiri tampaknya menerima kritik dengan sikap yang santai. Dalam berbagai wawancara, ia bahkan mengakui bahwa font yang diciptakannya memang tidak dirancang untuk penggunaan serius. “Saya tidak pernah bermaksud membuat font yang serius,” ujarnya dalam sebuah wawancara. Sikap santai ini justru semakin menambah daya tarik Comic Sans dalam perdebatan desain.
Perjalanan Comic Sans membuktikan bahwa desain tidak selalu tentang kesempurnaan teknis, tetapi juga tentang koneksi emosional. Meskipun dikritik habis-habisan, font ini tetap bertahan dan memiliki basis penggemar yang loyal. Ia menjadi semacam “pemberontak” dalam dunia tipografi, menantang aturan-aturan baku desain yang kaku. Comic Sans menjadi simbol budaya pop adalah fakta yang menarik lainnya. Meme, poster seni jalanan, dan desain yang sengaja ingin terlihat “tidak profesional” sering menggunakannya. Beberapa desainer dan seniman modern malah menggunakan font ini secara ironis, mengartikulasikan kritik sebagai pernyataan estetika yang disengaja.
Bagi para desainer muda, Comic Sans kerap dijadikan pelajaran tentang kompleksitas selera dan persepsi dalam desain. Font ini mengajarkan bahwa estetika tidak selalu bersifat absolut, dan kadang-kadang apa yang dianggap “buruk” oleh para ahli justru dicintai oleh masyarakat luas. Ironisnya, kritik bertubi-tubi membuat Comic Sans semakin populer. Semakin banyak orang yang membicarakannya, semakin banyak orang yang ingin menggunakannya. Yang mana ini adalah contoh langsung bagaimana kontroversi dapat menjadi bentuk publikasi yang tak disangka sebelumnya.
Referensi:
Smith, J. (2018). Fonts in the Age of Memes: The Cultural Impact of Typeface Choices on Social Media. Digital Culture & Society.
Lupton, E. (2010). Thinking with Type: A Critical Guide for Designers, Writers, Editors, & Students. Princeton Architectural Press.
Massimo Vignelli, The Vignelli Canon, Lars Müller Publishers.
Bringhurst, R. (2016). The Elements of Typographic Style. Hartley & Marks Publishers.
Noordzij, G., & Claassen, C. (1988). Handbook of Type and Lettering. Laurence King Publishing.
Atikah Khairina (2018). PENGARUH APLIKASI LINE WEBTOON TERHADAP MINAT REMAJA MEMBACA KOMIK DIGITAL.
Connare, V. (1995). Comic Sans: The Story Behind the Typeface.
M. Gumelar (2018). HEGEFORMASLAVERY: PEMARGINALAN COMIC SANS MS DEMI PERSAINGAN KAPITALISME DI BUMI.