Pengertian Ikebana
Ikebana adalah seni merangkai bunga tradisional Jepang yang melibatkan penggunaan cabang, daun, dan bunga yang ditempatkan dalam wadah berisi air, kemudian dipajang di dalam ruangan. Seni ini sudah dikenal sejak zaman kuno dan berkembang dengan berbagai sebutan seperti tatehana, nageire, rikka, seika, bunjinbana, dan moribana, masing-masing mewakili periode sejarah tertentu. Saat ini, istilah ikebana secara umum digunakan untuk merujuk pada semua jenis susunan bunga ini.
Tanaman yang digunakan dalam Ikebana, seperti bunga, cabang, dan rumput, harus diletakkan dalam air agar tetap segar. Prinsip dasar ini telah diterima sejak dahulu, mencerminkan hubungan manusia dengan alam yang penuh perhatian terhadap keindahan dan keberlanjutan kehidupan.
Shinto, agama asli Jepang, mengajarkan bahwa segala sesuatu bersifat sakral dan berhubungan dengan alam, sementara ajaran Buddha mengajarkan bahwa kehidupan adalah sementara (mujo). Konsep ini menjadi dasar bagi seni Ikebana, di mana setiap komposisi bunga melambangkan siklus kehidupan yang sementara. Ketika sebuah karya Ikebana selesai dibuat, keindahannya akan layu dalam beberapa hari, yang menandakan bahwa keindahan yang sesaat adalah bagian dari kehidupan yang selalu berubah.
Emosi dan simbolisme memainkan peran penting dalam Ikebana. Misalnya, bunga sakura melambangkan keberanian dan kejantanan, sementara rumput musim gugur melambangkan nostalgia. Ikebana juga berkaitan dengan musim dan perasaan manusia, di mana bunga yang digunakan menggambarkan bulan atau perasaan tertentu. Oleh karena itu, komposisi bunga ini tidak hanya berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan alam, tetapi juga untuk menciptakan suasana yang sesuai dengan waktu dan acara tertentu.
Ikebana terdiri dari berbagai aliran yang memiliki ciri khas masing-masing, seperti Ikenobo, Ichiyo, Mishoryu, Ohara, Koryu, Sogetsu, dan lainnya. Aliran Ikenobo, yang dianggap sebagai aliran tertua, berasal dari abad keenam di Vihara Rokkakudo, Kyoto. Nama “Ikenobo” diambil dari sebuah pondokan kecil dekat kolam di vihara tersebut, yang berarti ‘biksu yang merangkai bunga di dekat kolam’.
Sejarah Ikebana
Ikebana, seni merangkai bunga yang berasal dari Jepang, memiliki sejarah panjang. Seni ini bermula dari aliran Ikenobo, yang merupakan aliran tertua dalam Ikebana, dan pada awalnya dikenal dengan nama Tatebana atau Tatehana, yang berarti ‘bunga yang berdiri’. Nama ini merujuk pada pengaturan bunga yang tegak, mirip dengan bagaimana pohon tumbuh di alam. Ikebana mulai berkembang seiring waktu dan pada abad keenam, seorang bangsawan yang kemudian menjadi pendeta, Onomoko, mempelajari seni merangkai bunga dari Cina dan menciptakan rangkaian bunga pertama yang dipersembahkan di altar Buddha.
Seiring berjalannya waktu, Ikebana tidak hanya berkembang di kalangan para pendeta Buddha, tetapi juga menjadi seni yang dinikmati oleh masyarakat umum. Pada masa Edo, terutama di akhir periode tersebut, seni ini mulai populer di kalangan masyarakat biasa, meskipun sebelumnya hanya dinikmati oleh bangsawan dan samurai. Gaya Ikebana Shoka (seika) menjadi sangat digemari, dan banyak aliran baru bermunculan, seperti Mishoryu, Koryu, Enshuryu, serta Senkeiryu, yang melahirkan banyak ahli Ikebana dan mengembangkan teknik-teknik tinggi dalam seni ini.
Ikebana kemudian diperkenalkan ke Eropa pada akhir periode Edo hingga awal era Meiji, ketika minat orang Eropa terhadap kebudayaan Jepang mencapai puncaknya. Ikebana berpengaruh pada seni merangkai bunga Eropa, yang meniru garis susunan bunga ala Ikebana. Hingga Maret 2005, tercatat ada 392 aliran Ikebana yang terdaftar dalam Asosiasi Seni Ikebana Jepang, yang menunjukkan betapa pesatnya perkembangan seni ini.
Pada dasarnya, Ikebana adalah seni merangkai bunga yang mengutamakan prinsip keseimbangan dan keharmonisan, dengan mengikuti aturan-aturan tertentu. Setiap pengaturan bunga dalam Ikebana tidak hanya sekadar susunan estetik, tetapi juga mencerminkan kondisi jiwa pembuatnya. Proses merangkai bunga dapat menggambarkan perasaan atau situasi tertentu, seperti kegembiraan, kesedihan, atau ketenangan.
Ikebana juga berkaitan erat dengan kepercayaan di Jepang. Pada abad ke-16, di bawah pemerintahan Shogun Muromachi, ketika revolusi politik terjadi, seni merangkai bunga menjadi sarana untuk menghormati para dewa. Ikenobo Senkei, seorang pendeta Buddha, memulai tradisi merangkai bunga dengan menggunakan benda-benda sederhana seperti batu dan tanaman, yang diletakkan di altar sebagai persembahan. Tujuan Ikenobo adalah untuk menunjukkan bahwa benda sederhana pun memiliki nilai yang setara dengan emas dan permata yang biasa digunakan sebagai persembahan.
Ikebana tidak hanya digunakan dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Seni ini terus berkembang, mencakup berbagai gaya seperti Rikka, Shoka, Nagaire, dan Moribana. Setiap gaya memiliki ciri khas dan dapat berkembang menjadi banyak gaya baru. Seiring dengan perkembangan zaman, bahan-bahan yang digunakan dalam Ikebana tidak hanya terbatas pada tumbuhan, tetapi juga mencakup bahan lain seperti plastik, logam, dan batu. Proses pembuatan Ikebana juga dapat dipengaruhi oleh kondisi emosional dan jiwa seseorang, menjadikannya lebih sabar, artistik, kreatif, dan lebih mencintai alam.
Ikebana juga dapat memiliki tema tertentu, misalnya untuk menggambarkan perasaan dalam situasi tertentu, seperti saat hujan atau angin ribut. Dalam beberapa budaya, Ikebana dapat mencerminkan alam dari negara masing-masing, misalnya Indonesia, India, Thailand, atau Jepang. Keindahan seni ini adalah kemampuannya untuk menggambarkan perubahan alam dan musim melalui pengaturan bunga yang khas. Sebagai contoh, pengaruh empat musim di Jepang dapat terlihat jelas dalam pengaturan bunga yang menggambarkan perubahan warna pepohonan, daun, dan bunga di setiap musim.
Seiring dengan berkembangnya Ikebana, banyak aliran baru bermunculan dari aliran Ikenobo. Pada masa awal, pengaturan bunga dalam wadah sempit dan tinggi sering digunakan untuk tujuan religius di biara-biara Buddha. Namun, pada akhir periode Heian dan periode Kamakura, pengaturan bunga mulai diterapkan dalam rumah-rumah bangsawan dan pejuang, dan menjadi elemen penting dalam dekorasi rumah, khususnya dalam tokonoma. Pengaruh Ikebana bahkan menyentuh berbagai aspek kehidupan, dari seni dekorasi hingga ekspresi emosi dan spiritualitas dalam bentuk seni yang sederhana namun mendalam.
Tiga Gaya dalam Ikebana
- Rikka (bunga tegak)
Rikka adalah rangkaian yang rumit dan megah, mencerminkan kebesaran alam dan sering digunakan dalam perayaan keagamaan. Gaya ini berkembang pada awal abad ke-16 dan menampilkan keindahan lanskap tanaman. Rikka memiliki ukuran besar, mencapai 8-12 kaki, dan terdiri dari sembilan tangkai fungsional, termasuk Shin (tangkai utama), Soe (pembantu), dan Mokashi (pandangan jauh). Dalam Rikka, batang harus lurus dan berpusat pada satu titik, melambangkan pohon. Teknik “mematahkan tapi tidak patah” dengan kawat digunakan untuk menjaga aliran air pada batang. - Shoka (bunga sederhana)
Shoka adalah gaya yang lebih sederhana dan tidak terlalu formal, berfokus pada bentuk asli tumbuhan. Gaya ini dikembangkan oleh Ikenobo Senjo dan memiliki tiga garis komposisi yang membentuk segitiga. Shoka terdiri dari variasi seperti Shoka Isshu Ike (satu bahan) dan Shoka Nishu Ike (dua bahan). Terdapat tiga unsur utama: Shin (langit), Soe (bumi), dan Tai (manusia). Gaya ini juga terpengaruh oleh Eropa, melahirkan rangkaian baru seperti Nageire dan Moribana, serta Shoka Shinputai yang lebih modern. - Jiyuka (bunga bebas)
Jiyuka adalah gaya bebas yang berkembang setelah Perang Dunia II, memungkinkan perangkai mengekspresikan kreativitas tanpa batasan. Dalam gaya ini, berbagai elemen seperti kawat, logam, dan batu dapat digunakan. Jiyuka dibagi menjadi dua kategori: rangkaian alami dan abstrak, memberikan kebebasan dalam ekspresi artistik. Gaya ini terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan zaman.
Model atau Pattern Ikebana yang Terkenal
Isshu Ike (一種いけ) adalah pola merangkai bunga yang menggunakan satu jenis tanaman atau bunga. Dalam seni ini, tanaman yang dipilih memiliki kekuatan alami yang memungkinkan mereka berdiri sendiri tanpa memerlukan dukungan dari bahan tambahan. Contoh tanaman yang sering digunakan dalam pola ini termasuk bunga ume, sugi, dan jenis lainnya. Dalam proses merangkai, penting untuk memperhatikan karakteristik batang dan daun, serta intensitas warna hijau yang dimiliki. Beberapa bunga seperti kiku, ume, dan sakura dapat ditambahkan sebagai elemen pendukung untuk memberikan kesan yang lebih tegas dan menonjolkan keindahan tanaman utama. Isshu ike menekankan kesederhanaan dan keanggunan, menciptakan komposisi yang harmonis dan seimbang.
Nishu Ike (二種いけ) adalah pola yang menggabungkan dua jenis tanaman atau bunga. Dalam pola ini, tanaman yang digunakan biasanya tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri, sehingga memerlukan dukungan dari tanaman lain untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas komposisi. Kombinasi ini memungkinkan penciptaan harmoni antara dua elemen, di mana masing-masing tanaman saling melengkapi dan memperkuat keindahan satu sama lain. Nishu ike sering kali menciptakan interaksi yang menarik antara dua jenis tanaman, memberikan kedalaman visual dan emosi pada rangkaian.
Sanshu Ike (三種いけ) mirip dengan Nishu ike, tetapi menggunakan tiga jenis tanaman atau bunga. Selain mengandalkan tanaman lain untuk menopang, pola ini juga memanfaatkan daun dari tanaman sebagai bagian integral dari komposisi. Dengan menambahkan elemen ketiga, seniman dapat menciptakan kedalaman dan kompleksitas dalam rangkaian, serta menonjolkan interaksi antara berbagai elemen yang ada. Sanshu ike memberikan lebih banyak ruang untuk eksplorasi kreatif, memungkinkan seniman untuk bermain dengan tekstur dan warna.
Yonshu Ike (四種いけ) mengikuti prinsip yang sama dengan Nishu ike, tetapi melibatkan empat jenis tanaman atau lebih. Dalam pola ini, kombinasi beberapa jenis bunga dan daun sering digunakan, terkadang mencakup hingga enam jenis bunga dan dua jenis daun. Dalam gaya modern, pola ini semakin sering memanfaatkan variasi elemen tanaman untuk menciptakan harmoni yang kaya dan dinamis. Keberagaman ini memungkinkan seniman untuk bereksperimen dengan berbagai bentuk dan warna, menciptakan komposisi yang lebih kompleks dan menarik. Yonshu ike mencerminkan kreativitas dan inovasi dalam seni ikebana, di mana setiap elemen berkontribusi pada keseluruhan komposisi.
Secara keseluruhan, semua pola ikebana ini mencerminkan keindahan dan keseimbangan dalam seni merangkai bunga Jepang. Setiap pola memiliki karakteristik dan prinsip yang unik, yang memungkinkan seniman untuk mengekspresikan kreativitas mereka sambil tetap menghormati alam dan keindahan yang ada di sekitarnya. Melalui pemilihan dan pengaturan elemen yang cermat, ikebana tidak hanya menjadi sebuah karya seni, tetapi juga sebuah bentuk meditasi yang membawa ketenangan dan refleksi bagi penciptanya.
Nilai – Nilai yang Terkandung dalam Ikebana
Ikebana, seni merangkai bunga yang berasal dari Jepang, bukan hanya sekadar hiasan, tetapi juga merupakan bentuk ekspresi artistik yang mendalam. Berbeda dengan seni merangkai bunga ala Barat yang lebih fokus pada aspek dekoratif, Ikebana berupaya menciptakan harmoni melalui garis, ritme, dan warna. Setiap komposisi dalam Ikebana menggabungkan berbagai jenis bunga, rumput, dan tanaman, serta didasarkan pada tiga elemen utama yang mewakili langit, bumi, dan manusia. Rangkaian bunga Ikebana bukan hanya hasil karya seni, tetapi juga mencerminkan kebutuhan spiritual manusia. Seni ini tidak hanya menyuguhkan keindahan visual yang dapat dinikmati oleh panca indera, tetapi juga mengandung makna yang mendalam, memberikan arti dan keindahan dalam hidup. Berikut adalah beberapa nilai yang terkandung dalam Ikebana:
a) Nilai Kehidupan
Nilai kehidupan dalam Ikebana tercermin dalam simbolisme yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Rangkaian bunga ini mencerminkan pencarian kebahagiaan spiritual yang dicapai melalui perilaku yang baik dan seimbang.
b) Nilai Pengetahuan
Ikebana juga membawa nilai pengetahuan, memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang pola-pola alam dan hubungan antara kepercayaan serta budaya, khususnya dalam konteks budaya Jepang (furyu). Ini mengajak perangkai dan penikmatnya untuk memahami lebih jauh tentang alam dan kehidupan.
c) Nilai Keindahan
Keindahan dalam Ikebana terdiri dari dua aspek: “bentuk” dan “isi.” Dari segi bentuk, Ikebana merefleksikan estetika Timur yang mengedepankan kesederhanaan dan keseimbangan. Sedangkan nilai isi mencakup makna simbolis yang menggambarkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.
d) Nilai Indrawi dan Nilai Bentuk
Nilai indrawi dalam Ikebana memberikan kepuasan visual kepada pengamat, sementara nilai bentuk mengundang kekaguman terhadap variasi ukuran dan tekstur. Keunikan dan kekhasan rangkaian Ikebana menambah daya tariknya, membuat setiap karya menjadi istimewa.
e) Nilai Kepribadian
Setiap karya seni, termasuk Ikebana, harus memiliki karakteristik dan gaya yang membedakannya dari yang lain. Nilai kepribadian ini menunjukkan bahwa setiap rangkaian harus memiliki ciri khas tersendiri, menciptakan identitas unik yang tetap konsisten dalam keseluruhan komposisi.
Manfaat Ikebana untuk Kesehatan Mental
Ikebana membutuhkan dedikasi dan fokus yang tinggi. Seni ini lebih dari sekadar penyatuan bunga, ia mengajak kita untuk merenungkan makna kehidupan serta hubungan kita dengan alam. Proses merangkai bunga berfungsi sebagai bentuk meditasi yang membawa ketenangan dan memberikan efek relaksasi.
Dengan ikebana, seseorang dapat menemukan ketenangan di tengah kesibukan sehari-hari. Aktivitas ini membantu menenangkan pikiran dan mengurangi stres, sehingga memiliki dampak positif pada kesehatan mental. Dengan memusatkan perhatian pada setiap elemen yang digunakan, individu dapat mengalihkan fokus dari beban dan tekanan hidup, memberikan ruang untuk refleksi dan ketenangan batin.
Di samping itu, ikebana juga merangsang ekspresi diri dan kreativitas, yang berkontribusi pada peningkatan suasana hati dan kesejahteraan emosional. Terlibat dalam seni ini dapat memberikan rasa pencapaian dan kepuasan, yang sangat penting untuk kesehatan mental secara keseluruhan. Oleh karena itu, ikebana tidak hanya dianggap sebagai seni, tetapi juga sebagai bentuk terapi yang bermanfaat bagi kesehatan mental dan emosional seseorang.
DAFTAR REFERENSI
Muchsin, D. (2006). Ikebana: Seni Merangkai Bunga Gaya Jepang. Grasindo (Gramedia Widia Sarana Indonesia).
Nakayama, M. (2018). The Historical Development of Ikebana. Malaysian Journal of Performing and Visual Arts.
Sato, S. (2008). Ikebana: The Art of Arranging Flowers. Tokyo Tuttle.
Yuana, C. (2019). Makna Ikebana Bagi Masyarakat Jepang. Mezurashii.