Pendahuluan
Stoicisme adalah filosofi yang berakar dari Yunani-Romawi kuno yang fokus pada kendali diri, rasionalitas, dan penerimaan atas hal-hal di luar kendali. Diajarkan pertama kali oleh filsuf seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Lebih dari 2000 tahun lalu pemikiran stoic ini menemukan akar masalah dan juga Solusi dari banyak emosi negative. Filosofi ini dapat membantu dan sangat relevan untuk seorang calon desainer dalam menghadapi tantangan kreatif dan profesional.
Dalam proses menjadi seorang desainer seringkali seorang calon desainer di hadapkan dengan berbagai tekanan. Mulai dari tekanan untuk menciptakan karya yang orisinal hingga menghadapi kritik tajam, desainer sering kali dihadapkan pada situasi yang menguji mental mereka. Artikel ini dibuat dengan tujuan sebagai referensi untuk membantu calon desainer menghadapi tekanan dengan tetap berfikir rasional dan lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan kreatif.
Memahami Tantangan
Menjadi seorang desainer bukan hanya tentang bagaimana cara membuat karya dengan visual yang menarik, tetapi juga tentang bagaimana menghadapi tekanan dalam proses pembuatan karya visual. Seringkali seorang calon desainer terjebak dalam berbagai tekanan yang mengganggu proses mereka dalam menciptakan sebuah karya. Seperti tekanan waktu, kritik dan revisi, perbandingan dengan karya lain, serta ketidakpastian proyek, menjadi hal-hal yang kerap menghantui seorang desainer. Semua tekanan ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat berpengaruh besar pada kualitas hasil pembuatan sebuah karya.
Memahami tantangan yang ada merupakan langkah awal yang dapat membantu seorang desainer untuk dapat menghadapi tekanan. Dalam dunia desain, tekanan dan tuntutan akan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Cara terbaik untuk menghadapinya bukanlah dengan menghindari tekanan, tetapi dengan mencari cara untuk beradaptasi dan mengelolanya. Menariknya, tekanan yang dirasakan seorang desainer tidak selalu berasal dari faktor eksternal, seperti permintaan klien atau tenggat waktu yang ketat. Seringkali, tekanan tersebut justru muncul dari dalam diri sendiri, berupa ekspektasi yang terlalu tinggi, rasa takut akan kegagalan, atau bahkan ketidakpuasan terhadap karya yang telah dibuat.
Sebagai seorang desainer, penting untuk mengenali bahwa tekanan tidak selalu bersifat negatif. Tekanan, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi motivasi untuk terus belajar dan berkembang. Namun, jika tidak dikelola, tekanan tersebut bisa berubah menjadi hambatan yang mengganggu kreativitas dan produktivitas. Oleh karena itu, langkah pertama dalam menghadapi tekanan adalah dengan mengenali sumbernya, baik itu dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Setelah itu, desainer perlu belajar untuk memilah mana yang bisa dikendalikan dan mana yang berada di luar kendali mereka.
Sebagai contoh, kritik dari klien mungkin terasa sulit diterima pada awalnya, tetapi jika dipandang sebagai masukan yang konstruktif, kritik tersebut dapat membantu desainer menciptakan karya yang lebih baik. Begitu pula dengan tekanan waktu. Dengan manajemen waktu yang baik dan perencanaan yang matang, tekanan waktu dapat diubah menjadi tantangan yang memacu produktivitas.
Selain itu, penting bagi desainer untuk menjaga keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kesehatan mental mereka. Salah satu cara efektif untuk melakukannya adalah dengan mempraktikkan prinsip-prinsip Stoicisme. Filosofi ini mengajarkan untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan, seperti usaha dan sikap, dan menerima dengan lapang dada hal-hal yang berada di luar kendali, seperti opini orang lain atau hasil akhir dari sebuah proyek. Dengan demikian, Stoicisme dapat menjadi alat yang sangat berguna bagi desainer untuk menghadapi tekanan dan tuntutan yang ada.
Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang tantangan dalam dunia desain, serta penerapan prinsip-prinsip Stoicisme, seorang desainer dapat mengubah tekanan menjadi peluang untuk berkembang. Pada akhirnya, perjalanan seorang desainer bukan hanya tentang menghasilkan karya visual yang indah, tetapi juga tentang bagaimana mengelola diri dan tekanan dengan bijaksana sehingga mampu menciptakan karya yang bermakna dan autentik.
Prinsip Stoic yang relevan
1. Dikotomi Kendali
“Some things are up to us and some things are not up to us” Epictetus [Enchiridion]
“Ada hal-hal di bawah kendali kita ( hal yang bisa kita kendalikan ) dan ada hal yang tidak dibawah kendali kita ( hal yang tidak bisa kita kendalikan )”
Kalimat diatas merupakan salah satu prinsip inti dalam stoicisme, yang memisahkan antara hal yang tergantung pada kita dan hal yang tidak tergantung pada kita, karena pada dasarnya segala sesuatu hal yang menimpa kita pada awalnya bersifat indifferent ( netral saja ) soal baik atau buruknya sesuatu tergantung dari cara jiwa kita menafsirkanya
Dalam konteks menjadi seorang desainer, prinsip ini sangat relevan digunakan sebagai panduan untuk menyederhanakan tantangan yang kita terima, agar seorang calon desainer dapat dengan mudah mengetahui fokus utama dari hal yang ia kerjakan. Salah satu contoh hal yang bisa dipraktikkan adalah ketika seorang desainer yang baru membuka jasa desain mendapatkan first client nya, hal tersebut pasti akan menjadi hal yang akan selalu diingat dan menjadi momen yang mendebarkan untuk desainer, pada situasi ini desainer pasti akan terus terusan memikirkan cara agar ia dapat memberi kepuasan kepada client pertamanya, situasi yang bisa menyebabkan penuh kecemasan serta menimbulkan perasaan deg-degan, dan ketakutan yang muncul adalah : apakah project pertama saya akan berhasil? apakah client perta saya akan puas? Bagaimana jika client pertama saya merasa kecewa dan menuntut uang kembali ?
dengan prinsip up to us and not up to us seorang desainer bisa membagi persoalan diatas menjadi 2 hal :
Hal yang bisa dikendalikan ( Up to us ) :
- Kualitas Proses dan Hasil Kerja: Seorang desainer dapat fokus pada bagaimana menciptakan karya yang berkualitas, baik dari segi konsep maupun eksekusi.
- Komunikasi dengan Klien: Memberikan insight yang jelas, mendengarkan kebutuhan klien, dan memberikan solusi yang relevan adalah hal-hal yang dapat dikontrol oleh desainer.
- Pengelolaan Waktu dan Proyek: Membuat timeline yang realistis dan memastikan setiap langkah kerja berjalan sesuai rencana.
- Respon terhadap Kritik: Memilih untuk merespon masukan dari klien secara profesional dan konstruktif tanpa terpengaruh oleh emosi negatif.
Hal yang tidak bisa dikendalikan ( Not up to us ) :
- Pendapat dan Reaksi Klien: Terlepas dari seberapa baik desain yang Anda hasilkan, klien mungkin memiliki preferensi atau ekspektasi tertentu yang berbeda.
- Keputusan Final Klien: Apakah klien akan menggunakan desain Anda atau tidak, hal ini berada di luar kontrol Anda.
- Kondisi Pasar atau Tren: Tren desain atau preferensi konsumen yang terus berubah tidak bisa Anda kendalikan.
- Situasi Eksternal: Seperti kendala anggaran klien atau kebutuhan proyek yang tiba-tiba berubah.
Dikotomi kendali mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi bersifat netral, dan baik atau buruknya suatu hal tergantung pada cara kita menafsirkannya. Dalam konteks desain, prinsip ini relevan untuk membantu desainer menyederhanakan tantangan dengan memisahkan hal-hal yang dapat mereka kendalikan dan hal-hal yang tidak. Misalnya, seorang desainer dapat fokus pada kualitas hasil kerja, komunikasi yang jelas dengan klien, pengelolaan waktu yang baik, dan merespons kritik secara konstruktif—semua itu adalah hal yang bisa dikendalikan. Sementara itu, reaksi atau keputusan akhir klien, kondisi pasar, atau perubahan mendadak dalam kebutuhan proyek adalah faktor-faktor di luar kendali desainer. Dengan mempraktikkan prinsip ini, desainer dapat mengurangi stres, meningkatkan produktivitas dengan memusatkan energi pada hal-hal yang berada dalam kendali mereka, serta membangun ketahanan emosional saat menghadapi tantangan. Ketika menghadapi klien pertama, misalnya, desainer dapat berfokus pada memastikan desain sesuai dengan brief dan belajar dari pengalaman tanpa terlalu terbebani oleh kekhawatiran tentang hasil akhir yang di luar kendali mereka. Prinsip ini pada akhirnya memungkinkan desainer bekerja lebih tenang, fokus, dan efektif.
2. Arete
Dalam buku Stoicism and The Art of Hppiness Donald Robertson menerangkan bahwa arete bermakna “menjalankan sifat dan esensi dasar kita dengan sebaik mungkin, dengan cara yang terpuji”, atau kalau dalam buku filosfi teras Bahasa mudahnya,”hidup sebaik-baiknya sesuai dengan peruntukkan kita”
Contoh penggunaan arete dalam penggunaan bahasa Yunani aslinya seekor kuda yang kuat, Tangguh, dan bisa berlari kencang bisa disebut memiliki arete, ini artinya si kuda yang kuat dan berlari kencang ini sudah menjalankan hidupnya dengan sebaik baiknya sesuai sifat dan peruntukkan dasar dari hewan kuda
secara luas makna “menjalankan sifat dasar” Arete mengajarkan desainer untuk selalu berusaha mencapai keunggulan melalui personal branding yang kuat, dedikasi pada kualitas dan fungsi visual desain, integritas, dan pengembangan diri. Namun dalam menjalankan esensinya seorang desainer harus bisa menentukan arah ( niche ) agar dapat menjalankan profesi desainer sesuai peruntukkan dengan effisien. karena dengan menetukan arah akan menspesifikasi jasa agar bisa dicari orang lebih gampang
Dalam konteks seorang desainer, arete berarti tidak hanya menciptakan karya yang menarik secara visual tetapi juga berfungsi dengan baik sesuai dengan kebutuhan klien dan audiens. Menjalankan esensi seorang desainer dengan baik juga berarti memahami kekuatan dan keunikan diri sendiri, lalu mengarahkan keterampilan tersebut ke dalam niche tertentu yang sesuai. Misalnya, seorang desainer grafis yang memiliki minat dan keahlian dalam pembuatan logo dapat memfokuskan jasa mereka khusus pada pembuatan logo restaurant saja atau seorang motion graphic yang fokus hanya pada jasa buat undagan online
Penentuan niche ini tidak hanya membantu desainer lebih efisien dalam mengembangkan keahliannya tetapi juga membangun reputasi sebagai ahli di bidang tertentu. Dengan begitu, klien akan lebih mudah mengenali dan mencari desainer yang mereka butuhkan. Prinsip ini selaras dengan gagasan arete, yaitu menjalani peran dengan sebaik-baiknya sesuai dengan sifat dan potensi dasar kita. Ketika seorang desainer memahami keunggulannya dan berkomitmen pada arah yang spesifik, ia akan lebih fokus, produktif, dan mampu memberikan dampak yang lebih besar melalui karyanya.
Selain itu, arete mendorong desainer untuk tidak pernah berhenti belajar dan berkembang. Baik itu melalui penguasaan alat desain baru, eksplorasi gaya visual yang inovatif, atau peningkatan kemampuan komunikasi dengan klien, semua itu adalah bagian dari perjalanan untuk menjalankan esensi seorang desainer dengan sebaik-baiknya. Dengan mempraktikkan prinsip ini, seorang desainer tidak hanya menghasilkan karya yang luar biasa tetapi juga menemukan makna yang lebih mendalam dalam profesinya.
3. In accordance with nature
Dalam Stoicisme, prinsip in accordance with nature berarti hidup sesuai sifat dasar manusia, yakni menggunakan akal dan logika untuk membuat keputusan. Bagi desainer, prinsip ini relevan dalam menciptakan karya yang tidak hanya estetis tetapi juga fungsional. Dalam dunia desain, estetika yang indah harus berjalan beriringan dengan fungsi yang memenuhi kebutuhan pengguna. Contohnya, antarmuka pengguna (UI) tidak hanya perlu terlihat menarik tetapi juga intuitif dan mudah digunakan. Desain yang baik adalah desain yang berfungsi sesuai tujuannya.
Prinsip ini juga mengajarkan desainer untuk tetap rasional dalam menghadapi tantangan, seperti kritik dan revisi. Ketika mendapatkan masukan, desainer dapat menggunakan pendekatan analitis untuk menyaring masukan yang membangun dan menggunakannya untuk memperbaiki kualitas karyanya. Proses ini memungkinkan desainer berkembang tanpa merasa terjebak oleh emosi negatif.
Selain itu, bekerja secara terorganisir sangat penting untuk menghasilkan desain yang efektif. Proses desain yang dimulai dari riset, analisis, hingga perencanaan yang matang membantu memastikan karya yang dihasilkan sesuai dengan data dan kebutuhan klien, bukan sekadar ide kreatif belaka. Dengan mempraktikkan prinsip ini, desainer dapat menjaga keseimbangan antara kreativitas dan logika, menghasilkan solusi desain yang orisinal sekaligus relevan bagi audiens.
Kesimpulan
Stoicisme menawarkan prinsip-prinsip seperti Dikotomi Kendali, Arete, dan In Accordance with Nature yang relevan untuk membantu desainer menghadapi tantangan kreatif dan profesional. Dengan Dikotomi Kendali, desainer dapat memfokuskan energi pada hal-hal yang bisa dikendalikan, seperti kualitas karya dan komunikasi dengan klien, sambil menerima hal-hal di luar kendali mereka. Prinsip Arete mendorong desainer untuk mencapai keunggulan dengan mengenali keunikan diri, memilih niche yang sesuai, dan terus berkembang. Sementara itu, In Accordance with Nature menekankan pentingnya menggunakan logika dan akal sehat untuk menciptakan desain yang estetis sekaligus fungsional. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, desainer dapat bekerja lebih fokus, efisien, dan seimbang, serta mampu mengubah tekanan menjadi peluang untuk berkembang.