Proses modernisasi selalu bergerak dinamis dalam menciptakan perubahan struktural sosial budaya masyarakat serta sistem yang ada didalamnya. Hal ini mengakibatkan gencarnya arus komunikasi dan informasi. Dimana salah satu media komunikasi itu adalah film. Film bukan hal yang baru bagi masyarakat, terlebih lagi masyarakat yang tinggal di perkotaan. Selain terdapat muatan hiburan yang cukup kental, di dalam sebuah film juga terkandung nilainilai yang bermakna pesan sosial, moral, religius dan propaganda politik. Menurut Irawanto (Sobur, 2003:127) berpendapat.
Pesan moral yang disampaikan melalui media komunikasi sangat banyak jenisnya. Salah satunya adalah melalui media film yang bersifat komprehensif bagi masyarakat. Film merupakan karya estetika dan alat informasi yang memiliki sifat penghibur dan dapat menjadi sarana edukasi bagi penikmatnya. Di sisi lain juga dapat menyebarluaskan nilai-nilai budaya baru.
Moral merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sebab seseorang yang bermoral akan selalu berbuat baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Orang yang bermoral tidak pernah membohongi serta mengelabuhi kebenaran dan berani dalam memberantas penyelewengan. Mereka tidak akan lunak dengan rayuan atau suapan. Mereka yang bermoral senantiasa menghormati orang lain betapapun rendahnya kedudukan orang tersebut. Mereka juga senantiasa memberi contoh yang baik dalam setiap menjalankan aktifitas kehidupannya. Untuk itu moral merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia (Rokhayah, 2015)
Media massa adalah komunikasi dengan menggunakan sarana atau peralatan yang dapat menjangkau massa sebanyak banyaknya dan area yang seluas-luasnya. Media massa merupakan sumber kekuatan alat control, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya (McQuail,2005:3)
Adapun bentuk media massa, secara garis besar, ada dua jenis, yaitu: media cetak (surat kabar dan majalah, termasuk buku buku) dan media elektronik (televisi, radio, dan termasuk internet). Keberadaan media massa dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dianggap remeh, karena media massa merupakan satu komponen yang ada di dalam masyarakat. Apabila media massa mengambil tempat didalam masyarakat dan menjadi bagian dari suatu sistem masyarakat seluruhnya.
Dari pendapat di atas jelas bahwa media massa bergantung dan mempengaruhi sepenuhnya kepada tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang. Menurut Sumadira (2005:32) fungsi utama dari media massa ialah menyampaikan informasi kepada masyarakat dan setiap informasi yang disampaikan harus bersifat akurat, faktual, menarik, benar, lengkap-utuh, berimbang, relevan, dan bermanfaat. Sehingga apapun informasi yang disebarluaskan media massa hendaknya dalam kerangka mendidik.
Film pertama kali ditemukan pada abad 19, tetapi memiliki fungsi yang sama dengan medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya pada masyarakat umum. Kehadiran film sebagian merupakan respon jam kerja dan jawaban terhadap kebutuhan menikmati waktu senggang secara hemat dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Dengan demikian, jika ditinjau dari segi perkembangan fenomenalnya akan terbukti bahwa peran yang dimainkan oleh film dalam memenuhi kebutuhan tersembunyi memang sangat besar (Mc Quail,1989:13).
Dalam konteks moral, film memberikan contoh bagaimana nilai-nilai seperti kasih sayang, pengorbanan, dan kerja sama diterapkan dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, kisah film fiksi “How To Make Millions Before Grandma Dies” menggambarkan perjalanan seorang pemuda dalam memahami nilai keluarga. Film semacam ini menunjukkan bagaimana konflik keluarga yang kompleks dapat diubah menjadi cerita yang sarat pelajaran moral.
Ceritanya sendiri cukup sederhana – M (Putthipong Assaratanakul), seorang mahasiswa, memutuskan untuk berhenti kuliah dan mencoba jadi game caster. Dia berharap pekerjaan itu bisa menghasilkan banyak uang, tapi ternyata kenyataannya nggak semudah itu. Lalu dia melihat contoh dari Mui, sepupunya yang masih muda, yang mendapat warisan mansion puluhan miliar karena merawat Agong-nya yang sedang sekarat. Dari situ, M memutuskan untuk merawat Amahnya (Usha Seamkhum), seorang nenek yang hidup sendirian dan sedang mengidap kanker stadium akhir, dengan harapan suatu hari akan mendapat warisan juga.
Kritikus film legendaris, Roger Ebert, pernah bilang kalau film itu seperti mesin pembangkit empati yang luar biasa, dan saya setuju banget. Film How to Make Millions Before Grandma Dies ini adalah bukti nyata dari pernyataan itu. Naik-turun emosi dan gelombang perasaannya bikin kita terbawa sepanjang cerita.
Penulis sekaligus sutradaranya, Pat Boonnitipat, nggak mencoba bikin sesuatu yang “wow” atau penuh kejutan. Dari awal, kita udah bisa tebak ending-nya – nggak ada keajaiban penyembuhan terakhir, nggak ada akhir bahagia seperti “setelah gelap pasti ada terang,” dan juga nggak ada twist besar. Ya, ada satu twist, sih, tapi itu pun udah bisa ditebak jauh sebelum terjadi. Tapi justru di situlah hebatnya, karena cerita yang bagus nggak butuh plot berliku, efek-efek mewah, atau musik orkestra besar untuk bikin kita terhanyut. Yang dibutuhkan cuma kejujuran dan keaslian cerita.
Yang bikin film ini spesial adalah seberapa mudahnya kita merasa terhubung dengan karakternya. Kalau kamu berasal dari keluarga Asia yang punya tradisi panjang, pasti kamu bisa relate dengan semua tokohnya. Ada anak perempuan yang selalu sabar, anak lelaki yang mikir semua masalah bisa selesai dengan uang, menantu yang perhitungan, anak lelaki pemalas, sampai anak kecil yang matanya nggak pernah lepas dari layar komputer. Ceritanya memang fiktif, tapi terasa sangat nyata karena mengamati dinamika keluarga dengan sangat tajam – apalagi saat kematian seorang nenek sudah dekat, dan orang-orang di sekitarnya mulai sibuk “bermanuver.” Bahkan, sang nenek pun sadar kenapa dia tiba-tiba jadi pusat perhatian, termasuk M, yang ditegur langsung: “Kamu juga sedang menanam benih untuk dipanen nanti, kan?”
Para pemainnya juga luar biasa. Saya cukup kaget ini adalah peran akting pertama Usha Seamkhum, karena dia terlihat sangat natural. Putthipong “Billkin” Assaratanakul juga berhasil memerankan M dengan baik, apalagi saat karakternya perlahan belajar arti hidup dari interaksi sehari-harinya dengan sang nenek.
Walaupun ceritanya sederhana, saya rasa nggak ada yang bakal merasa bosan. Saat film ini menuju akhir yang sudah bisa ditebak, rasanya tetap berhasil bikin kita terharu. Air mata pasti akan mengalir, tapi setiap tetesnya benar-benar terasa pantas – sama seperti setiap gelak tawa sepanjang film. Nggak heran kalau film ini jadi yang paling laris di Thailand dan Indonesia saat ini.
Film ini termasuk yang langka, karena sampai tadi pagi pun saya dan teman saya masih membahasnya sambil sarapan. Mungkin karena kami nggak mau kehilangan kesan magis yang dibawa ceritanya. Bahkan, setelah tidur semalam, kami masih bisa menemukan makna kecil dari beberapa adegan, seperti momen ketika seorang biksu duduk di kursi roda di klinik chemo, seakan menunjukkan bahwa penyakit nggak pandang bulu, atau ketika nenek pergi menemui saudaranya yang sudah lama terpisah untuk meminjam uang demi membeli tanah kuburan. Menurut saya, nenek sebenarnya tahu apa yang akan terjadi, tapi dia ingin M belajar pelajaran hidup yang penting.
Jadi, kalau mau nonton film yang penuh makna, lupakan dulu The Garfield Movie atau film-film lain. Ajak anak-anak, keluarga, atau teman untuk nonton ini. Jangan malu kalau nanti ketahuan menangis atau tertawa keras. Setelah nonton, coba duduk bareng sambil minum yang hangat dan cerita tentang ibu atau nenek kalian. Selama beberapa menit, rasanya seperti mereka hidup kembali dalam kenangan kita.
Secara mendalam tentang cerita dari Film How To Make Millions Before Grandma Dies menggambarkan kisah perubahan seorang pemuda bernama M dalam hubungannya dengan neneknya, Amah. Cerita dimulai ketika M, yang awalnya tidak begitu peduli pada keluarganya, memilih untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai streamer game demi merawat Amah yang menderita kanker usus dan diprediksi tidak akan berumur panjang. Namun, keputusan ini sebenarnya didasari bukan oleh rasa kasih sayang, melainkan harapan untuk memperoleh warisan dari neneknya. Ia terinspirasi oleh sepupunya yang mendapatkan harta warisan setelah merawat kakeknya yang telah meninggal.
Amah memiliki tiga anak, masing-masing sibuk dengan urusan pribadi mereka. Anak pertama Amah hidup lebih mapan dan sempat menawarkan untuk merawat Amah, meskipun ternyata ia pun berharap memperoleh warisan. Orang tua M, yang merupakan anak kedua, memiliki keinginan tulus untuk merawat sang ibu namun terkendala oleh kesibukan kerja. Sementara itu, anak bungsu Amah, yang belum menikah dan terlilit utang, sering kali mengambil uang neneknya secara diam-diam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam keluarga yang memandang rendah pekerjaannya sebagai streamer game, M sering dianggap pengangguran. Namun, ia tetap memutuskan untuk tinggal bersama neneknya. Selama menjalani kehidupan sehari-hari bersama, M mulai melihat sisi lain dari Amah. Mereka menghabiskan waktu dengan berjualan, memasak, dan mendengarkan cerita masa lalu Amah, momen-momen yang kemudian membuat M menyadari arti penting kasih sayang dan kehangatan keluarga. Proses ini secara perlahan mengubah sikap M menjadi lebih peduli dan penuh empati terhadap orang lain.
Persaingan antar saudara dalam memperebutkan warisan pun semakin memanas, namun akhirnya Amah memilih untuk memberikan rumahnya kepada anak bungsunya yang dianggap paling membutuhkan bantuan finansial. Setelah Amah meninggal, sebuah kejutan muncul ketika terungkap bahwa rumah tersebut bukan satu-satunya peninggalan. Sejak kecil, Amah rupanya telah menabung untuk M sebagai penghargaan atas prestasi akademiknya yang baik. Hal ini mengingatkan M pada janji masa kecilnya untuk membelikan rumah yang bagus untuk neneknya. Dengan perasaan bangga dan penuh kasih, M akhirnya menggunakan dana tersebut untuk membeli lahan pemakaman yang indah sebagai penghormatan terakhir bagi Amah, memenuhi janjinya untuk memberi sang nenek sebuah “rumah” terbaik.
Film ini membawa pesan moral kuat tentang nilai keluarga, cinta kasih, dan pengorbanan. Dalam kisah perjalanan emosional M, How To Make Millions Before Grandma Dies menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu diukur dari materi, melainkan dari hubungan yang tulus dan waktu yang dihabiskan bersama keluarga. Dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang memusatkan perhatian pada tanda (sign), peneliti mencoba menganalisis dan menjawab pertanyaan bagaimana pesan moral yang direpresentasikan dalam film How To Make Millions Before Grandma Dies, bagaimanakah posisi subjek dan objek merepresentasikan pesan-pesan moral dalam film How To Make Millions Before Grandma Dies.
Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikasn secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana-dimana, khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek tertentu. Film dan televisi memiliki kemiripan, terutama sifatnya yang yang audio visual, tetapi dalam proses penyampaian pada khalayak dan proses produksinya agak sedikit berbeda. (Tan dan Wright dalam Vera, 2015: 91) Film dibangun dengan banyak tanda yang membuatnya menjadi subjek studi penting untuk dijadikan bahan analisis semiotik.
Oleh karena itu, sinema merupakan bidang studi yang sangat cocok untuk dijadikan analisis semiotik. Tanda terdiri dari beberapa sistem yang berbeda dan juga bekerja sama untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Dengan membedakan antara penanda dan petanda, Ferdinand de Saussure menempatkan penanda dalam konteks komunikasi manusia. Penanda adalah bunyi atau untaian yang memiliki arti penting, seperti yang dikatakan, ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambar, yang menggambarkan gagasan atau konsep dari unsur mental bahasa. (Sobur, 2009 :125).
Film membangun narasi melalui berbagai tanda yang bekerja bersama untuk menyampaikan pesan moral. Misalnya, hubungan antar karakter sering menjadi representasi nilai-nilai yang ingin ditekankan, seperti kerja sama atau empati. Penonton tidak hanya menyerap hiburan, tetapi juga mengambil pelajaran dari apa yang mereka lihat.
Pengaruh Budaya dan Ekonomi Film
Selain menjadi alat komunikasi, film juga memainkan peran besar dalam mempromosikan budaya di kancah internasional. Banyak film memperkenalkan tradisi dan nilai budaya yang unik, menjadikannya sarana diplomasi budaya yang efektif. Di sisi lain, film juga memberikan kontribusi besar pada perekonomian, baik melalui distribusi internasional maupun penyelenggaraan festival film yang meningkatkan daya tarik pariwisata dan reputasi global sebuah negara.
Festival seperti Sundance Film Festival: Asia, yang diselenggarakan di Indonesia, menunjukkan potensi besar industri film lokal untuk menjangkau audiens global. Dengan narasi yang otentik dan beragam, film Indonesia memiliki peluang untuk menjadi sarana promosi budaya sekaligus alat edukasi yang mendalam.
Film bukan hanya sekadar hiburan; ia adalah medium komunikasi yang dapat mengubah pola pikir, menyampaikan pesan moral, dan memengaruhi perubahan sosial. Sebagai alat komunikasi massa, film menggabungkan estetika dan nilai edukatif yang mampu menjangkau audiens secara luas. Kolaborasi antara pembuat film, pemerintah, dan masyarakat sangat penting untuk memastikan bahwa film tidak hanya relevan secara budaya tetapi juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang positif.
Untuk memaksimalkan potensi ini, kolaborasi antara kreator, pemerintah, dan masyarakat sangat penting. Industri film tidak hanya tentang pencapaian artistik, tetapi juga tentang menciptakan dampak yang positif di tengah masyarakat.