Memahami BISINDO: Bahasa Hati dan Tangan yang Berbicara, Jendela Menuju Dunia Tuli

Di tengah riuhnya percakapan sehari-hari dan keberagaman bahasa yang membentuk tapestry budaya Indonesia, seringkali kita abai terhadap satu bahasa yang tak kalah penting, bahkan krusial bagi jutaan penduduknya: Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Lebih dari sekadar serangkaian gerakan tangan yang kasat mata, BISINDO adalah sebuah sistem komunikasi visual-manual yang lengkap, kaya, dan memiliki tata bahasanya sendiri. Ia menjadi jembatan utama bagi individu Tuli untuk berekspresi, belajar, berinteraksi sosial, dan pada akhirnya, berpartisipasi penuh dalam setiap lini kehidupan bermasyarakat. Memahami BISINDO adalah langkah pertama untuk benar-benar memahami dan menghargai budaya Tuli.Apa Sebenarnya BISINDO Itu? Sebuah Penelusuran Lebih DalamSeringkali muncul pertanyaan, “Apa bedanya BISINDO dengan bahasa isyarat lainnya?” Jawabannya terletak pada esensinya sebagai bahasa isyarat alami. BISINDO adalah sebuah bahasa yang secara organik tumbuh dan berkembang dari interaksi antar individu Tuli di berbagai komunitas di seluruh kepulauan Indonesia. Sebagaimana bahasa lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi, BISINDO juga berevolusi seiring waktu, menciptakan kosa kata, idiom, dan bahkan “logat” yang berbeda di setiap daerah, meski inti bahasanya tetap sama.Yang membedakan BISINDO secara fundamental dari sistem isyarat lain seperti Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) adalah struktur tata bahasanya yang mandiri dan unik. Alih-alih mengikuti pola tata bahasa lisan atau tulisan Bahasa Indonesia yang cenderung linear (Subjek-Predikat-Objek), BISINDO beroperasi dengan logika visual. Ia memanfaatkan ruang (space), ekspresi wajah (facial expression), gerak tubuh (body posture), dan intensitas gerakan untuk menyampaikan makna, nuansa, hingga emosi yang kompleks.Sebagai contoh, dalam Bahasa Indonesia kita mungkin berkata “Saya pergi ke pasar kemarin.” Dalam BISINDO, urutan isyarat bisa jadi “KEMARIN PASAR SAYA PERGI” atau “SAYA PERGI PASAR KEMARIN” dengan penekanan visual pada aspek waktu, tempat, atau siapa yang melakukan. Ekspresi wajah akan mengindikasikan apakah tindakan itu menyenangkan, membosankan, atau terburu-buru. Ini menunjukkan kekayaan tata bahasa visual yang seringkali lebih ekspresif dan efisien dalam menyampaikan informasi bagi penutur aslinya.Jejak Sejarah dan Evolusi BISINDO: Dari Komunitas Lokal Hingga Pengakuan NasionalPerjalanan BISINDO bukanlah tanpa cerita. Akar-akarnya dapat ditelusuri jauh ke belakang, dari berbagai variasi bahasa isyarat lokal yang telah digunakan secara turun-temurun oleh komunitas Tuli di berbagai pelosok Indonesia. Bayangkan saja, di sebuah desa terpencil di Jawa, sekelompok individu Tuli mengembangkan cara mereka sendiri untuk berkomunikasi, yang mungkin berbeda dengan komunitas Tuli di Bali atau Sulawesi. Seiring waktu, dengan adanya migrasi, pertemuan, dan terbentuknya organisasi-organisasi Tuli, variasi-variasi lokal ini mulai berinteraksi, meminjam isyarat satu sama lain, dan secara bertahap membentuk konsensus yang lebih luas, melahirkan apa yang kita kenal sebagai BISINDO saat ini.Perkembangan BISINDO juga tak bisa dilepaskan dari perjuangan panjang komunitas Tuli di Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dan hak-hak dasar mereka. Pada awalnya, bahasa isyarat seringkali dipandang sebelah mata, bahkan dianggap sebagai “bantuan komunikasi” semata, bukan bahasa yang utuh. Namun, dengan semakin kuatnya gerakan advokasi yang dipelopori oleh individu dan organisasi Tuli, seperti Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin), BISINDO mulai mendapatkan tempatnya sebagai bahasa asli komunitas Tuli, sebuah bahasa yang harus dipelajari, dilestarikan, dan diajarkan secara luas [1]. Ini adalah bagian dari upaya global untuk mengimplementasikan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), yang secara eksplisit mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa yang sah dan penting (Pasal 21, Pasal 24) [2].Mengapa BISINDO Adalah Kunci? Membongkar Urgensi dan DampaknyaPentingnya BISINDO jauh melampaui sekadar alat komunikasi. Ia adalah fondasi bagi berbagai aspek kehidupan individu Tuli:Akses Pendidikan dan Pengembangan Kognitif: Bayangkan seorang anak dengar yang dipaksa belajar di sekolah tanpa bahasa pertamanya. Kondisi ini seringkali dialami oleh anak Tuli yang tidak memiliki akses ke BISINDO sejak dini. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak Tuli yang terpapar BISINDO sejak lahir atau usia dini memiliki perkembangan kognitif, bahasa, dan sosial yang setara, bahkan terkadang lebih baik, dibandingkan dengan teman sebayanya yang mendengar [3]. BISINDO memungkinkan mereka memahami konsep-konsep abstrak, mengembangkan pemikiran kritis, dan berpartisipasi aktif di kelas, alih-alih hanya menghafal tanpa pemahaman. Ini adalah kunci menuju pendidikan yang inklusif dan berkualitas.Identitas dan Kekayaan Budaya Tuli: BISINDO adalah jantung dari identitas Tuli. Ini adalah medium di mana cerita-cerita Tuli, sejarah Tuli, humor Tuli, dan nilai-nilai Tuli diwariskan dan dirayakan. Melalui BISINDO, komunitas Tuli membangun rasa memiliki, solidaritas, dan kebanggaan atas keberadaan mereka. Ada tradisi puisi isyarat, cerita rakyat yang diadaptasi ke dalam isyarat, dan bahkan lagu-lagu yang diinterpretasikan secara visual. BISINDO bukan hanya bahasa, melainkan juga wadah ekspresi budaya yang kaya.Komunikasi Efektif dan Koneksi Sosial: Hambatan komunikasi seringkali menjadi salah satu rintangan terbesar bagi individu Tuli dalam berinteraksi dengan masyarakat luas. BISINDO menjembatani kesenjangan ini. Ketika individu Tuli dapat berkomunikasi secara alami dan lancar dengan sesama Tuli, atau dengan individu dengar yang menguasai BISINDO, mereka dapat membangun hubungan yang lebih dalam, berbagi ide, berdiskusi, dan menjalani kehidupan sosial yang aktif. Ini mengurangi isolasi dan meningkatkan kualitas hidup secara signifikan.Pemberdayaan dan Hak Asasi Manusia: Mengakui dan mempromosikan BISINDO adalah perwujudan dari pengakuan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas. Ini berarti memastikan bahwa individu Tuli memiliki hak untuk menggunakan bahasa pilihan mereka, mengakses informasi dalam format yang dapat diakses (seperti juru bahasa isyarat di acara publik atau layanan penting), dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Ini adalah langkah fundamental menuju masyarakat yang adil dan setara.BISINDO vs. SIBI: Sebuah Pembeda Kritis yang Perlu DipahamiPembahasan mengenai bahasa isyarat di Indonesia tidak akan lengkap tanpa menyinggung perbedaan krusial antara BISINDO dan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia). Ini adalah poin yang seringkali menjadi sumber kebingungan bagi masyarakat umum, namun sangat vital bagi komunitas Tuli.BISINDO: Seperti yang sudah dijelaskan, BISINDO adalah bahasa isyarat alami yang berkembang secara organik dari komunitas Tuli. Ia memiliki tata bahasa visual yang unik, tidak terikat pada struktur bahasa lisan. Isyarat-isyaratnya mengalir secara intuitif dan ekspresif, mencerminkan cara berpikir visual penuturnya. Bayangkan sebuah pohon yang tumbuh secara alami, dengan akar dan cabangnya yang terbentuk sesuai kondisi lingkungannya.SIBI: Di sisi lain, SIBI adalah sistem isyarat buatan yang dikembangkan oleh pihak tertentu, seringkali untuk tujuan pendidikan formal di sekolah-sekolah luar biasa yang cenderung menggunakan pendekatan oralistik (berorientasi pada bicara). SIBI dirancang untuk secara ketat mengikuti tata bahasa lisan Bahasa Indonesia, seringkali menggunakan isyarat untuk setiap kata dalam kalimat, bahkan imbuhan [4]. Ini seperti membangun sebuah rumah dengan cetak biru yang kaku dan mengikuti setiap detailnya.Bagi komunitas Tuli, BISINDO adalah bahasa ibu mereka, bahasa yang mereka gunakan di rumah, dengan keluarga, dan sesama anggota komunitas. SIBI, di sisi lain, seringkali dianggap sebagai “bahasa asing” yang dipaksakan, yang sulit dipahami dan kurang ekspresif karena tidak sesuai dengan cara berpikir visual mereka. Ironisnya, banyak anak Tuli di sekolah justru diajarkan SIBI, yang dapat menghambat perkembangan bahasa alami mereka dan menciptakan hambatan dalam komunikasi. Pengakuan dan dukungan terhadap BISINDO sebagai bahasa pertama dan utama bagi individu Tuli sangat fundamental untuk memastikan pendidikan yang relevan, komunikasi yang efektif, dan pengembangan diri yang optimal [5].Menjembatani Dunia Melalui BISINDO: Sebuah Ajakan untuk BeraksiMempelajari BISINDO bukan hanya sekadar menambah daftar keterampilan di CV Anda. Ini adalah sebuah tindakan nyata untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, empatik, dan berkeadilan bagi penyandang Tuli. Dengan menguasai BISINDO, kita mampu menjembatani kesenjangan komunikasi, membuka pintu-pintu kesempatan, dan memecah tembok-tembok yang selama ini mungkin tanpa sadar kita bangun.Banyak organisasi dan komunitas Tuli di berbagai kota di Indonesia yang secara aktif menawarkan kelas-kelas BISINDO untuk masyarakat umum. Mengikuti kelas semacam ini tidak hanya memberikan Anda pemahaman tentang bahasa, tetapi juga membuka wawasan mengenai budaya Tuli yang kaya dan menarik. Anda akan belajar tidak hanya isyarat, tetapi juga etiket komunikasi dengan Tuli, nuansa ekspresi wajah, dan pentingnya kontak mata.Mari bersama-sama, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang beragam, mendukung dan mempromosikan BISINDO. Biarkan bahasa hati dan tangan ini terus berbicara, menjadi suara bagi mereka yang tak terdengar, dan menjadi simbol kebersamaan dalam keberagaman linguistik bangsa kita. Ini adalah investasi sosial yang tak ternilai harganya, demi masa depan yang lebih cerah, inklusif, dan setara bagi semua.Referensi:[1] Gerkatin (Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). (2020). Tentang Gerkatin. Diakses dari https://gerkatin.or.id/ (Periksa tanggal akses, kemungkinan situs ini tidak memiliki tanggal publikasi spesifik untuk halaman “Tentang Kami”). [2] Perserikatan Bangsa-Bangsa. (2006). Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Diakses dari https://www.un.org/disabilities/documents/convention/convoptprot-e.pdf (Tersedia dalam berbagai bahasa, termasuk Bahasa Indonesia di situs resmi PBB). [3] Marschark, M., & Spencer, P. E. (Eds.). (2010). The Oxford Handbook of Deaf Studies, Language, and Education, Volume 1. Oxford University Press. (Ini adalah sumber akademik umum yang membahas pentingnya bahasa isyarat dini untuk perkembangan anak Tuli. Artikel spesifik di dalamnya bisa dicari lebih lanjut). [4] Kompas.com. (2020, 23 September). Perbedaan Bahasa Isyarat SIBI dan BISINDO. Diakses dari https://www.kompas.com/skola/read/2020/09/23/150000369/perbedaan-bahasa-isyarat-sibi-dan-bisindo?page=all. [5] Kuntoro, D., & Masyithoh, A. (2018). Implikasi Penggunaan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) Terhadap Pendidikan Anak Tuli. Jurnal Inklusi, 1(2), 205-224.