Surat Sinema dari Shunji Iwai

Shunji Iwai adalah salah satu sutradara populer dan influential di Asia yang berasal dari Jepang. Meskipun dia adalah seorang sutradara, tetapi ia sering mengeklaim dirinya sendiri sebagai “eizo sakka” (visual artist). Selain menyutradarai, Shunji Iwai juga adalah seorang penulis buku/novel yang kebanyakan sudah diadaptasi ke layar lebar oleh Shunji Iwai Sendiri. Lalu ia juga sering menulis skrip untuk film yang ia sutradarai maupun tidak. Tidak lupa juga ia adalah seorang komponis, dan menulis musik untuk soundtrack filmnya sendiri.

Film-film Shunji Iwai kebanyakan berfokus pada tema kultur-pop Jepang, masa muda remaja-anak di Jepang, dan lebih berfokus pada karakter perempuan. Mayoritas pemeran utama dalam film yang ia sutradarai adalah seorang perempuan. Meskipun beberapa judul memiliki karakter utama laki-laki, Shunji Iwai sering memasukkan plot yang mengambil isu tentang perempuan sebagai sub-plot dari film-filmnya.

Penulis sudah menonton beberapa karya film yang disutradarai oleh Shunji Iwai, bisa dibilang film yang ia buat merupakan karya-karya yang influential di dunia perfilman Jepang maupun Asia. Berikut adalah pemikiran Penulis mengenai film-film Shunji Iwai yang pernah Penulis tonton.

Love Letter (1995)

Shunji Iwai debut dengan judul “Love Letter” pada tahun 1995 yang mengambil genre drama. Film ini menceritakan tentang Hiroko yang kehilangan tunangannya dalam suatu kecelakaan, lalu ia mendatangi sekolah lamanya dan mengirim surat ke mendiang tunangannya. Anehnya, Hiroko tiba-tiba menerima surat balasan dari surat yang ia kirim.

Film ini mengambil tema mengenai perjalanan manusia dalam menghadapi duka. Dengan premis yang simpel, Shunji Iwai dapat mendalami premis mengenai “duka” dengan melibatkan seluruh karakter dalam film yang merespon “duka” dengan cara yang berbeda. Dengan delivery yang di unik, perjalanan karakter utama menjadi lebih menarik, bahkan mengambil cerita paralel yang dihubungkan lewat satu tragedi yang membuat plot-plot yang memiliki jalan berbeda terhubung lewat satu benang tipis yang terlihat tidak signifikan namun memiliki ikatan yang kuat. Selain itu, di film ini memiliki dua karakter utama yang paralel antara satu sama lain yang menciptakan kontras namun diperankan oleh aktor yang sama membuat kesan disconected tetapi tetap terhubung dengan plot yang ditulis dengan baik.

Pemilihan dari tempat dan era yang dipilih juga menguatkan cerita. Film ini berlatar musim dingin di Jepang yang memunculkan kesan dingin, namun sepanjang perjalanan film ini kesan “dingin” berubah menjadi hangat dengan respon dari karakter-karakter dalam film ini dalam menghadapi duka. Dengan latar belakang alam Hokkaido yang indah dan alur cerita yang penuh ketenangan, Love Letter menyampaikan pesan bahwa keindahan dapat ditemukan dalam hal-hal kecil dan sederhana dalam hidup, bahkan di tengah-tengah kesedihan dan kehilangan.

Penggunaan surat dalam film ini juga merupakan metafora dari “surat dari surga” yang sangat berkaitan dengan film ini. Diawali dengan karakter utama yang saling mengirim surat dengan orang yang memiliki nama yang sama dengan mendiang suaminya, hingga surat yang dikirim karakter utama kepada suaminya di surga. Selain itu surat-surat yang ditukar antara kedua karakter wanita ini memperlihatkan bahwa perasaan cinta dan kehilangan bisa melampaui waktu dan ruang. Meskipun keduanya tidak pernah bertemu, mereka merasa terhubung melalui pengalaman yang serupa. Ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dan perasaan bisa tetap kuat meskipun ada jarak atau perpisahan fisik.

Dua karakter yang diperankan oleh aktor yang sama juga memberikan narasi yang memaparkan bahwa manusia tidak dapat mengenal seseorang sepenuhnya, tetapi hanya bisa mengenal seseorang dari tempat dan waktu tertentu. Seseorang dari masa lalu dengan tempat yang berbeda akan berbeda dengan ia di masa sekarang dengan tempat yang sekarang. Meskipun begitu seseorang itu adalah orang yang sama.

Film ini merupakan salah satu debut film panjang terbaik yang pernah penulis tonton, melihat pandangan Shunji Iwai terhadap duka yang diwakili oleh beberapa karakter membuat Penulis semakin menghargai proses dan perjalanan dalam menghadapi duka.

Picnic (1996)

Bercerita tentang tiga pasien rumah sakit jiwa yang kabur dengan tujuan mencari kebebasan. Karakter utama (Chara) ditinggalkan oleh ibunya di rumah sakit jiwa karena anaknya dianggap gila.

Shunji Iwai menggambarkan penyakit mental dengan cara yang paling jujur, tidak ada romantisasi maupun kesan merendahkan dalam penggambarannya. Gambaran nyata tentang seseorang yang memiliki masalah mental dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa tidak dilebih-lebihkan, tentu saja didukung dengan akting dari tiga aktor yang sangat piawai dalam memerankan karakternya. Namun di sisi lain, penggambaran rumah sakit jiwa di film ini memiliki kesan yang kejam, psychotic, dan otoriter.

Seperti dalam banyak film Jepang lainnya, Picnic menyoroti pentingnya hubungan antar individu. Karakter-karakter dalam film ini, meskipun berjuang dengan perasaan kesepian dan penderitaan pribadi, saling mendukung dan menunjukkan bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian dalam perjalanan hidup. Film ini menyampaikan pesan bahwa dalam kesendirian dan rasa sakit, kita masih bisa menemukan pelipur lara melalui pertemuan dengan orang lain.

Shunji Iwai menggunakan dinding sebagai metafora seperti biasa, yaitu melindungi sesuatu. Dinding di sini digunakan sebagai cara seseorang melihat dan mengeksplor dunia. Tiga karakter utama dilarang untuk melewati dinding, sehingga mereka beranggapan bahwa berjalan di atas tembok bukanlah hal yang dilarang. Sepanjang cerita tiga karakter ini melakukan perjalanan di atas dinding di seluruh kota, sehingga mereka dapat melihat dunia melalui dinding.

Selama perjalanan “dinding” ini, tiga karakter utama menemukan gereja dan mempelajari agama dari alkitab yang diberikan oleh pendeta gereja tersebut. Dengan karakter yang memiliki masalah dalam kesehatan mental, persepsi yang ditangkap oleh tiga karakter ini adalah “Dunia dimulai saat aku lahir, dan akan berakhir jika aku mati”. Perkenalan mereka terhadap agama adalah cara Shunji Iwai menegaskan bahwa jalan hidup manusia adalah pilihan manusia itu sendiri, bukan Tuhan. Dilihat dari tiga karakter utama yang memiliki masalah kesehatan mental tetapi memiliki keinginan sendiri meskipun kebebasannya terkekang. Tiga karakter utama ini juga digambarkan sebagai “fallen angels“, malaikat yang jatuh dari surga. Makhluk yang penuh kekangan dari Tuhan yang memiliki keinginan fana di dunia.

Motivasi salah satu karakter di film ini adalah menginginkan dunia ini hancur, dengan persepsi lain yang menyatakan “Dunia dimulai saat aku lahir, dan akan berakhir jika aku mati” memunculkan motivasi karakter utama untuk melewati batas “dinding” ini dengan tujuan “menghancurkan dunia”, dan melakukan piknik di tepi laut sebagai klimaks dari cerita ini. Piknik itu sendiri, sebagai tema utama dalam film ini, juga melambangkan nilai dari kebersamaan dalam momen-momen sederhana. Film ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam hal-hal kecil dan sederhana dalam menikmati waktu bersama orang lain, berbagi tawa, dan menyadari keindahan dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin sering terabaikan.

Film ini memberikan pandangan lain mengenai konsep “nihilist” lewat kacamata seseorang yang memiliki masalah dalam kesehatan mental, dan responnya terhadap ketuhanan yang dianggap mendikte kehidupan manusia.

April Story (1998)

Jauh berbeda dengan film-film sebelumnya, film ini mengangkat tema romansa anak muda dan coming-of-age. Bercerita tentang Uzuki sang anak kampung yang akan masuk kuliah di Tokyo.

Film ini menangkap manisnya perjalanan Uzuki dalam pendewasaannya sebagai anak perempuan yang merantau di kota besar. Perkenalan Uzuki dengan tempat, kebiasaan, dan orang baru dibungkus dengan pengalaman yang menyenangkan. Momen di mana Uzuki bertemu dengan kakak kelasnya di sekolahnya dulu juga digambarkan dengan sangat “remaja” dan sesuai dengan umurnya.

Meskipun Tokyo adalah kota yang besar dan ramai, Uzuki merasa kesepian. Perasaan terasing ini sering dirasakan oleh mereka yang datang ke kota besar untuk pertama kalinya, jauh dari keluarga dan teman-teman lama. Film ini menggambarkan bagaimana kesepian bisa menjadi bagian dari pengalaman seseorang yang mencari tempat dalam dunia yang baru.

Film ini dimulai pada bulan April, yang melambangkan musim semi, waktu yang penuh harapan dan awal yang baru. Perubahan musim sepanjang film mencerminkan perubahan perasaan dan pengalaman Uzuki yang berkembang seiring berjalannya waktu.

April Story adalah film yang penuh dengan momen-momen kecil yang tampak sederhana tetapi memiliki makna yang dalam. Perjalanan Uzuki menghadapai kesepian, pertemuan dengan orang baru, dan pencarian jati diri menggambarkan bahwa kebahagiaan dan makna hidup sering ditemukan dalam hal-hal kecil dan sederhana.

Film ini sangat pendek berdurasi 67 menit, tetapi berhasil menangkap kehangatan dan excitement dari respon seseorang dalam menghadapi dunia yang baru.

All About Lily Chou-chou (2001)

Film ini adalah salah satu mahakarya dari Shunji Iwai, yang menceritakan tentang Yuichi yang sangat menyukai musik dari band Lily Chou-chou dan membuat komunitas fans di internet. Film ini adalah counterpoint dari persepsi orang-orang yang menganggap internet adalah tempat yang berbahaya, justru di film ini internet adalah tempat aman bagi Yuichi. Film ini bergenre drama coming-of-age.

Di film ini terdapat tiga karakter utama, Yuichi, Hoshino, dan Tsuda. Ketiganya merupakan karakter yang dihubungkan oleh musik Lily Chou-chou.

Karakter Yuichi digambarkan sebagai karakter yang sangat terputus dari dunia luar setelah adanya insiden di plot filmnya. Kesendirian adalah kata yang tepat untuk karakter Yuichi, dia adalah hasil respons dari kekejaman dunia terhadap manusia. Meskipun begitu, karakternya digambarkan sangat empathetic, sekejam apapun dunia ia tetap mencoba bertahan dan menarik yang lain sebelum jatuh terlalu dalam jurang kenestapaan. Dilihat dari bagaimana dia mencoba untuk membantu Tsuda dan Kuno, meskipun kurangnya keberanian yang membuat segala hal menjadi lebih buruk. Alhasil Yuichi membuat tempat perlindungan di internet dengan kecintaannya terhadap Lily Chou-chou, yaitu Ether.

Di sisi lain, karakter Hoshino adalah karakter yang memiliki watak yang baik di awal cerita, sampai di suatu insiden di musim panas, hal ini membuat Hoshino berubah. Beban dari seorang bocah beranjak dewasa sangatlah berat sehingga melunturkan segala hal di depan mata. Menjadi seorang yang beringas dan perundung adalah respon Hoshino dalam kemuakannya terhadap dunia. Di sisi lain, Hoshino yang juga mencintai Lily Chou-chou mencari perlindungan di Ether.

Tsuda adalah korban dari perubahan dan akibat dari segala sebab. Dia adalah korban dari perubahan Hoshino, dan sebuah representasi dari eksploitasi terhadap perempuan di Jepang. Ironisnya, satu-satunya orang yang mencoba baik padanya adalah Yuichi, orang yang diperintahkan Hoshino untuk “menjual” Tsuda. Mengakhiri hidup dengan terbang seperti layang-layang adalah respon Tsuda terhadap kemuakkannya.

Film ini menjelaskan bahwa proses pendewasaan adalah momen yang sangat krusial bagi manusia, momen yang menentukan arah kehidupan yang akan ditempuh nantinya. Segala hal akan mempengaruhi jalan hidup seseorang pada momen ini.

Keabsenan figur “dewasa” juga menjadi masalah utama dalam pendewasaan seseorang, sehingga seseorang yang sedang mengalami momen ini memberikan respon yang sangat menyimpang.

Film ini adalah film non-linear, menayangkan akibat sebelum sebabnya, dan akibat besar setelahnya. Dengan gaya sinematografi yang tidak umum, penggunaan lighting yang unik, bahkan gaya visual yang berbeda di beberapa sequencenya. Hal ini adalah bentuk visual dari plot yang ditulis.

A Bride For Rip Van Winkle (2016)

Film ini adalah film Shunji Iwai favorit Penulis. Bercerita tentang Nanami yang merupakan seorang guru paruh waktu yang menyewa aktor untuk berpura-pura menjadi keluarganya di hari pernikahannya.

Film ini menggambarkan kehidupan kontemporer di kehidupan urban di Jepang, di mana nilai tradisional selalu bertabrakan dengan nilai modern. Hal ini menyebabkan hubungan manusia yang bersifat hanya transaksional dan dapat dipalsukan, yang menyimbolkan pengasingan dan kesendirian menjadi lumrah di dunia modern.

Nanami bertemu suaminya di dating apps secara daring, yang menggambarkan kurangnya keterikatan emosional secara nyata. Selain itu pernikahan yang mereka lakukan memunculkan ekspektasi sosial khususnya terhadap perempuan, seperti bagaimana Nanami berhenti bekerja setelah menikah yang mengikat pada nilai-nilai tradisional, yang di mana nilai ini juga menyebabkan perceraian dalam pernikahan Nanami.

Karakter Mashiro di sini adalah representasi Rip Van Winkle, seseorang yang terjaga dari tidur panjangnya. Mashiro muncul sebagai counterpoint bahwa hubungan di kehidupan kontemporer ini tidak melulu palsu dan transaksional. Meskipun ironisnya hubungannya dengan Nanami berawal dari hubungan yang transaksional, mereka menjalani hubungan yang tulus dan lepas dari segala nilai tradisional maupun modern, yang juga digambarkan dengan hubungan sesama jenis.