PENERAPAN ARSITEKTUR NEO VERNAKULAR PADA BANGUNAN

Arsitektur Neo Vernakular adalah salah satu konsep arsitektur yang berkembang pada era Post Modern. Post modern adalah aliran arsitektur yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an, adanya post modern dikarenakan adanya sebuah Gerakan yang dilakukan oleh beberapa arsitek salah satunya adalah Charles Jencks untuk mengkritisi arsitektur modern. Hal tersebut dilakukan dikarenakan arsitek – aritek ingin memberikan sebuah konsep baru yang lebih menarik dari arsitektur modern yang mempunyai bentuk – bentuk yang monoton(Makassar et al., 2013)

Dimana menurut (Budi A Sukada, 1988) terdapat enam aliran yang ada di zaman arsitektur post modern salah satunya adalah arsitektur nero-vernakular. dari semua aliran yang berkembang pada Era Post Modern ini memiliki 10 (sepuluh) ciri-ciri arsitektur sebagai berikut.

a. Mengandung unsur komunikatif yang bersikap lokal atau populer.

b. Membangkitkan kembali kenangan historik.

c. Berkonteks urban.

d. Menerapkan kembali teknik ornamentasi.

e. Bersifat representasional (mewakili seluruhnya).

f. Berwujud metaforik (dapat berarti bentuk lain).

g. Dihasilkan dari partisipasi.

h. Mencerminkan aspirasi umum.

i. Bersifat plural.

j. Bersifat ekletik.

Untuk dapat disebut sebagai arsitektur post modern, bangunan tersebut tidak harus memiliki keseluruahan dari ciri – ciri tersebut. Cukup dengan menerapkan dari enam sampai tujuh ciri dapat dikatakan sebagai arsitektur post modern. Charles Jenks seorang tokoh pencetus lahirnya post modern menyebutkan tiga alasan yang mendasari timbulnya era post modern(Fajrine et al., 2017), yaitu.

a. Kehidupan sudah berkembang dari dunia serba terbatas ke dunia tanpa batas, ini disebabkan oleh cepatnya komunikasi dan tingginya daya tiru manusia.

b. Canggihnya teknologi menghasilkan produk-produk yang bersifat pribadi.

c. Adanya kecenderungan untuk kembali kepada nilai-nilai tradisional atau daerah, sebuah kecenderungan manusia untuk menoleh ke belakang.

Dilihat dari ketiga alasan tersebut maka dapat disimpilkan bahwa arsitektur post modern dan arsitektur yang ada didalamnya adalah arsitektur yang menerapkan sebuah konsep arsitektur tradisional dengan arsitektur modern sehingga konsep tersebut menjadi sebuah kesatuan untuk mengkritisi bentuk arsitektur modern. Dalam perkembangan arsitektur, bentuk arsitektur tradisional adalah bentuk – bentuk yang sangat berbeda dengan bentuk arsitektur modern yang monoton. Selain Charles A. Jencks yang menggunakan konsep arsitektur neo vernacular pada bangunananya. Masih banyak arsitek professional yang menggunkan konsep arsitektur neo vernacular sebgai konsep desain bangunan mereka salah satunya adalah bangunan istana budaya yang ada di Malaysia.

Bangunan istana budaya ini adalah salah satu bangunan yang menggunakan konsep neo – vernacular pada desainnya. Bangunan yang difungsikan sebagai teater ini memperlihatkan desain yang melekat dengan kebudayaan Malaysia. Kebudayaan yang diambil adalah bentuk rumah tradisional Malaysia yang menggunakan atap pelana yang sangat tinggi. Bangunan teater yang berkapasitas 2000 orang ini sangat terliahat perpaduan antara konsep arsitektur vernacular dengan arsitektur modern yang diliahat dari material yang digunakan pada bangunannya.(Hospitality, n.d.). Contoh lain dari karya arsitek yang desain bangunannya menggunakan konsep neo – vernacular adalah bangunan yang ada di afrika yaitu Mapungubwe interpretation center. Bangunan tersebut di desain oleh arsitek peter rich. Bangunan ini berada di daerah cultureal heritage yang ada di afrika selatan.

Bangunan Mapungubwe interpretation center ini adalah bangunan musium dari artefak dan sejarah yang ada di daerah tersebut. Bangunan ini mempunyai desain atap berbentuk lengkung yang mengikuti bentuk atap rumah yang ada di daerah sekitar. Bentuk melekung dibuat dengan konstruksi lokal guna untuk menciptakan bangunan yang ramah lingkungan dengan lingkungan sekitar. Bangunan ini juga menggunakan material – material lokal.
Neo Vernakular adalah salah satu konsep arsitektur yang berkembang pada era Post Modern yaitu konsep arsitektur yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an, Post Modern lahir disebabkan pada era modern timbul protes dan kritik dari para arsitek terhadap pola-pola yang terlihat monoton (bangunan berbentuk kotak – kotak). Oleh sebab itu, lahirlah konsep – konsep baru yaitu Post Modern.

Menurut Tjok Pradnya Putra menyatakan Pengertian Arsitektur Neo-Vernacular berasal dari kalimat Neo yang berasal dari Bahasa Yunani dan digunakan sebagai fonim yang berarti baru. Kata NEO atau NEW berarti baru atau hal yang baru, sedangkan kata vernacular berasal dari kata vernaculus (bahasa latin) yang berarti asli. Maka arsitektur neo – vernakular dapat diartikan sebagai arsitektur asli daerah tersebut yang dibangun oleh masyarakat setempat, dengan menggunakan material lokal, mempunyai unsur adat istiadat atau budaya dan disatu padukan dengan sentuhan modern yang mendukung nilai dari vernacular itu sendiri. (Purnomo, 2017).

Arsitektur Neo-Vernakular merupakan salah satu konsep aristektur yang berasal dari aliran arsitektur post moders. Arsitektur neo-vernakular ini adalah salah satu konsep yang mempunyai sebuah konsep yang mengkrirtisi konsep arsitektur modern. Arsitektur Neo-Vernakular merupakan arsitektur yang prinsipnya mempertimbangkan kaidah-kaidah perturan daerah serta budaya lokal dalam kehidupan masyarakat serta keselarasan antara bangunan, alam, dan lingkungan. pada intinya arsitektur Neo-Vernakular merupakan perpaduan antara bangunan modern dengan bangunan lokal.(Fasilitas & Dan, n.d.)

Neo vernakular adalah interpretasi dari arsitektur vernacular yang disatu padukan dengan gaya arsitektur modern. Arsitektur vernacular adalah gaya arsitektur yang dirancang oleh orang lokal, dengan bahan material lokal dan mencerminkan gaya lokal didaerah tersebut. Namun, zaman terus berganti sehingga membuat gaya arsitektur pun ikut berkembang mengikuti zaman. Sehingga gaya arsitektur vernakular pun mulai memudar. Untuk melestarikan bangunan atau prinsip -prinsip vernakular itu kita harus melibatkan vernakular itu sendiri terhadap arus modernisasi.


Pada zaman sekarang konsep arsitektur neo-vernakular dikemas dengan bentuk yang lebih modern namun masih memiliki unsur-unsur tradisional pada desain bangunannya. Arsitektur neo-vernakular ini memiliki sebuah identitas yang dimiliki oleh daerah tersebut. Walaupun dalam proses pembangunan dan material yang digunakan adalah material modern namun bangunan tersebut masih memiliki unsur-unsur tradisional daerah tersebut.


Dari pernyataan Charles Jencks dalam bukunya “language of Post-Modern Architecture (1990)” mengatakan arsitektur neo – vernacular adalah arsitektur yang menggunakan batu bata, keramik dan material tradisional lainnya dan juga bentuk vernacular adalah sebuah reaksi untuk melawan arsitektur internatiol modern pada 1960-an dan 1970-an. (Wuisang, n.d.)Dan maka dapat dipaparkan ciri-ciri Arsitektur Neo-Vernakular sebagai berikut.
a. Selalu Menggunakan Bentuk Atap Bubungan.
b. Penggunaan Material Lokal
c. Mengembalikan bentuk-bentuk tradisional
d. Kesatuan Antara Interior dengan Lingkungan
e. Warna-warna yang kuat dan kontras.

SEJARAH PERKEMBANGAN ARSIKTEKTUR NEO-VERNAKULAR

Dari waktu ke waktu tentu zaman terus berkembang dan lebih modern. Sama halnya dengan banngunan yang mengalami perubahan dan perkembang dalam segi bentuk, material, dan makna. Perubahan tersebut terjadi dikarenakan adanya sebuah proses adaptasi terhadap lingkungan dan zaman yang terus berkembang. Seperti halnya pada struktur bangunan yang dulunya menggunakan tanah.


Sama halnya dengan konsep arsitektur neo – vernakular. Neo – vernakular itu sendiri berasal dari interpretasi konsep arsitektur tradisional dan vernakular. Yang mana berawal dari tradisional lalu berkembang menjadi vernakular dan perkembangan terakhir neo – vernacular. Perkembangan tersebut dilakukan agar ciri khas dari daerah tersebut tidak hilang begitu saja. Butuh adanya sebuah pertahanan diri sebagai cara untuk mempertahankan budaya yaitu dengan cara mengikuti alur zaman yang berkembang. Arsitektur tradisional berasal dari kata “tradisi” dan “arsitektur tradisional” memiliki pengertian yang berbeda. Tradisi merupakan sebuah kata sifat, sedangkan arsitektur tradisional merupakan sebuah objek. Tradisi dengan arsitektur vernakular memiliki hubungan sebab-akibat. Menurut Christopher Alexander seorang filsafat mengenai ilmu arsitektur dan design,mengungkapkan “tradisi membentuk sebuah arsitektur vernakular melalui kesinambungan tatanan sebuah arsitektur menggunakan sistem persepsi ruang yang tercipta, bahan, dan jenis konstruksinya”. Arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular merupakan objek, oleh karena itu kedua kata tersebut memiliki objektif yang sama, namun dengan tujuan yang berbeda.(Suharjanto, 2011)


Kata tradisi berasal dari bahasa Latin traditionem, dari traditio yang berarti “serah terima, memberikan, estafet”, dan digunakan dalam berbagai cara berupa kepercayaan atau kebiasaan yang diajarkan atau ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, biasanya disampaikan secara lisan dan turun temurun. Sebagai contoh adalah kegiatan – kegiatan keagamaan dan kegiatan- kegiatan yang sering dilakukan oleh masyarakat dan dilakukan setiap waktu.(Pengajar et al., 2011)

Menurut Yulianto Sumalyo (1993), vernakular adalah bahasa setempat, dalam arsitektur vernacular adalah bentuk arsitektural yang menerapkan ciri – ciri budaya sekitar termasuk dengan material, iklim, dan makna dalam bentuk arsitektural seperti tata letak denah, struktur,material dan detail detail seperti ornament, dll. Sementara definisi arsitektur vernakular menurut Paul Oliver dalam Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World adalah terdiri dari rumah-rumah rakyat dan bangunan lain, yang terkait dengan konteks lingkungan mereka dan sumber daya tersedia yang dimiliki atau dibangun, dan menggunakan teknologi tradisional. Semua bentuk arsitektur vernakular dibangun untuk memenuhi kebutuhan untuk mengakomodasi nilai-nilai, ekonomi dan cara hidup budaya yang berkembang.


Tentang perkembangan arsitektur vernacular ditulis oleh Salura (2008) tentang Bernard Rudofsky (1910 – 1987) seorang yang pertama kali mengemukakan tentang kemunculan kata vernakular. Bernard Rudofsky adalah seorang arsitek yang berhasil melakukan penelitian terhadap arsitektur yang berasal dari masyarakat biasa yang menceritakan sebuah tentang bangunan yang tidak diketahui siapa arsiteknya. Rudofsky menyebut karya penelitian ini dengan istilah non formal architecture. (Rogi, 2015).


Dari hasil penelitiannya tersebut pada tahun 1964, beliau berhasil meluncurkan sebuah buku yang berjudul “Arsitektur Tanpa Arsitek”. buku ini menjelaskan tentang sebuah pemukiman masyarakat lokal yang mana pada zamn tersebut dunia arsitektur sedang membahas tentang arsitktur dari kerajaan dan bangunan keagamaan seperti gereja dan masjid. Dari buku yang berjudul asli “arsitektur tanpa arsitek” membuat para kalangan arsitek ataupun kerajaan menjadi sadar bahwa pemikiran orang selama ini salah tentang hasil karya dari kepintaraaan masyarakat lokal dalam membuat sebuah bangunan.

Demikianlah sejak Rudofsky menggelar perilsan bukunya yaitu “arsitektur tanpa arsitek” ia kemudian menyebut jenis arsitektur ini dengan sebutan “vernacular-architecture”. Jika dirujuk kedalam kamus-kamus bahasa, Istilah vernakular ternyata merujuk kedalam ilmu bahasa (linguistik) yang secara harfiah berarti logat, dialek atau bahasa asli setempat, sehingga tepat rasanya jika label vernakular ini oleh nya ditempelkan pada jenis bangunan rakyat yang menunjukkan kadar kekentalan lokalitas setempat. Setelah perilisan buku tersebut banyak para penulis arsitektur yang mengaku sebagai ilmuwan tentang teori asrsitektur vernacular.


Salah satu yang paling sering dijadikan rujukan oleh para pengkaji vernakular adalah Amos Rapoport. Berdasarkan tradisi cara membangunnya, Rapoport dalam buku klasiknya House Form and Culture, membagi bangunan menjadi grand-tradition (tradisi megah) dan folk-tradition (tradisi rakyat). Kemegahan Istana dan bangunan keagamaan digolongkan ke dalam grand-tradition. Sementara architecture without architects digolongkan sebagai bangunan folk-tradition. Pada klasifikasi folk-tradition ia menempatkan dua kelompok: arsitektur primitif dan arsitektur vernakular.


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tradisi yang sangat beragam. Sehingga tradisi tersebut menciptakan sebuah karya – karya bangunan yang mempunyai nilai tersendiri bagi daerah tersebut. Contoh kecil bangunan vernacular yang ada di indonesia seperti rumah adat Sumatera Barat yaitu rumah gadang dan juga rumah adat bali seperti yang ada pada gambar dibawah ini. Bangunan – bangunan tersebut lahir dikarenakan adanya tradisi – tradisi yang turun menurun dilakukan dari generasi ke generasi sehingga menghasilkan bangunan yang sangat bernilai harganya.


Namun, harga dari tradisi tersebut kian menghilang karena adanya perkembangan zaman yang mengakibatkan tradisi tersebut kian menghilang. Arsitektur vernacular tradisional mulai ditinggalkan dan arsitektur vernacular modern mulai berkembang mengikuti zaman yang bisa disebut dengan nama arsitektur neo – vernacular.

PENERAPAN ARSITEKTUR VERNAKULAR PADA BANGUNAN GEREJA

Arsitektur vernakular merupakan terminologi akademik untuk mengategorikan struktur
yang dibangun di luar tradisi akademik. Faktor pembeda dari arsitektur tradisional
vernakular adalah desain dan konstruksinya dilakukan pada lokasi yang sama, dan oleh
orang-orang yang sama. Para pengguna bangunannya terlibat dalam proses ini, atau
minimal memiliki input langsung ke dalamnya. Pola-pola arsitektur vernakular diwariskan
antar generasi, dan umumnya mengalami perubahan secara gradual dalam tempo yang
lambat. Arsitektur vernakular dikagumi oleh karena sifatnya yang adaptif menyikapi
kebutuhan-kebutuhan khusus di lokasi, baik fisik maupun non fisik dari para penggunanya.
Sebagai bentukan arsitektur yang dimunculkan dari komunitas lokal, arsitektur vernakular
digunakan pula oleh kekristenan sebagai kendaraan dalam projek inkulturasi. Sebagai
artifak yang dibangun oleh masyarakat lokal, arsitektur ini secara simbolis merupakan
cermin dari pemikiran dan kesadaran dari masyarakat lokal akan nilai-nilai yang dianutnya.
Secara fungsional, arsitektur pun mewadahi segala aktivitas sosial maupun ritual yang terjadi di dalamnya.

Masyarakat Nusantara sebagaimana layaknya orang Asia sangat
menekankan pada aspek visual, simbolisasi dari iman dalam seni dan arsitektur (Mastra,
1981). Kebutuhan yang spesifik seperti ini tidak akan dapat terwadahi bila yang terjadi
bukannya proses inkulturasi melainkan transplantasi seperti yang dikemukakan John
Mansford Prior. Masyarakat barat memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat
Nusantara, dengan penekanan lebih pada rasionalitas. Dari sini dapat disaksikan bagaimana
arsitektur mengambil peranan dalam menjembatani jurang perbedaan dalam pertemuan
antar kebudayaan.

Sejauh mana arsitektur memengaruhi cara beribadah jemaah, sebenarnya menjadi wacana
yang menarik. Dikaitkan dengan kekurangpuasan jemaat terhadap liturgi barat yang
individual serta kurang menyentuh aspek emosional, dalam banyak kasus terlihat
jawabannya datang dari arsitektur vernakular yang lebih dekat dengan keseharian
masyarakat Indonesia yang akrab dan komunal, sehingga dapat terbentuk partisipasi penuh
dan aktif dari jemaat dalam ibadahnya. Bahkan di gereja barat hal ini dilakukan. Thomas
Gordon Smith (2004) mencontohkan pembangunan gereja Notre Dame du Haut pada masa sekitar Konsili Vatikan II, yang dikerjakan jemaat, ahli-ahli liturgi gereja berkolaborasi
dengan Le Corbusier. Bangunan tersebut tanpa perbedaan spasial antara narthex, nave dan
sanctuary, berkonsep spatial dynamic, ruang liturgi yang bergerak secara spiritual ternyata
berhasil memengaruhi jemaat untuk merasakan pengalaman yang lebih hidup dan berbeda
dibandingkan bangunan sejenis yang sekedar mentransplantasikan langgam romanesk dan
gotik demi mengejar kegemilangan visual masa silam. Langgam gotik dan romanesk dikatakan Smith memang indah pada zamannya, tetapi tidak
sesuai untuk keadaan hari ini. Mereplika langgam lawas bukanlah jawaban dari pencarian
arsitektur gereja katolik baru. Walaupun langgam lawas dikagumi namun untuk masa yang
baru diperlukan sebuah arsitektur yang baru, yang didapat bukan dengan sekedar
penggunaan kembali langgam lawas, atau sekedar penerapan arsitektur modern. Smith
mengusulkan metode penerapan decor of custom, yang dimunculkan oleh arsitek klasik
Vitruvius, “….jika hendak diterapkan elemen signifikan dari suatu kebudayaan tertentu
secara utuh, dan bukan hanya ala kadarnya, terapkanlah secara penuh dengan merengkuh
seluruh elemen kebudayaan tersebut.” Sebuah pendekatan dengan totalitas tinggi yanghanya bisa diperoleh dari agen-agen inkulturasi yang memiliki pemahaman yang luas akan segala aspek lapangan di daerahnya.

REFERENSI

Widi, C. D. F., & Prayogi, L. (2020). Penerapan arsitektur neo–vernakular pada bangunan fasilitas budaya dan hiburan. Jurnal Arsitektur ZONASI3(3), 382-390.

Erdiono, D. (2012). Arsitektur ‘Modern’(Neo) Vernakular di Indonesia. Sabua: Jurnal Lingkungan Binaan dan Arsitektur3(3).

Sitorus, C. D. (2016). Interpretasi Arsitektur Neo Vernakular pada Gereja HKBP (Doctoral dissertation, Universitas Sumatera Utara).